·
Bilingualisme
à kebiasaan
mengguakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain.
·
Bilingualitas
à kesanggupan
atau kemampuan seseorang berdwi bahasa, yakni memakai dua bahasa.
·
Titik pangkal seseorang menjadi
dwibahasawan bersifat nisbi (relative)
atau tidak menentu.
Pengertian Kedwibahasaan Menurut
Para Ahli:
-
Menurut Bloom Field, kedwibahasaan
diartikan sebagai penguasaan yang sama baiknya terhadap dua bahasa seperti
penutur aslinya (native speaker).
-
Menurut Uriel Wienreich,
kedwibahasaan dipandang sebgai praktik penggunaan dua bahasa atau lebih secara
bergantian.
-
Menurut Hougent, kedwibahasaan
diartikan sebagai pengetahuan tentang dua bahasa atau lebih
Faktor
Pendorong Kedwibahasaan:
a.
Mobilisasi penduduk à
misalnya transmigrasi, urbanisasi, imigrasi.
b.
Gerakan nasionalisasi à
Sebelum Kongres Pemuda II masyarakat Indonesia dari berbagai suku memiliki
bahasa sendiri-sendiri lalu setelah itu harus memiliki bahsa nasional, yakni
Bahasa Indonesia.
c.
Pendidikan à
Di jaman modern ini sudah dijalankan penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa
dalam proses pembeajaran sehingga mau tidak mau seseorang harus bisa
menggunakan bahasa tersebut.
d.
Keagamaan à
Misalnya Islam menggunakan Bahasa Arab, Hindu menggunakan Bahasa Sansekerta,
Kristen menggunakan Bahasa Latin, dan Katolik Ortodok menggunakan Bahasa Timur
Tengah (Arab).
e.
Perkawinan Antarsuku à
misalnya orang suku Jawa menikah dengan orang suku Sunda.
Profil Kedwibahasaan
Pada hakikatnya kedwibahasaan
merupakan kemampuan mengerti, memahami, bahkan menggunakan dua bahasa atau
lebih. Wienreich mengklasifikasikan tingkatan kedwibahasaan menjadi tiga,
yaitu:
1)
Setara (Coordinate) à
Kemampuan menggunakan dua bahasa atau lebih secara terpisah tanpa pernah ada
interferensi. Misalnya saat menggunakan Bahasa Indonesia yang hanya murni Bahasa Indonesia.
2)
Majemuk (Compound) à
Kedwibahasaan yang bercirikan adanya pengaruh bahasa pertama ke dalam bahasa
kedua yang sedang dipelajari. Misalnya saat menggunakan Bahasa Indonesia namun
masih dipengaruhi Bahasa Jawa.
3)
Gantung (Subordinate) à Seorang
dwibahasawan yang dapat menafsirkan kata-kata yang sama dalam bahasa yang
dominan (bahasa yang dianggap lebih tinggi, misalnya bahasa yang dipakai oleh
penjajah, Bahasa Belanda) dan bahasa yang lemah (hahasa yang dianggap lebih
rendah, misalnya bahasa kaum yang dijajaah, Bahasa Indonesia) berdasarkan
bahasa dominan. Misalnya pengguanaan istilah-istilah Konstituante (Badan Pembentuk Undang-Undang), Master Of The Rich
(Sarjana Hukum), Manihot Utilisima/Casava (Ketela pohon), Karpokomunis (Sukun),
Martini (Gadung).
Isu/Permasalahan yang berkaitan
dengan Kedwibahasaan:
1.
Alih Kode (Switching) / Campur Kode (Code
Mixing)
§ Alih
Kode (Switching) terjadi karena
merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa dalam masyarakat. Artinya
dalam masyarakat hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan satu bahasa
secara mutlak tanpa ada sedikitpun unsur bahasa lain. Kode merupakan tanda yang
disepakati untuk maksud tertentu, di sini kode yang dimaksud adalah bahasa.
Jadi alih kode adalah alih bahasa.
Para
ahli bahasa membagi alih kode menjadi dua, yaitu:
a.
Alih kode bersifat intern à
Alih bahasa yang terjadi antardialek, antarbahasa, antarragam dalam satu
dialek. Dalam peristiwa ini sering terjadi kontinum.
b.
Alih kode bersifat ekstern à
Alih bahasa dari bahasa asli ke bahasa asing.
Contoh 1 à
untuk melibatkan seseorang dalam pembicaraan: A dan B berkomunikasi menggunakan
Bahasa Jawa, kemudian muncul C yang beda etnis dan tidak bisa Bahasa Jawa. Lalu
A dan B beralih ke Bahasa Indonesia agar C ikut terlibat dalam pembicaraan.
Contoh 2 à
pergantian topik: Misal A dan B sedang menunggu bus di halte dan mengobrol
menggunakan Bahasa Jawa. Kemudian mereka mengganti topik pembicaraan tentang
politik yang secara otomatis berubah menggunakan bahasa yang lebih formal
(Bahasa Indonesia).
§ Campur
Kode (Code Mixing)
Aspek
lain dari Language Dependency adalah
campur kode (code mixing), yakni pemakaian dua bahasa yang saling mempengaruhi
dan digunakan secara konsisten. Dalam kondisi tertentu orang mencampurkan
bahasa yang digunakan. Campur kode dibedakan menjadi dua, yaitu:
a.
Campur kode ke dalam (innercode) à
dari unsur bahasa daerah.
b.
Campur kode ke luar (outercode) à
dari unsur bahasa asing.
2.
Interferensi dan Integrasi
§ Interferensi
berkaitan dengan identifikasi antarbahasa. Dwibahasawan mungkin selalu menyamakan
hal-hal tertentu ke dalam bahasa pertama dan kedua. Dwibahasawan dalam hal ini tidak
dapat membedakan dua hal itu terpisah sehingga saat menulis atau berbicara
dengan mencampurkan dua sistem bahasa.
Contoh:
Bahasa Jawa yang dnyatakan dalam Bahasa Indonesia
Gedhe dewe dinyatakan besar
sendiri (seharusnya terbesar/paling
besar)
Pinter dewe dinyatakan pintar
sendiri (seharusnya terpintar/paling
pintar)
No comments:
Post a Comment