Friday 13 April 2018

Makalah Teori Sastra Dekontruksi


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Sastra tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita. Semenjak masih balita, kita telah mengenal yang namanya sastra yaitu berupa dongeng-dongeng yang diceritakan oleh orang tua. Seiring berjalannya waktu sastra pun semakin dikenal dan tidak hanya berupa dongeng, melainkan dalam bentuk lainnya seperti puisi, cerpen, novel ataupun film.
Namun dalam membaca teks karya sastra, kita masih berpandangan satu arah dengan mengikuti pendapat atau simpulan yang telah dikonvensionalkan serta cepat menyimpulkan pemaknaan cerita dengan hanya membaca dan mentelaah teks secara umum saja. Pada masa postmodernisasi, pandangan tersebut tidak diinginkan dalam sastra. Sebenarnya kita dituntut untuk lebih kritis dalam membaca karya sastra, sehingga muncul metode-metode pembacaan teks seperti dekontruksi.
Dekontruksi menolak pandangan bahwa bahasa memiliki makna yang pasti, tertentu, dan konstan, sebagaimana halnya pandangan strukturalisme klasik. Tidak ada ungakapan atau bentuk-bentuk kebahasaan yang bermkana tertentu dan pasti. Hal ini yang menjadikan paham dekontruksi sebagai poststrukturalisme. Dengan menggunakan metode dekontruksi dalam membaca teks diharapkan kita bisa melihat fakta-fakta lain dalam teks karya sastra. Sehingga tidak ada kemutlakan dalam memaknai karya sastra dan menghilangkan anggapan-anggapan yang absolut serta menemukan hal-hal baru yang pada awalnya terabaikan.

1.2  Rumusan Masalah
a.       Apa pengertian dekontruksi?
b.      Bagaimana sejarah dekontruksi?
c.       Siapa tokoh-tokoh dalam dekontruksi?
d.      Apa saja prinsip-prinsip dalam dekontruksi?
e.       Bagaimana metode penelitian dekontruksi?
f.       Contoh tulisan dengan metode dekontruksi
g.      Apa tujuan dari teori dekontruksi?
h.      Bagaimana penerapan dan sistematika dekontruksi?
i.        Apa pengaruh dekontruksi terhadapa kajian budaya?
j.        Apa kelebihan dan kelemahan dari teori dekontruksi?





1.3  Tujuan Penulisan
a.       Untuk memenuhi tugas mata kuliah teori sastra
b.      Mendeskripsikan pengertian dekontruksi, sejarah dekontruksi, tokoh-tokoh dalam dekontruksi, prinsip-prinsip dalam dekontruksi, metode penelitian dalam dekontruksi, contoh tulisan dengan metode dekontruksi, tujuan dari teori dekontruksi, penerapan dan sistematika dekontruksi, pengaruh dekontruksi terhadap kajian budaya, serta kelebihan dan kelemahan dari teori dekontruksi





















BAB 11
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Dekontruksi
Kristeva (1980:36-37), menjelaskan bahwa dekontruksi merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif. Dekontruksi adalah cara membaca teks, sebagai strategi. Dekontruksi tidak semata-mata ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab keseluruhannya pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan tertentu. Dekontruksi dengan demikian tidak terbatas hanya melibatkan diri dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat wacana.
Menurut Al-fayyadl (2011: 232) dekontruksi adalah testimoni terbuka kepada mereka yang kalah, mereka yang terpinggirkan oleh stabilitas rezim bernama pengarang. Maka, sebuah dekontruksi adalah gerak perjalanan menuju hidup itu sendiri.
Umar Junus (1996:109-109) memandang dekontruksi sebagai persepektif baru dalam penelitian sastra. Dekontruksi justru memberikan dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak memperoleh perhatian. Memungkinkan untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan apa saja, tanpa terikat dengan sutu aturan yang dianggap telah berlaku universal.  
Dekontruksi secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita.

2.2  Sejarah Dekontruksi
Konsep dekontruksi (Selden, 1986:84) mulai dikenal sejak Derrida membawakan makalahnya yang berjudul “Structure, sign, and play in the discourse of the human sciences “,di Universitas Johns Hopkins tahun 1966.
Aliran dekonsruksi ini lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an.

2.3  Tokoh-tokoh dalam Dekontruksi
Tokoh terpenting dekontruksi adalah Jacques Derrida, seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di Perancis.
Derrida dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1930 di El Biar, Aljazair dan meninggal di Paris, Perancis tanggal 8 Oktober 2004. Derrida lebih dikenal sebagai filosof Perancis daripada filosof Aljazair. Filsuf ini secara terang-terangan telah mengkritik filsuf Barat, terutama kritik dan analisis mengenai bahasa “alam”, tulisan, dan makna sebuah konsep. Tokoh selanjutnya adalah Nietzsche, Paul de Man, J.Hillis Miller, Geoffery Hartman, Harold Bloom.

2.4  Prinsip-prinsip dalam Dekontruksi
Prinsip- prinsip yang terdapat dalam teori dekontruksi adalah:
a.       Melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi).
b.      Membalikkan atau merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan.

Pada dasarnya dekontruksi yang sudah dilakukan oleh Nietzsch (Culler, 1983:86-87) dalam kaitannya dengan usaha-usaha untuk memberikan makna baru terhadap prinsip sebab-akibat. Prinsip sebab-akibat selalu memberikan perhatian terhadap sebab, sedangkan akibatnya sebagai gejala minor. Nietzsche menjelaskan bahwa prinsip sebab akibat bukanlah hukum universal melainkan merupakan retorika bahasa, sebagai gejala metonimi, gejala bahasa dengan cara melekatkan nama orang atau benda-benda pada pusat objek yang lain.
Saussure menjelaskan bahwa makna yang diperoleh melalui pembagian lambang-lambang  menjadi penanda dan petanda. Dekontruksi menolak keputusan tersebut dengan cara terus menerus berusaha melepaskan diri, sekligus mencoba menemukan pusat-pusat yang baru. Menurut Saussure (Eagleton, 1983:128), hubungan penanda dengan petanda bersifat pasti.
Derrida (Spivak, 1976) menjelaskan peristiwa diatas dengan istilah differEnce dan differAnce, dua kata yang ucapannya hampir sama tetapi penulisannya berbeda, dibedakan melalui huruf ke-7. Kedua kata tersebut berasal dari bahasa latin,  differe, yang sekaligus berarti to differ (membedakan) yang berkonotasi spasial, dan to defer (menuda) yang berkonotasi temporal. Derrida (Norris, 1983:32) menghubungkan kerangka ruang dan waktu dengan tanda dan bendanya, tanda sebagai wakil dari bendanya. Tanda sekaligus menunjukkan kehadiran yang tertunda. Makna kata difference berada dalam posisi yang mengambang antara to differ dan to defer, keduanya berpengaruh terhadap kekuatan tekstual, tetapi tidak secara utuh mewakili kata difference tersebut. Oleh karena tanda-tanda mengimplikasikan makna, maka makna karya pun selalu berbeda dan tertunda, sesuai dengan ruang dan waktu. Artinya, antara konsep dan kenyataan selalu mempunyai jarak sekaligus perbedaan. Derrida menjdai terkenal karena konsep dekontruksi, logosentrisme, fonosentrisme, differEnce / differAnce, trace, dan dencentering.
Differance (Derrida, 2002:45,61) adalah istilah yang diciptakan oleh Derrida tahun 1968 dalam kaitannya dengan pemahamannya mengenai ilmu bahasa Saussure dan antropologi Levi-Strauss. Menurut Derrida, perbedaaan  difference dan differance, bahasa kamus baik bahasa Inggris maupun bahasa Perancis dan bahasa dekontruksi Derrida, tidak dapat diketahui melalui ucapan, melainkan melalui tulisan. Menurutnya, tulisan lebih utama dibandingkan dengan ucapan. Menurut Derrida (Eagleton, 1983:127-128) makna tidak dengan sendirinya hadir dalam suatu lambang. Lambang mempersoalkan sesuatu yang bukan dirinya, lambang mewakili sesuatu yang lain. Makna hadir dalam rangkaian penanda.
Konsep Saussure yang juga didekontruksi oleh Derrida adalah doktrin hierarki ucapan-tulisan, yang pada dasarnya memandang ucapan sebagai pusat, sedangkan tulisan sebagai non pusat. Menurut Saussure, ucapan lebih dekat dengan pikiran dan perasaan sebab ucapan mengimplikasikan subjek yang berbicara, subjek yang hadir secara serta merta, sedangkan tulisan yang bersifat sekunder, termediasi, grafis dan mewakili.
Menurut Derrida konsep ucapan-tulisan dapat saja dibalik menjadi tulisan-ucapan. Ujaran pun adalah sejenis tulisan, ujaran selalu sudah tertulis, dan dengan demikian bahasa pun sudah tertulis. Menurut Rousseau, ucapan merupakan bentuk asal, tulisan merupakan pelengkap bahasa lisan. Di pihak yang lain, Levi-Strauss melukiskan hubungan antara alam dan kebudayaan yang dengan sendirinya sudah tertulis.

2.5  Metode Penelitian Dekontruksi
Hakikat dekontruksi adalah penerapan pola analisis teks yang dikehendaki oleh peneliti dan menjaga teks agar tetap bermakna polisemi. Di dalam penafsirannya selalu terjadi proses membedakan dan menangguhkan (difference). Istilah difference ini diungkapkan pertama oleh Derrida untuk menyatakan ciri tanda yang terpecah. Di sini dipilih unit wacana yang mampu menimbulkan kebuntuan makna atau satu figur yang menimbulkan satu kesulitan untuk dijabarkan. Bagian ini disebut titik aphoria (Norris, 1982:49).
Titik aphoria selanjutnya akan menimbulkan alusi. Ketika ditemukan sebuah inti wacana yang mengalami kebuntuan maka akan timbul asosiasi dengan teks lain atau peristiwa yang senada dengan yang dihadapi. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mempertentangkan atau menyejajarkan dengan unit wacana yang dihadapi. Penyejajaran atau pertentangan bisa dihubungkan dengan unit wacana lain di dalam teks yang sama (retrospektif) atau bisa dengan melacaknya di luar obyek (prospektif). Jadi cara ini seperti bermain bebas (free play).
Dekontruksi sangat percaya kepada teks. Teks mempunyai otonomi yang luar biasa, segalanya hanya dimungkinkan oleh teks (Junus, 1985:98). Lebih lanjut Umar Junus mengatakan bahwa sebuah teks punya banyak kemungkinan makna sehingga teks sangat berbeda. Seorang pembaca tak akan mengkonkretkan satu makna saja, tetapi akan membiarkan segala kemungkinan makna hidup, sehingga teks itu ambigu. Dekontruksi lebih menumpukan kepada unsur bahasa. Bahkan dapat dikatakan dekontruksi bertolak dari unsur bahasa yang kecil untuk kemudian bergerak maju kepada keseluruhan teks. (1985:99).
Metode dekontruksi yang dilakukan Derrida lebih dikenal dengan istilah dekontruksi metaforik. Metafora di sini bukan dipahami sebagai suatu aspek dari fungsi ekspresif bahasa tapi sebagai suatu kondisi yang esensial tentang tuturan (Sarup, 2003:77-79). Metafora mewakili salah satu cara dari penyusunan wacana dan secara kuat mempengaruhi pemahaman teks berbagai hal. Dekontruksi dilakukan terhadap teks metaforis yang disusun oleh penulis. Dekontruksi bisa terjadi pada teks itu sendiri atau sebaliknya kita yang mendekontruksi sebuah teks.
Kata-kata yang dipakai dalam bahasa karya sastra bersifat denotatif sekaligus konotatif. Pengalaman batin bisa muncul dari asosiasi pikiran dengan arti kata-kata, tetapi sering juga lewat bunyi kata. Pertalian pikiran yang timbul dari kata bisa melayang, meledak, suci, murni, hitam, legam dan seterusnya. Hal ini bukan hanya terjadi dari katanya tetapi bisa juga dari bunyi katanya. Kesadaran akan adanya asosiasi itu melahirkan kecenderungan kepada simbolisme
Sebagai langkah dalam menyikapi karya sastra melalui dekontruksi Derrida pun kemudian menggunakan istilah “trace” sebagai konsep dalam menelusuri makna. Trace (jejak) bersifat misterius dan tidak terungkap, muncul sebagai kekuatan dan pembentuk tulisan, menembus dan memberi energi pada aktivitasnya yang menyeluruh. Hal ini berarti bahwa makna akan bergerak, harus dilacak terus menerus dan meloncat-loncat.
Pengarang di dalam mengemukakan perasaannya sering tidak secara langsung. Kadang-kadang lewat peristiwa-peristiwa maupun simbol-simbol. Di sinilah letak pentingnya pengalaman dan pengetahuan pembaca untuk bisa menangkap pesan tersebut. Bekal pengetahuan yang Jausz disebut sebagai horizon harapan ini sangat penting dalam upaya mencari jejak (trace) sebagai metode pemaknaan dekontruksi. Dengan bekal itu pembaca akan bisa mengisi tempat kosong dalam teks, karena memang sifat karya sastra itu multiinterpretable (Pradopo, 1985:185). Inilah penggambaran dari metode penelitian dekontruksi tersebut.

2.6  Contoh Tulisan dengan Metode Dekontruksi
Cara pembacaan dengan dekontruksi dapat digunakan terhadap novel-novel pada umumnya. Disini penyusun mengambil contoh cara pembacaan dengan dekontruksi pada novel Siti Nurbaya.
Pada umumnya pembaca beranggapan bahwa Samsul Bahri merupakan tokoh protagonis yang hero, tokoh putih, sedang Datuk Maringgih merupakan tokoh antagonis yang serba jahat, tokoh hitam. Melalui cara dekontruksi, keadaan itu justru akan terbalik.
Samsul Bahri bukanlah seorang pemuda hero, melainkan seorang pemuda cengeng dan berperasaan nasionalisme sempit. Hanya karena kegagalan cintanya terhadap seorang gadis (yang kemudian ternyata sudah janda), ia lupa akan dirinya: putus asa dan bunuh diri. Hal itu menunjukkan secara mental, ia bukanlah seorang pemuda yang kuat. Setelah ternyata usaha  bunuh dirinya gagal juga, ia memutuska masuk serdadu kompeni. Belakangan, ketika di daerah Sumatra Barat, yang merupakan tanah kelahirannya terjadi pemberontakan karena masalah blasting, ia ditugaskan untuk menumpas pemberontakan itu. Dengan bersemangat, ia berangkat ke medan tempur karena sekaligus bermaksud membalas dendam terhadap Datuk Maringgih yang menjadi biang keladi kegagalan cintanya. Apapun alasannya hal itu berarti ia memerangi bangsanya sendiri dan justru berdiri di pihak membela kepentingan penjajah.
Dilihat dari dekontruksi Jaus, yaitu yang mempertimbangkan aspek historis yang berwujud “sejarah” tanggapan pembaca dari masa ke masa, perbuatan Samsul Bahri dewasa ini, sesuai dengan konteks sosial yang ada, justru dapat ditanggapai sebagai perbuatan menghianat bangsa. Terhadap bangsa sendiri ia sampai hati untuk memeranginya, semata-mata didorong oleh motivasi pribadi. Ia sama sekali bukan seorang pahlawan, bahkan bukan pahlawan cinta sekalipun.
Datuk Maringgih, di pihak lain, walau dia diakui banyak orang sebagai tokoh jahat, bandot tua yang doyan perempuan namun hal ini pun yang menganggapnya baik, misalnya ia justru dipandang sebagai pahlawan cinta seperti dalam nyanyian kelompok bimbo justru dapat dipandang sebagai tokoh yang kuat dan berdimensi baik. Dialah yang menjadi salah seorang tokoh yang menggerakkan pemberontakkan terhadap penjajah Belanda itu, walau hal itu dilakukan terutama juga karena motivasi pribadi: dia yang paling banyak kena pajak. Apapun motivasinya, ia menjadi tokoh pemberontak. Artinya, dia adalah tokoh pejuang bangsa, yang seberapa pun kecil andilnya, bermaksud mengenyahkan penjajah dari bumi Indonesia. Dengan demikian, justru dialah yang “berhak” disebut pahlawan dan bukannya Samsul Bahri.
Ahmad Maulana dan Halimah, dalam novel Siti Nurbaya itu, hanya merupakan tokoh pinggiran yang umumnya dianggap kurang penting. Namun, jika dipahami betul pesan-pesan penting yang ingin disampaikan lewat novel itu, akan terlihat kedua tokoh itu sebenarnya amat berperan. Dengan perbincangannya dengan Nurbaya, Ahmad Maulana inilah yang mengungkapkan kejelekan-kejelekan perkawinan poligami yang sebenarnya lebih baik menyengsarakan wanita dan anak-anaknya. Sikap dan pandangan hidup Nurbaya, sebenarnya, banyak dipengaruhi oleh sikap dan pandangan hidup kedua tokoh tersebut.

Inila contoh pembacaan sastra dengan dekontruksi. Pemahaman dan keyakinan yang telah dikonvensional selama ini diruntuhkan dengan teori ini, dimana posisi dan kondisi yang telah dikonvensionalkan itu berubah menjadi bertolak belakang.

2.7  Tujuan Dekontruksi
Menurut Sarup (2003:51) dekontruksi bertujuan untuk membongkar tradisi metafisika Barat seperti fenomenologi Husserlin, strukturalisme saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya, psikoanalisi Freudian, dan psikoanalisis Lacanian. Tugas dekontruksi, disattu pihak mengungkap problematika wacana-wacana yang dipusatkan, di pihak lain membongkar metafisika dengan mengubah batas-batasnya secara konseptual.
Sedangkan tujuan metode dekontruksi adalah menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpamgan di balik teks-teks.

2.8  Penerapan dan Sistematika Dekontruksi
Sistematika penerapan dekontruksi dalam teks adalah sebagai berikut :
a.       Mengidentifikasi hirarki oposisional dalam teks, dimana biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak.
b.      Oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan atau privilesenya dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori oposisional lama.

Dengan langkah-langkah semacam ini, pembaca dekontruksi berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan dekontruksi berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna yang lebih benar, yang teks itu sendiri barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan dekonstruktif ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri dengan makna atau kebenaran tunggal.

2.9  Dekontruksi Terhadap Kajian Budaya
Dalam kajian budaya, dekontruksi Derrida memberi pengaruh penting. Berkat dekontruksi Derrida, makna kini tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mutlak, tunggal, universal, dan stabil, tetapi makna selalu berubah. Klaim-klaim kebenaran absolut, kebenaran tunggal, yang biasa mewarnai gaya pemikiran filsafat sebelumnya, semakin digugat, dipertanyakan, dan tidak lagi bisa diterima.
Dalam kesusastraan, misalnya, dekontruksi ditujukan sebagai metode pemabacaan kritis yang bebas, guna mencari celah, kontradiksi dalam teks yang berkonflik dengan maksud pengarang. Dalam hal ini, membaca teks bukan lagi dimaksudkan untuk menangkap makna yang dimaksudkan pengarang, melainkan justru untuk memproduksi makna-makna baru yang plural, tanpa klaim, absolut atau universal.
Dalam proses itu, penafsir juga tidak bisa mengambil posisi netral tatkala menganalisis suatu teks tanpa dirinya sendiri dipengaruhi atau dibentuk oleh teks-teks yang pernah dibaca. Teks itu sendiri juga tidak bisa diasalkan maknanya semata-mata pada gagasan si pengarang, karena pikiran pengarang juga merujuk kepada gagasan-gagasan pengarang lain yang mempengaruhinya.
Dekontruksi, seperti juga pendekatan posmodernisme lainnya, dengan demikian cocok dengan konsep pluralitas budaya, pluralitas permainan bahasa, banyaknya wacana, penghargaan terhadap perbedaan, dsan membuka diri terhadap yang lain (the other).
Penghargaan terhadap perbedaan, pada “yang lain” ini membuka jalan bagi penghargaan pada pendekatan lokal, regional, etnik, baik pada masalah sejarah, seni, politik, masyarakat, dan kebudayaan pada umumnya.
Penelitian yang bersifat lokal, atau etnik, dan sebagainya kini mendapat tempat, dan pada gilirannya akan memperkaya dan menghasilkan deskripsi atau narasi-narasi khas masing-masing. Mungkin, inilah salah satu sumbangan penting dekontruksi Derrida terhadap kajian budaya.

2.10    Kelebihan dan Kelemahan dari Teori Dekontruksi
Dekontruksi membuka ruang kreatif seluas-luasnya dalam proses pemaknaan dan penafsiran. Itulah kelebihan dekontruksi, yang membuat setiap orang bebas memberi makna dan menafsiri suatu objek tanpa batas. Ruangan makna terbuka luas, penafsiran bertumbuh biak. Ibarat pepatah, mati satu tumbuh seribu. Penghancuran terhadap suatu makna oleh makna baru melahirkan makna-makna lain.
Demikian bebas, banyaknya makna dan tafsiran, membuat era dekonstruktivisme dianggap era matinya makna. Makna menjadi tak berarti lagi. Inilah kelemahan dekontruksi. Kelemahan lainnya adalah:
a.       Kebebasan tanpa batas menjadikan makna kehilangan ‘roh’. Yang ada adalah massalisasi makna, retailisme makna. Menjadikan makna sebuah produk massal yang dapat mengurangi nilai obyek tidak lagi memiliki kemewahan ruang pemaknaan untuk ditelaah.
b.      Ketidakbernilaian makna, ke-chaos-an atau asumsi ‘pesimis’ matinya makna dapat menimbulkan apatisme dan ketidakberdayaan terhadap makna.
c.       Dekontruksi tidak menyediakan shelter-shelter untuk persinggahan khusus dalam proses perjalanan pemaknaan. Titik-titik peristirahatan tertentu diperlukan untuk revitalisasi makna sebelum membuka ruang makna baru bagi perjalanan penafsiran yang lebih bugar. Dengan demikian, kejenuhan dan kebiasaan-kebiasaan pemaknaan dapat dicegah.
d.      Tidak adanya upaya untuk menghargai puing-puing hasil pengahancuran makna karena makna-makna baru dianggap lebih bernilai. Padahal, makna-makna lama bukan tidak mungkin justru memberi nilai tambah abgi makna-makna baru.

































BAB 111
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Dari pembahsan diatas penulis menyimpulkan bahwa dekontruksi merupakan metode pembacaan teks. Dengan dekontruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.
Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an, yang kemudian berpengaruh besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada tahun 1980-an. Tokoh terpenting dekontruksi adalah Jacques Derrida, seorang Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di Perancis. Tokoh lainnya yaitu Nietzsche, Paul de Man, J.Hillis Miller, Geoffery Hartman, Harold Bloom.
Prinsip dekontruksi yaitu melacak unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi) dan Membalikkan atau merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan. Metode dekontruksi yang dilakukan Derrida lebih dikenal dengan istilah dekontruksi metaforik. Metafora di sini bukan dipahami sebagai suatu aspek dari fungsi ekspresif bahasa tapi sebagai suatu kondisi yang esensial tentang tuturan. Dekontruksi mentut kita lebih teliti dan kritis terhadap teks sastra.


















Daftar Pustaka





No comments:

Post a Comment