Semantik
adalah hubungan tanda-tanda linguistic dengan hal-hal yang ditandainya atau
bidang linguistic yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Menurut Chaer
(1994: 60), semantik merupakan hubungan antara kata dengan konsep atau makna
dari kata tersebut, serta benda atau hal-hal yang dirujuk oleh makna itu yang
berada diluar bahasa.
Secara
diakronis makna suatu kata memiliki kemungkinan dapat mengalami perubahan.
Perubahan makna tersebut dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya
perkembangan dalam ilmu dan teknologi, perkembangan sosial dan budaya perbedaan
bidang pemakaian, adanya asosiasi, pertukaran tanggapan indra, perbedaan
tanggapan,adanya penyingkatan, proses gramatikal dan pengembangan istilah.
Dari
faktor-faktor sebab terjadinya perubahan makna diatas, dapat terlihat adanya
jenis-jenis perubahan makna seperti meluas, menyempit, perubahan total,
penghalusan (eufemia), dan pengasaran.
1.
Pembahasan
Jenis Perubahan Makna
a.
Penghalusan
Dalam pembicaraan mengenai perubahan makna yang
meluas, menyempit, atau berubah secara total, kita berhadapan dengan sebah kata
atau sebuah bentuk yang tetap. Hanya konsep makna mengenai kata atau bentuk itu
yang berubah. Sedangkan dalam pembicaraan mengenai penghalusan ini kita
berhadapan dengan gejala ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk yang
dianggap makna yang lebih halus, atau lebih sopan dari pada yang akan
digantikan. Kecenderungan untuk menghaluskan makna kata tampaknya merupakan
gejala umum dalam masyarakat bahasa Indonesia. Misalnya kata penjara atau bui diganti
dengan kata/ ungkapan yang maknanya dianggap lebih halus yaitu lembaga permasyarakatan;
dipenjara atau dibui diganti menjadi dimasukan
ke lembaga permasyarakatan. Kata korupsi diganti
dengan menalahgunakan jabatan; kata pemecatan (dari
pekerjaan) diganti dengan pemutusan hubungan kerja (PHK);
kata babu diganti dengan pembantu rumah tangga dan
kini diganti lagi menjadi pramuwisma Kata/ungkapan kenaikan
harga diganti dengan perubahan harga, atau penyesuaian
tarif, atau juga pemberlakuan tarif baru.
Gejala penghalusan makna ini bukan
barang baru dalam masyarakat Indonesia. Orang-orang dulu yang karena
kepercayaan atau sebab-sebab lainnya akan menggantikan kata buaya atau
harimau dengan kata nenek, mengganti kata ular dengan kata akar
atau oyod. Lalu, pada tahun lima puluhan pun banyak usaha dilakukan
untuk penghalusan ini. Misalnya buta diganti dengan tuna netra, tuli diganti
dengan tuna rungu, dan gelandangan diganti dengan tuna wisma.
b. Pengasaran
Kebaikan dari pengalusan
adalah pengasaran (disfemia), yaitu usaha untuk mengganti kata
yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang maknanya kasar. Usaha
atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan orang dalam situasi yang tidak
ramah atau untuk menunjukkan kejengkelan. Misalnya kata atau ungkapan masuk
kotak dipakai untuk mengganti kata kalah seperti
dalam kalimat Liem Swie King sudah masuk kotak;
kata mencaplok dipakai untuk mengganti mengambil
dengan begitu saja seperti dalam kalimat Dengan enaknya Israel mencaplok
wilayah Mesir itu., dan kata mendepak dipakai untuk mengganti kta meneluarkan
seperti dalam kalimat Dia berhasil mendepak bapak A dari kedudukannya. Begitu
juga dengan kata menjebloskan yang dipakai untuk menggantikan kata memasukan
seperti dalam kalimat polisi menjebloskannya ke dalam sel.
Namun, banyak juga kata yang sebenarnya bernilai kasar
tetapi sengaja digunakan untuk lebih memberi tekanan tetapi tanpa terasa
kekasarannya. Misalnya kata menggondol yang
biasa digunakan seperti dalam kalimat Akhirnya
regu bulu tangkis kita berhasil menggondol pulang piala Thomas Cup itu. atau
juga kata mencuri yang dipakai dalam
kalimat Kontingen Suri name berhasil
mencuri satu medali emas dari kolam renang, padahal sebenarnya mencuri
adalah suatau tindak kejahatan yang dapat diancam dengan hukuman penjara.
No comments:
Post a Comment