Friday, 13 April 2018

Contoh Cerpen Bertema Dermaga


Satu Dermaga di Hidupku
Karya D. Asteuu
Prang…!!
Terdengar suara pecahan piring yang beradu dengan lantai akibat dibanting dengan keras. Disusul teriakan adu mulut antara sepasang suami isteri. Mengabaikan gadis kecil di balik meja makan yang duduk dengan tubuh gemetar karena ketakutan.
“Kamu itu harusnya sadar! Jangan terlalu banyak menuntut, saya capek!”
“Aku cuma ingin Mas meluangkan sedikit waktu untuk Sifa. Dia butuh kasih sayang seorang ayah”
“Apa Kamu bilang? Waktu? Bahkan gara-gara dia hidupku jadi hancur!”
“Sadar, Mas. Sifa itu anakmu.”
“Susah ngomong sama Kamu! Denger ya, sampai kapanpun saya tidak akan mengakui kalau dia anak saya.”
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat dengan mulus di pipi kiri pria berkacamata yang selama ini ku panggil ayah.
“Puas?! Kalau sudah saya mau pergi makan malam bersama Mona.”
“Pergi makan malam dengan selingkuhanmu itu? Kamu anggap ini apa, Mas? Isteri dan anakmu sudah menyiapkan makan malam seperti ini, sampai hati Mas hanya membuat kekacauan lalu pergi begitu saja?”
“Cukup! Dasar wanita jalang tidak tahu diuntung! Seharusnya Kamu berterimakasih kepada Mona karena telah mengizinkan saya menikah dengan wanita miskin sepertimu. Ah, seandainya saja Kamu tidak mengganggu kehidupan saya empat tahun yang lalu pasti saat ini saya sudah hidup bahagia dengan kekasihku.”
“Mengganggu katamu? Justru Mas yang sudah menghancurkan hidupku.”
“Itu semua terjadi karena Kamu yang merayu saya duluan”
“Cukup, Mas! Di matamu aku selalu salah. Aku capek! “
“Kita cerai saja! Secepatnya saya akan mengurus perceraian kita. Besok pagi kalian boleh angkat kaki dari rumah ini. Biar nanti saya suruh sekertaris saya untuk mencarikan tiket kapal untuk kalian pulang ke kampung kumuh itu.”
Selesai mengucapkan kalimat itu ayah bergegas meninggalkan ruangan yang sudah seperti kapal pecah. Ku lihat punggungnya yang semakin menjauh hingga hilang di balik pintu yang dibanting dengan keras.
Ibuku terduduk lemas di sebelah pecahan piring dan beberapa makanan yang berserakan. Wajahnya kini dibanjiri oleh air mata kepedihan.
“Ibu jangan nangis. Meskipun ayah selalu marah-marah tapi dia sayang kita kan, Bu?”
“Lebih baik Sifa sekarang pergi tidur ya. Besok pagi kita akan pergi naik kapal”
****
Sudah terhitung lima tahun setelah tinggal di dekat dermaga, aku merayakan ulang tahun tanpa kehadiran sosok seorang ayah. Tapi ibu selalu bilang bahwa aku bisa menemui ayah jika mau menunggunya di dermaga setiap senja.
 “Jika petang nanti tidak datang, mungkin besok sore dia baru sampai,” katanya.
Keesokan harinya aku menunggu hingga gelap mulai menguasai sekelilingku. Tapi ayah tak kunjung menunjukkan batang hidungnya.
“Kenapa ayah tak pernah datang?” tanyaku dengan nada yang terdengar putus asa.
“Sifa yang sabar ya, mungkin ayah menunda kepulangannya untuk beberapa hari ke depan.” Ibu mencoba menyunggingkkan senyuman di wajahnya.
Aku kembali bertopang dagu, bertumpu pada tanggul pembatas dermaga. Memandang jauh ke arah laut. Berharap ada kapal yang membawa ayahku.
“Bu, kenapa kita harus tinggal di sini? Sifa ingin kita tinggal bersama ayah lagi. Meskipun ayah selalu marah-marah tapi Sifa sayang ayah.”
“Sifa akan tau alasannya jika kelak sudah dewasa. Maafkan ibu ya, tapi inilah tempat kita,” jawabnya parau.
“Ibu pembohong! Ayah tidak pernah datang kan?”
“Besok dia akan datang”
“Besok? Butuh waktu berapa lama lagi, Bu? Sudah lima tahun aku menunggunya.”
Hening.
“Gara-gara ibu Sifa tidak bisa bertemu ayah.”
“Sifa dengarkan ibu, Nak. Ayah pasti datang.”
“Ibu pembohong! Ibu jahat! Aku benci Ibu!”
Aku bergegas meninggalkan dermaga tua itu. Terus berlari tanpa menghiraukan ibu yang berteriak memanggil namaku.
“Sifa sayang, maafkan ibu. Ibu akan pergi jauh hari ini. Mungkin ibu tak akan pernah pulang lagi. Tetaplah menunggu kapal yang datang ke dermaga ini anakku. Meski ayah maupun ibu tak akan pulang, tunggulah pangeranmu datang. Tetaplah mengunjungi dermaga itu agar ibu bisa melihatmu dari ujung senja. Ibu menyayangimu…”
****
“Kamu diam?”
“Apalagi yang harus ku tanyakan? Aku sudah tau jawabanmu,” jawabku dengan suara bergetar.
Ku gigit bibir bawahku kuat-kuat. Berusaha mati-matian untuk tidak menangis di hadapan pria tampan yang duduk sembari mengemasi barang-barangnya ke dalam koper.
Diam. Tak ada jawaban darinya. Mungkin dia tertohok mendengar jawabanku barusan.
“Maaf,” ujarnya lirih namun masih bisa ku dengar.
Raka beranjak dari duduknya. Berjalan dengan langkah gontai lalu berdiri tepat di hadapanku. Sejenak dia memandangku, lekat. Dihelanya nafas perlahan.
“Kamu bahkan sudah tahu alasannya.”
Aku memberanikan diri untuk menatapnya. Mencoba mengamati wajah tampan itu, meski pandanganku kian buram karena mendung yang siap menjatuhkan jutaan tetes air mata.
“Maafkan aku.”
“Untuk?”
“Karena aku juga mencintaimu.”
Pipiku memanas setelah mengucapkannya. Ku palingkan wajahku yang memerah. Raka tertawa renyah, tapi justru terdengar hambar.
“Masih ada waktu untuk pergi ke dermaga.”
Aku menoleh. Aku bisa melihat senyum tulus di sana. Di satu sisi aku tak ingin berpaling. Namun dadaku kian sesak jika harus menatapnya lebih lama lagi. Aku harus bisa menerima kenyataan bahwa pangeran tampan ini adalah kakak angkatku. Tak seharusnya aku memiliki perasaan yang lebih untuknya.
“Bagaimana kalau nanti mama dan papa marah?”
“Aku sudah mendapatkan izin dari mereka untuk menemanimu ke dermaga sore ini.”
Aroma asin air laut menyambut kedatangan kami.  Deburan ombak yang menghantam batu karang memaksaku untuk mengingat semua hal tentang tempat ini.  Dermaga tua di pinggir kota yang sudah tak pernah disinggahi kapal lagi sejak beberapa tahun belakangan karena ada beberapa bagian yang telah rusak. Bahkan tiang penyangganya kini sudah nyaris berkarat semua.
Kawanan burung melayang bebas, sesekali mereka menukik dengan gesit.  Samar-samar terdengar suara parau yang menyiratkan salam perpisahan kepada kawannya. Tubuh kecil mereka sedikit menghalangi sinar senja.
Mataku memanas.  Sesak di dadaku belum juga hilang. Air mataku nyaris jatuh ketika Raka menarikku dalam dekapannya.
“Menangislah jika itu membuatmu merasa lebih baik.”
“Aku baik-baik saja.”
Raka melepaskan pelukannya. Lalu menatap lurus ke arahku, mencoba mencari kebohongan yang terpancar dari kedua mata sayu ini. Dia menemukannya. Perlahan tangannya tergerak untuk mengusap lembut anak rambutku yang sedari tadi dimainkan oleh angin.
“Lihatlah ke sana.”
Aku mengikuti arah pandangannya. Matahari mulai menenggelamkan diri ke tempat peraduannya. Terlihat senyum ibuku di sana. Menakjubkan bukan?
“Ibu…,” ujarku lirih.
Tanpa sadar air mataku menetes. Raka meremas tangan kananku yang sedingin es. Berharap dapat memberiku kekuatan. Sedetik kemudian aku sudah berada dalam dekapannya lagi.
“Ini salahku. Aku telah menyalahkan dan berlari meninggalkannya saat itu,” suaraku terdengar sangat parau.
“Berhentilah menyalahkan dirimu. Semua yang telah terjadi sudah diatur oleh-Nya.”
“Seandainya aku tahu hari itu ibu akan menenggelamkan dirinya di laut, aku pasti akan mencegahnya. Aku akan memeluknya erat, menghapus air matanya dan mengatakan bahwa betapa aku sangat menyayanginya. Membiarkannnya terus membohongiku tentang kedatangan ayah. Aku rela menunggu sia-sia asalkan dia tetap di sampingku duduk di dermaga yang sepi ini.”
“Setiap peristiwa ada hikmahnya, Sifa.”
Aku memejamkan mataku. Mencoba menetralisir detak jantungku yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Efek berada di dekapan Raka ternyata lebih dari yang aku perkiraan.
“Aku tahu, jika peristiwa itu tidak terjadi aku tidak mungkin bisa merasakan rasanya punya keluarga yang utuh dan penuh kasih sayang seperti saat ini.”
 “Sifa, jika nanti aku di Amerika apakah Kamu akan tetap mengunjungi tempat ini?”
“Iya, karena dermaga ini penuh kenangan,dan hanya di sinilah aku bisa merasakan dekapan ibuku.”
“Akh! Aku menyesal telah berkata jujur pada papa kalau mencintaimu. Aku pasti akan punya banyak waktu untuk mengunjungi dermaga ini bersamamau. Tapi nasi kini telah menjadi bubur. Papa bahkan sampai menyuruhku pindah kuliah ke Amerika.”
“Itu karena papa dan mama menyayangiku.”
“Kamu benar. Mereka sangat menyayangimu hingga membiarkan putranya patah hati seperti ini. Kalau saja mereka menentang dengan emosi mungkin aku akan membawamu lari bersamaku. Tapi sayangnya itu tidak mungkin terjadi. Aku akan berusaha meyakinkan mereka, sayangku. Mungkin lambat laun mereka akan merestui hubungan ini jika kita mau bersabar. Percaya atau tidak tapi hanya ada satu dermaga cinta dalam hidupku.” ujarnya sungguh-sungguh.
Aku terkekeh mendengarnya.
“Ibu, terimakasih karena telah membawaku ke dermaga ini. Meski penantian terhadap ayah yang kulakukan hampir separuh umurku berlalu sia-sia, namun aku tetap bahagia.  Lihatlah, saat ini aku telah memiliki keluarga penuh cinta yang begitu menyayangiku,” batinku.
Aku percaya bahwa suatu saat nanti kapal yang dulu berlayar akan kembali lagi ke dermaga ini. Lihatlah, sekarang orang-orang mulai memperbaikinya. Berharap suasana pantai ini akan kembali ramai seperti sedia kala, seperti ketika pertama kali aku mengunjunginya tiga belas tahun yang lalu.
Aku pun hanya selalu mengunjungi satu dermaga dalam hidupku. Sama sepertimu, dermaga cintaku juga hanya satu dan itu kamu, Raka. Aku mau menjadi dermaga cinta pertama dan terakhirmu yang akan setia menanti saat terindah itu benar-benar datang.


















No comments:

Post a Comment