Akhir Kisah
Ini
Karya D. Asteuu
Namaku Nuraini Valentia. Terlahir pada tanggal yang diyakini sebagai
hari kasih sayang membuat seseorang mengira kalau namaku Nuraini Valentine. Meski
aku sudah menjelaskan berulang kali dia tetap ada pada pendiriannya.
“Valentine!”
“Valentia!”
“Valentine!”
“Valentia!”
Selalu seperti itu. Sejak pertama kami berkenalan di Sabtu sore tiga belas
tahun lalu hingga saat ini. Dimana dia telah berubah. Tak ada lagi sosok anak
kecil dengan wajah imutnya. Seseorang yang telah menghabiskan waktu setengah umurnya
bersamaku itu kini telah menjelma menjadi pria jangkung yang sangat tampan.
“Kenapa? Aku tambah ganteng?”
“Tambah jelek iya”
“Kamu cantik pakai jilbab warna pink,
Valentine.”
Hening. Dia menatapku yang masih terdiam. Dihelanya nafas perlahan. Aku
tahu dia juga resah memikirkan hal yang saat ini bersliweran memenuhi jalan
pikiranku.
“Jadi tahun ini juga tidak ada hari
valentine lagi?”
“Maaf, tapi dalam agamaku hari itu
memang tidak boleh diperingati”
“Sekalipun hanya sekali lagi? Itu
hari ulang tahunmu dan…”Dia mengucapkannya dengan nada putus asa. Sesekali dia
melirik ke arah pria paruh baya di balik meja yang terus mengawasi kami.
“Dan hari terakhirku ada di
sini,”lanjutnya setelah beberapa saat menghembuskan nafas berat.
“Aku minta maaf, Stev. Kamu tahu
alasannya kan?”
Tak ada jawaban. Dia beranjak dari tempat duduknya. Berjalan dengan
langkah gontai lalu berdiri tepat di sampingku. Sejenak dia memandangku, lekat.
Sedetik kemudian membuang pandangannya jauh, keluar jendela. Fokus pada tanaman
mawar yang penuh duri, menusuk relung hatinya yang paling dalam, mungkin saja
menembus batas waktu dan masa lalu.
“Aku tak seharusnya menerobos dinding
pembatas ini.”
Steve membalikkan badannya. Menatapku
lurus. Tangan kanannya terulur dengan sebuah kotak berwarna merah muda.
“Ini bukan untuk merayakan valentine
ataupun ulang tahunmu. Jangan lupa
cokelatnya dimakan ya, Ratu Cokelatku. Baju dan jilbabnya juga besok jangan
lupa dipakai saat mengantarkanku ke Bandara. Mungkin hanya itu yang bisa aku
berikan setelah menghancurkan persahabatan kita selama tiga belas tahun.”
Aku tertohok mendengar ucapan lirihnya. Ada sesak yang teramat sangat.
Mataku memanas, dan pertahananku runtuh dihadapan pria ini.
“Maaf…”
“Berhenti meminta maaf. Kita memang
tak seharusnya seperti ini, karena kita berbeda.”
Aku memberanikan diri untuk menatap wajahnya. Mencoba mengamati meski
pandanganku kian buram karena terhalang air mata yang tak bisa berhenti
mengalir.
“Jangan menangis, Kamu tambah
jelek,”ucapnya disusul dengan tawa yang terdengar hambar.
Tanganku mencengkeram kotak yang ia berikan beberapa saat lalu. Sesak di
dadaku tak kunjung hilang. Aku merasa persediaan oksigen di sini semakin
menipis.
“Aku harus pulang, Valentia. Selamat
malam jelek.”
Stev bergegas setelah menyunggingkan senyum manis di wajahnya, senyum yang
dipaksakan. Langkahnya terhenti di hadapan pria paruh baya yang masih berada di
balik meja. Berbicara sekilas lalu berjalan dengan lesu ke rumah di seberang
jalan. Aku masih menatap punggungnya yang semakin menjauh hingga ia hilang
ditelan pintu rumahnya.
“Valen”
Suara berat itu membuyarkan
lamunanku. Tanpa menoleh pun aku sudah tau siapa yang memanggilku. Ayah. Pria
paruh baya yang belakangan ini mengetahui hubunganku dengan Stev lebih dari
sekedar sahabat.
“Iya, Ayah”
“Stev mengajakmu merayakan valentine
tahun ini?”
Aku mengangguk lemah. Tidak tahu harus mengatakan apa lagi kepada ayah,
ku rasa beliau tadi sudah mendengar semuanya.
“Nikmatnya cokelat tak senikmat
akhirat, Nak.”
“Ayah benar. Tapi tahun ini cokelat
yang Valen terima bukan untuk memperingati valentine. Ini pemberian terakhir
dari Stev sebelum dia pergi keluar negeri dan juga tanda berakhirnya hubungan
kami, Yah.”
“Stev pria yang baik. Dia
menyayangimu melebihi dirinya sendiri, bahkan ia telah menjagamu selama
setengah dari umurnya. Namun maafkan kami selaku orang tua yang tidak bisa
memberikan restu untuk hubungan kalian yang lebih dari sekedar sahabat. Kalian
berbeda.”Suara ayah terdengar parau.
“Ayah tidak perlu meminta maaf. Valen
yang salah, tidak seharusnya Valen merayakan hari yang tak boleh diperingati
oleh agama kita. Seandainya Valen mendengarkan nasihat Ayah, semuanya tidak
akan berakhir seperti ini. Mungkin saat ini persahabatanku dengan Stev tidak
akan hancur, dan kami tidak akan terluka seperti ini.”
“Ya, Kamu memang bandel. Seharusnya
kamu memang harus mendengarkan nasihat ayah tentang hari valentine. Sepertinya
saat ini putriku juga sudah lupa apa nasihatnya.”Ayah tahu apa yang aku rasakan
saat ini. Beliau lantas mendekapku erat. Seakan tidak ingin kehilangan wanita
yang sangat dicintainya untuk yang kedua kalinya setelah bunda.
“Aku masih ingat betul ketika dulu
ada seorang gadis bernama Valen berumur sepuluh tahun. Hari yang diyakini
sebagai hari kasih sayang selalu jatuh bertepatan dengan ulang tahunnya yaitu
14 Februari. Valen kecil yang baru saja ditinggal untuk selamanya oleh sang
bunda merasa harus merayakan hari itu. Bermodal dari cerita teman dan juga
kebiasaan remaja yang saling bertukar cokelat atau yang lainnya untuk merayakan
hari kasih sayang membuatnya merengek kepada sang ayah untuk membuat pesta yang
penuh cokelat. Valen ingin kado ulang tahunnya mendapat kasih sayang yang
semanis cokelat, dan juga berharap sang bunda bisa kembali. ”
“Namun sang ayah yang selalu
menyuruhnya belajar mendalami agama menegurnya. Memberikan penjelasan bahwa
dalam agama yang kita yakini tidak boleh merayakan hari valentine.
Penjelasan sang ayah dulu tidak bisa
langsung diterima oleh gadis kecilnya. Valen kecil nekat memperingati hari
valentine bersama teman-temannya. Dia terlihat begitu gembira bila mendapatkan
cokelat, apalagi dari tetangga sekaligus sahabatnya yang bernama Stevan.”
Iya, Valen sangat bahagia karena
baginya Stev lah yang paling mengerti akan dirinya. Bahkan ketika Stev
mengajaknya berpacaran Valen mau menerimanya. Ketika Valen beranjak dewasa dan
berkat ilmu yang dimiliki ia bisa mencerna apa yang pernah ayahnya katakan, ia
memutuskan untuk tidak merayakan valentine bahkan ulang tahunnya sendiri. Akan tetapi dia tidak bisa mengembalikan
statusnya bersama Stev menjadi sahabat lagi. Meski ia tahu hubungannya
terhalang oleh dinding pembatas yang tidak bisa ditembus bernama agama.
Awalnya sang ayah mengira mereka
masih bersahabat. Namun seiring berjalannya waktu hubungan cinta beda agama
diketahui oleh orang tua masing-masing. Dan demi kebaikan kita semua, Om
Yohanes mengambil keputusan agar putranya pindah kuliah keluar negeri. Kemudian
pada akhirnya Valen dan Stev menjadi sahabat lagi.
Ayah mempererat dekapannya. Air mataku kembali mengalir deras. Melebihi
derasnya air hujan di luar rumah yang tiba-tiba saling berebut turun ke bumi.
Rasa sesak dalam dadaku sedikit banyak berkurang setelah mengungkapkan semuanya
pada pahlawanku yang satu ini.
“Apa yang akan kamu lakukan setelah
ini, Nak?”
“Menulis semuanya, Yah.”
“Kenapa harus ditulis?”
“Setidaknya apa yang tidak bisa aku
miliki di dunia nyata akan tetap hidup dalam dunia imajinasiku. Aku ingin tetap
bersahabat dengan Stev. Kami akan tetap terus bersama meskipun ia hanya hadir
dalam setiap alur cerita yang aku buat.”
“Valentine No!”
“Writing Yes”
“Oke Valentia, ayah harap tulisanmu
nanti bisa menyadarkan remaja Indonesia bahwa hari valentine tidak seharusnya
diperingati oleh umat muslim.”
“Siap Komandan. Aku juga berharap
bisa berdakwah melalui tulisan”
“Besok mau ikut ke Bandara?”
“Harus! Demi sahabatku aku akan ikut
mengantarkan kepergiannya meraih mimpi, Yah.”
“Baiklah kalau begitu sekarang kamu
harus istirahat supaya besok tidak kesiangan”
Aku berjalan dengan langkah ringan menuju kamarku. Sebuah lengkungan
bernama senyum telah terukir di wajah tirus ini. Entah kenapa aku merasa sangat
lega sekarang. Meskipun aku harus berpisah dengan sahabat yang pernah menjadi
kekasihku, tapi aku percaya bahwa inilah jalan terbaik untuk kehidupanku. Mungkin
kisah cintaku tidak bisa berakhir hidup bersama sang pangeran seperti di negeri
dongeng. Namun akan datang hari dimana kisah baru dimulai lagi bersama kekasih
pilihan dari-Nya.
…End…
No comments:
Post a Comment