Satu
Dermaga di Hidupku
Karya D. Asteuu
Prang…!!
Terdengar
suara pecahan piring yang beradu dengan lantai akibat dibanting dengan keras.
Disusul teriakan adu mulut antara sepasang suami isteri. Mengabaikan gadis
kecil di balik meja makan yang duduk dengan tubuh gemetar karena ketakutan.
“Kamu
itu harusnya sadar! Jangan terlalu banyak menuntut, saya capek!”
“Aku
cuma ingin Mas meluangkan sedikit waktu untuk Sifa. Dia butuh kasih sayang
seorang ayah”
“Apa
Kamu bilang? Waktu? Bahkan gara-gara dia hidupku jadi hancur!”
“Sadar,
Mas. Sifa itu anakmu.”
“Susah
ngomong sama Kamu! Denger ya, sampai kapanpun saya tidak akan mengakui kalau
dia anak saya.”
Plak!
Sebuah tamparan keras mendarat dengan mulus di pipi kiri pria berkacamata yang
selama ini ku panggil ayah.
“Puas?!
Kalau sudah saya mau pergi makan malam bersama Mona.”
“Pergi
makan malam dengan selingkuhanmu itu? Kamu anggap ini apa, Mas? Isteri dan anakmu
sudah menyiapkan makan malam seperti ini, sampai hati Mas hanya membuat
kekacauan lalu pergi begitu saja?”
“Cukup!
Dasar wanita jalang tidak tahu diuntung! Seharusnya Kamu berterimakasih kepada
Mona karena telah mengizinkan saya menikah dengan wanita miskin sepertimu. Ah,
seandainya saja Kamu tidak mengganggu kehidupan saya empat tahun yang lalu
pasti saat ini saya sudah hidup bahagia dengan kekasihku.”
“Mengganggu
katamu? Justru Mas yang sudah menghancurkan hidupku.”
“Itu
semua terjadi karena Kamu yang merayu saya duluan”
“Cukup,
Mas! Di matamu aku selalu salah. Aku capek! “
“Kita
cerai saja! Secepatnya saya akan mengurus perceraian kita. Besok pagi kalian
boleh angkat kaki dari rumah ini. Biar nanti saya suruh sekertaris saya untuk
mencarikan tiket kapal untuk kalian pulang ke kampung kumuh itu.”
Selesai
mengucapkan kalimat itu ayah bergegas meninggalkan ruangan yang sudah seperti
kapal pecah. Ku lihat punggungnya yang semakin menjauh hingga hilang di balik
pintu yang dibanting dengan keras.
Ibuku
terduduk lemas di sebelah pecahan piring dan beberapa makanan yang berserakan.
Wajahnya kini dibanjiri oleh air mata kepedihan.
“Ibu
jangan nangis. Meskipun ayah selalu marah-marah tapi dia sayang kita kan, Bu?”
“Lebih
baik Sifa sekarang pergi tidur ya. Besok pagi kita akan pergi naik kapal”
****
Sudah
terhitung lima tahun setelah tinggal di dekat dermaga, aku merayakan ulang
tahun tanpa kehadiran sosok seorang ayah. Tapi ibu selalu bilang bahwa aku bisa
menemui ayah jika mau menunggunya di dermaga setiap senja.
“Jika petang nanti tidak datang, mungkin besok
sore dia baru sampai,” katanya.
Keesokan
harinya aku menunggu hingga gelap mulai menguasai sekelilingku. Tapi ayah tak
kunjung menunjukkan batang hidungnya.
“Kenapa
ayah tak pernah datang?” tanyaku dengan nada yang terdengar putus asa.
“Sifa
yang sabar ya, mungkin ayah menunda kepulangannya untuk beberapa hari ke
depan.” Ibu mencoba menyunggingkkan senyuman di wajahnya.
Aku
kembali bertopang dagu, bertumpu pada tanggul pembatas dermaga. Memandang jauh
ke arah laut. Berharap ada kapal yang membawa ayahku.
“Bu,
kenapa kita harus tinggal di sini? Sifa ingin kita tinggal bersama ayah lagi.
Meskipun ayah selalu marah-marah tapi Sifa sayang ayah.”
“Sifa
akan tau alasannya jika kelak sudah dewasa. Maafkan ibu ya, tapi inilah tempat
kita,” jawabnya parau.
“Ibu
pembohong! Ayah tidak pernah datang kan?”
“Besok
dia akan datang”
“Besok?
Butuh waktu berapa lama lagi, Bu? Sudah lima tahun aku menunggunya.”
Hening.
“Gara-gara
ibu Sifa tidak bisa bertemu ayah.”
“Sifa
dengarkan ibu, Nak. Ayah pasti datang.”
“Ibu
pembohong! Ibu jahat! Aku benci Ibu!”
Aku
bergegas meninggalkan dermaga tua itu. Terus berlari tanpa menghiraukan ibu yang
berteriak memanggil namaku.
“Sifa
sayang, maafkan ibu. Ibu akan pergi jauh hari ini. Mungkin ibu tak akan pernah
pulang lagi. Tetaplah menunggu kapal yang datang ke dermaga ini anakku. Meski ayah
maupun ibu tak akan pulang, tunggulah pangeranmu datang. Tetaplah mengunjungi
dermaga itu agar ibu bisa melihatmu dari ujung senja. Ibu menyayangimu…”
****
“Kamu
diam?”
“Apalagi
yang harus ku tanyakan? Aku sudah tau jawabanmu,” jawabku dengan suara
bergetar.
Ku
gigit bibir bawahku kuat-kuat. Berusaha mati-matian untuk tidak menangis di hadapan
pria tampan yang duduk sembari mengemasi barang-barangnya ke dalam koper.
Diam.
Tak ada jawaban darinya. Mungkin dia tertohok mendengar jawabanku barusan.
“Maaf,”
ujarnya lirih namun masih bisa ku dengar.
Raka
beranjak dari duduknya. Berjalan dengan langkah gontai lalu berdiri tepat di hadapanku.
Sejenak dia memandangku, lekat. Dihelanya nafas perlahan.
“Kamu
bahkan sudah tahu alasannya.”
Aku
memberanikan diri untuk menatapnya. Mencoba mengamati wajah tampan itu, meski
pandanganku kian buram karena mendung yang siap menjatuhkan jutaan tetes air
mata.
“Maafkan
aku.”
“Untuk?”
“Karena
aku juga mencintaimu.”
Pipiku
memanas setelah mengucapkannya. Ku palingkan wajahku yang memerah. Raka tertawa
renyah, tapi justru terdengar hambar.
“Masih
ada waktu untuk pergi ke dermaga.”
Aku
menoleh. Aku bisa melihat senyum tulus di sana. Di satu sisi aku tak ingin
berpaling. Namun dadaku kian sesak jika harus menatapnya lebih lama lagi. Aku
harus bisa menerima kenyataan bahwa pangeran tampan ini adalah kakak angkatku. Tak
seharusnya aku memiliki perasaan yang lebih untuknya.
“Bagaimana
kalau nanti mama dan papa marah?”
“Aku
sudah mendapatkan izin dari mereka untuk menemanimu ke dermaga sore ini.”
Aroma
asin air laut menyambut kedatangan kami. Deburan ombak yang menghantam batu karang memaksaku
untuk mengingat semua hal tentang tempat ini. Dermaga tua di pinggir kota yang sudah tak
pernah disinggahi kapal lagi sejak beberapa tahun belakangan karena ada
beberapa bagian yang telah rusak. Bahkan tiang penyangganya kini sudah nyaris berkarat
semua.
Kawanan
burung melayang bebas, sesekali mereka menukik dengan gesit. Samar-samar terdengar suara parau yang
menyiratkan salam perpisahan kepada kawannya. Tubuh kecil mereka sedikit menghalangi
sinar senja.
Mataku
memanas. Sesak di dadaku belum juga
hilang. Air mataku nyaris jatuh ketika Raka menarikku dalam dekapannya.
“Menangislah
jika itu membuatmu merasa lebih baik.”
“Aku
baik-baik saja.”
Raka
melepaskan pelukannya. Lalu menatap lurus ke arahku, mencoba mencari kebohongan
yang terpancar dari kedua mata sayu ini. Dia menemukannya. Perlahan tangannya
tergerak untuk mengusap lembut anak rambutku yang sedari tadi dimainkan oleh
angin.
“Lihatlah
ke sana.”
Aku
mengikuti arah pandangannya. Matahari mulai menenggelamkan diri ke tempat
peraduannya. Terlihat senyum ibuku di sana. Menakjubkan bukan?
“Ibu…,”
ujarku lirih.
Tanpa
sadar air mataku menetes. Raka meremas tangan kananku yang sedingin es. Berharap
dapat memberiku kekuatan. Sedetik kemudian aku sudah berada dalam dekapannya
lagi.
“Ini
salahku. Aku telah menyalahkan dan berlari meninggalkannya saat itu,” suaraku
terdengar sangat parau.
“Berhentilah
menyalahkan dirimu. Semua yang telah terjadi sudah diatur oleh-Nya.”
“Seandainya
aku tahu hari itu ibu akan menenggelamkan dirinya di laut, aku pasti akan
mencegahnya. Aku akan memeluknya erat, menghapus air matanya dan mengatakan
bahwa betapa aku sangat menyayanginya. Membiarkannnya terus membohongiku
tentang kedatangan ayah. Aku rela menunggu sia-sia asalkan dia tetap di
sampingku duduk di dermaga yang sepi ini.”
“Setiap
peristiwa ada hikmahnya, Sifa.”
Aku
memejamkan mataku. Mencoba menetralisir detak jantungku yang berdetak lebih
cepat dari biasanya. Efek berada di dekapan Raka ternyata lebih dari yang aku
perkiraan.
“Aku
tahu, jika peristiwa itu tidak terjadi aku tidak mungkin bisa merasakan rasanya
punya keluarga yang utuh dan penuh kasih sayang seperti saat ini.”
“Sifa, jika nanti aku di Amerika apakah Kamu
akan tetap mengunjungi tempat ini?”
“Iya,
karena dermaga ini penuh kenangan,dan hanya di sinilah aku bisa merasakan
dekapan ibuku.”
“Akh!
Aku menyesal telah berkata jujur pada papa kalau mencintaimu. Aku pasti akan
punya banyak waktu untuk mengunjungi dermaga ini bersamamau. Tapi nasi kini
telah menjadi bubur. Papa bahkan sampai menyuruhku pindah kuliah ke Amerika.”
“Itu
karena papa dan mama menyayangiku.”
“Kamu
benar. Mereka sangat menyayangimu hingga membiarkan putranya patah hati seperti
ini. Kalau saja mereka menentang dengan emosi mungkin aku akan membawamu lari
bersamaku. Tapi sayangnya itu tidak mungkin terjadi. Aku akan berusaha
meyakinkan mereka, sayangku. Mungkin lambat laun mereka akan merestui hubungan ini
jika kita mau bersabar. Percaya atau tidak tapi hanya ada satu dermaga cinta
dalam hidupku.” ujarnya sungguh-sungguh.
Aku
terkekeh mendengarnya.
“Ibu,
terimakasih karena telah membawaku ke dermaga ini. Meski penantian terhadap
ayah yang kulakukan hampir separuh umurku berlalu sia-sia, namun aku tetap
bahagia. Lihatlah, saat ini aku telah
memiliki keluarga penuh cinta yang begitu menyayangiku,” batinku.
Aku
percaya bahwa suatu saat nanti kapal yang dulu berlayar akan kembali lagi ke
dermaga ini. Lihatlah, sekarang orang-orang mulai memperbaikinya. Berharap suasana
pantai ini akan kembali ramai seperti sedia kala, seperti ketika pertama kali
aku mengunjunginya tiga belas tahun yang lalu.
Aku
pun hanya selalu mengunjungi satu dermaga dalam hidupku. Sama sepertimu, dermaga
cintaku juga hanya satu dan itu kamu, Raka. Aku mau menjadi dermaga cinta
pertama dan terakhirmu yang akan setia menanti saat terindah itu benar-benar
datang.
No comments:
Post a Comment