Wednesday, 16 May 2018

Cerpen Nasihat Seorang Sahabat


Nasihat Seorang Sahabat
Karya D.Asteuu


Gadis itu bernama Sifa Arfanisya. Sejak kecil ia tinggal bersama sang nenek di Bandung karena kedua orang tuanya sibuk bekerja di Ibu Kota. Ayah dan Bundanya selalu mengunjunginya setiap akhir bulan. Namun beberapa bulan belakangan mereka tidak mengunjunginya maupun memberikan kabar, mungkin terlalu sibuk. Sifa lantas berinisiatif  pergi ke Jakarta menemui orang tuanya untuk melepaskan rindu. Alangkah terkejutnya ia saat tiba di sana…..
Prang!!!
Terdengar suara pecahan piring yang beradu dengan lantai akibat dibanting dengan keras. Disusul teriakan adu mulut antara sepasang suami isteri. Mengabaikan kenyataan ada seorang anak yang mengamati mereka di ambang pintu dengan tubuh gemetar dan isak tangis yang tertahan. Sifa berusaha menutupi kedua telinganya dengan tangan mungilnya.
“Semua akan segera berakhir, lusa akan kukirimkan surat perceraian kita dan setelah itu aku akan pergi seperti yang Kamu mau.” ujar Pak Faiq sembari membenarkan letak kaca matanya. Dilihatnya beliau terdiam beberapa saat sambil menatap wanita paruh baya yang terduduk lemas di sebelah pecahan piring dan beberapa makanan yang berserakan.
            “Aku minta maaf.” lanjutnya sambil bangkit dari kursinya. Pria berkacamata itu meraih dua buah koper berukuran besar yang sejak tadi diletakkan di dekat kaki kursi. Pak Faiq berniat meninggalkan ruangan yang sudah seperti kapal pecah, dengan terseok-seok ia berjalan menuju pintu tapi langkahnya tiba-tiba terhenti saat melihat Sifa berdiri dihadapannya.
“Apa yang dikatakan Ayah tadi bohong kan!?” suara Sifa terdengar parau.
“S…. Si…Sifa.... sejak kapan Kamu di situ, Sayang?” tanya Pak Faiq gugup.
“Jawab Sifa, Ayah! Ayah hanya bercanda kan!?” teriak Sifa tanpa menghiraukan pertanyaan dari ayahnya.
Pak Faiq diam.
 “Sudahlah, Sifa. Biarkan dia pergi!” sahut Bu Sinta.
”Tidak, Bun. Ayah jangan pergi dulu. Sebenarnya ada apa dengan kalian? Kenapa harus seperti ini? Kalian sedang membuat lelucon kan? Tolong hentikan, ini tidak lucu sama sekali.
“Tanya kepada ayahmu kenapa dia lebih mementingkan wanita selingkuhannya dibandingkan dengan kita!” teriak Bu Sinta.
“Bunda bohong! Bunda pasti bohong! Ayah sama Bunda bohong kan?”
Hening.
“Ayah, Bunda tolong jawab Sifa. Apa yang kalian katakan tadi bohong kan? Ayah sama Bunda sedang bercanda kan? Kalian tidak beneran cerai kan?”
“S...Sifa sayang, ayah minta maaf. Bundamu benar, ayah harus pergi. Maafkan ayah.” ucapnya sambil memeluk Sifa.
“Sekali lagi ayah minta maaf, jaga dirimu baik-baik. Ayah pasti akan meindukanmu.
Setelah mengucapkan kalimat itu sang ayah mencium keningnya lembut kemudian berlalu dari hadapannya. Sifa masih mematung, belum bisa mempercayai apa yang baru saja dikatakan oleh orang tuanya. Tangisnya kini tak terbendung lagi. Air matanya mengalir menganak sungai saat melihat punggung ayahnya yang semakin menjauh hingga hilang ditelan pintu.
***
Sudah terhitung tiga tahun sejak keluarganya hancur berantakan, Sifa mengalami perubahan yang begitu drastis. Ia tak lagi menjadi gadis cantik nan anggun yang selalu ceria dan ramah kepada siapapun. Sifa menjelma menjadi gadis yang susah ditebak, terkadang pendiam tapi di waktu lain menjadi arogan dan pemarah. Bahkan tabiat Sifa semakin hari semakin buruk dan sering bolos kuliah. Parahnya ia kini rela tidak mengenakan jilbab lagi hanya untuk ikut menjadi anggota salah satu geng yang suka nongkrong dan berbuat onar di kampus maupaun di jalanan. Sang nenek sudah berkali-kali menasihatinya agar kembali menjadi Sifa yang dulu lagi, yang taat beribadah dan selalu mematuhi nasihat orang tua. Namun dia tidak pernah menghiraukan nasihat tersebut dan menganggapnya sebagai angin lalu.
            “Kamu bolos kuliah lagi, Sif.” tanya sahabat karibnya, Via.
“Hem…”
“Kamu sudah terlalu sering bolos loh, masa mau bolos lagi? Berangkat yuk.”
“Tidak mau, males ah.”
“Terus Kamu mau kemana?”
“Nongkrong bareng temen-temen lah.”
“Kamu jangan kayak gitu, ayo kuliah.”
“Apa sih pentingnya kuliah? Kenapa sih Kamu begitu peduli denganku?” tanya Sifa sarkastis.
“Sif, Kamu tidak boleh ngomong kayak gitu. Kuliah itu sudah jelas penting lah, ini tuh sebagai salah satu jalan mewujudkan mimpi kita. Emm, dan kenapa aku peduli sama Kamu, itu karena Kamu sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri. ”
“Makasih ya, Vi. Kamu memang sahabat terbaikku. Bahkan di saat aku seperti ini Kamu masih mau menganggapku sebagai saudaramu. Sayang ya, keluargaku sendiri justru tidak ada yang mau peduli sepertimu.” Sifa mengucapkan kalimat itu dengan suara pelan dan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Sifa, siapa bilang keluargamu tidak ada yang sayang dan peduli denganmu? Lihatlah nenek yang selalu ada untukmu. Lihat pula orang tuamu yang terkadang menyempatkan diri menelponmu di tengah kesibukan mereka. Segala keperluanmu juga sudah dipenuhinya. Semua hal itu menunjukkan bahwa mereka masih peduli sama Kamu loh.”
“Aku tidak butuh itu semua. Aku ingin mati saja!”
“Istighfar, Sifa. Kamu tidak boleh ngomong seperti itu.”
“Buat apa aku hidup. Iya, ayah dan bunda memang bisa memenuhi segala keperluanku, mereka juga masih menyempatkan waktu untuk menelponku. Tapi yang aku mau bukan itu semua, Vi. Aku hanya ingin bisa menghabiskan waktu bersama meraka. Sejak kecil aku sudah harus tinggal bersama nenek sedangkan mereka sibuk bekerja. Untuk masalah yang ini mungkin aku masih bisa menerima karena setiap akhir bulan mereka akan datang menemuiku….” Sifa diam, kemudian melanjutkan kalimatnya setelah beberapa saat menghembuskan nafas berat.
“Hatiku hancur, Vi, saat tahu mereka bercerai. Apalagi saat mendapatkan kabar ayahku menikah lagi tepat sebulan setelah resmi bercerai dengan bunda. Bunda juga melakukan hal yang sama setahun berikutnya. Hahaha, ironis sekali ya hidupku?” Sifa mencoba tertawa, namun terdengar hambar dan miris.
Via mencoba memutar otaknya untuk menemukan kalimat yang pas dan tidak membuat Sifa tersinggung dan menangis. Tapi belum sempat ia membuka mulutnya, Sifa sudah berujar dengan suara yang lirih.
“Sepertinya percuma aku kuliah, toh mimpiku takkan pernah bisa kugapai, mimpi memiliki keluarga yang kembali utuh seperti dulu dan aku bisa menghabiskan waktu bersama ayah, bunda, dan nenek seperti saat aku masih kecil.” ucap Sifa dengan suara yang hampir tak terdengar seraya melempar pandangannya jauh keluar jendela. Fokus pada tenaman mawar penuh duri, mungkin menusuk relung hatinya yang paling dalam, menembus dinding masa lalu.
Via beranjak dari duduknya lalu berdiri tepat di hadapan Sifa. Sejenak dipandangnya wajah sahabatnya yang sudah mulai dibanjiri air mata. Sedetik kemudian direngkuhnya tubuh Sifa ke dalam pelukannya. “Menangislah, Sifa. Menangislah kalau itu bisa membuatmu merasa lebih baik.” Sifa lantas menangis sesenggukan di pelukan Via.
***
Di hari yang cerah Via datang ke rumah Sifa. Dia mengenakan gamis berwarna biru dengan jilbab yang senada. Tangannya baru sempat terangkat untuk mengetuk pintu, tapi tiba-tiba pintu sudah terbuka dan seorang perempuan renta bermata sayu melangkah keluar.
“Assalamu’alaikum, Nek.
“Wa’alaikumsalam. Eh, Nak Via.”
“Iya, Nek. Sifa ada?”
“Dia masih di kamarnya. Via, bantu nenek ya, agar dia bisa kembali menjadi cucu kesayangan nenek yang dulu dan bisa istiqomah sepertimu.”
“InsyaAllah, Nek. Kalau begitu Via ke kamar Sifa dulu.”
“Iya, silakan”
“Aku tidak mau berangkat kuliah.” celetuk Sifa  yang tiba-tiba sudah berdiri tak jauh dari tempat Via.
“Siapa juga yang menyuruhmu berangkat kuliah di hari Minggu begini?” jawab Via santai.
“Terus Kamu mau mengajakku kemana?”
“Ke rumah lamaku.”
“Ya sudah ayo, kebetulan aku lagi gabut banget nih soalnya temen-temen gengku lagi sibuk dengan urusan masing-masing.”
Setelah berpamitan dengan sang nenek mereka berdua segera pergi. Sepanjang perjalanan mereka hanya diam. Sifa baru membuka suaranya saat mereka turun di sebuah tempat yang dirasanya aneh.
“Kenapa kita turun di sini?”
“Inilah rumah lamaku, Sif.”
Sifa mengernyitkan kening heran, “Maksudmu?”
”Dulu aku pernah tinggal di sini seperti mereka.” ujar Via sambil memperhatikan anak-anak jalanan yang sedang bermain dan sebagian lagi sedang belajar baca-tulis dengan seseorang yang asing di mata Sifa.
“Bian….” Via memanggil sesosok lelaki yang pernah bersama menghabiskan waktu setengah umurnya di tempat ini.
Pria jangkung itu menoleh dan tersenyum simpul. Beberapa detik kemudian dia tampak berbicara sekilas dengan anak-anak jalanan yang sedang belajar bersamanya. Dia lantas bergegas menghampiri Via dan Sifa.
“Dia….”
“Dia Sifa, sahabatku di Bandung.”
“Aku tahu namanya.”
“Jadi kalian sudah saling kenal?”
Bian menggelengkan kepalanya. “Anak-anak pernah bercerita tentang dia dan gengnya.”
“Itu kakak yang kemarin mengganggu kita!” tiba-tiba seorang anak berbaju tosca berteriak dan menunjuk Sifa.”
Pipi Sifa memanas. Ia sadar saat ini wajahnya tengah memerah. Dengan cepat disembunyikan wajah yang semerah tomat itu dengan menangkupkan kedua tangannya.
“Hahaha, jangan takut, mereka baik kok.” celetuk Bian.
“Dia bukan takut, Bian. Tapi malu karena ketahuan olehku pernah menjadi biang kerok di sini. Lihat aja pipinya sudah semerah tomat.” goda Via.
Sifa membuka tangan yang menutupi wajahnya. Dia meringis mendengar perkataan Via yang memang benar adanya.
“Maafkan aku, aku tidak tahu kalau Kamu kenal dengan mereka, Vi.”
“Sudahlah, ayo minta maaf dengan mereka.”
“Tapi, Via…”
“Ayo!” Via menarik lengan Sifa menuju ke hadapan anak-anak yang mengawasi mereka sedari tadi.
“Adik-adik, kenalkan ini namanya Kak Sifa. Dia temennya Kak Via dan Kak Bian, jadi kalian tidak boleh nakal sama Kak Sifa, ya.”
“Tapi Dia pernah menjahili kami, Kak.”
“Eh, adik-adikku yang manis, Kak Sifa minta maaf ya. Kemarin itu kakak dan teman-teman khilaf.” ucap Sifa dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
“Huuuuuuu…..” teriak anak-anak dengan kompak, lalu mereka kembali melanjutkan aktifitasnya masing-masing.
Via dan Bian terkekeh geli melihat kelakuan Sifa dan anak-anak itu. Sifa lalu mengalihkan topik pembicaraan.
“Kamu masih berhutang penjelasan kepadaku, Vi.”
“Penjelasan apalagi, Sifa?”
“Bagaimana ceritanya kalian bisa tinggal di tempat ini?” tanya Sifa sambil mengamati sekelilingnya.
“Aku akan pergi mencari makanan untuk makan siang dulu.” ujar Bian tanpa menjawab pertanyaan Sifa, lalu menuju warung makan di seberang jalan raya.
Via terdiam.
“Maaf, Vi, kalau pertanyaanku menyinggungmu, Kamu tidak perlu menjawabnya.”
“Kamu tidak salah kok, aku dan Bian memang pernah tinggal di sini sebelum pada akhirnya sepuluh tahun yang lalu ada yang mau mengadopsi kami.”
“Pak Udin dan Bu Hisa?
“Ya, mereka hanya orang tua angkatku.”
“Orang tua kandungmu?”
“Aku tidak pernah tahu mereka ada di mana. Sejak bayi aku dirawat oleh Bu Ema yang dulu mengurus panti asuhan, namun karena terjadi penggusuran panti kami hancur dan kami harus tinggal ditempat seperti ini.”
“Jadi Kamu belum pernah bertemu orang tuamu sama sekali?”
Via mengangguk. “Dan semua anak-anak itu juga memiliki nasib yang sama sepertiku,” lanjutnya.
Sifa mengamati anak-anak jalanan yang sedang melakukan aktifitasnya.
“Sif, Kamu beruntung loh.” Via berkata dengan nada lembut.
“Beruntung bagaimana?”
“Ya, setidaknya Kamu masih memiliki kedua orang tua. Kamu juga bisa tinggal di rumah yang nyaman bersama nenek yang penyayang dan selalu ada untukmu.”
“Nasib kita sama kok, Vi. Aku pun sudah serasa tidak punya siapapun.”
“Sifa, kamu jangan berfikiran seperti ini terus. Coba Kamu amati mereka yang tak pernah tau siapa orang tua kandungnya, hidup mereka bahkan sangat jauh dari kata layak. Tapi mereka selalu berjuang untuk bahagia.” Via menghela nafas panjang, kemudian, “Kamu seharusnya bersyukur atas apa yang telah diberikan Allah untukmu, Sif. Percayalah, Allah Yang Maha Mengetahui sudah menyiapkan scenario terbaik-Nya. Orang tuamu mungkin memang sudah tak bersama lagi, tapi bukankah Kamu masih bisa menemui mereka? Nenekmu yang kini sudah semakin renta juga sangat menyayangimu. Jadi tolong, Sifa, jika Kamu masih mau menganggapku sebagai seorang sahabat, untuk kali ini kembalilah menjadi sahabatku yang dulu. Pakailah jilbabmu lagi dan jangan pernah membuat keonaran dimana-mana. Jadilah Sifa yang ramah kepada semua orang dan selalu ceria seperti dulu.”
Via menyelesaikan kalimatnya dengan mata berkaca-kaca. Tangan kanan yang mengulurkan sebuah kotak berwarna cokelat. Sifa menerima uluran dari sahabatnya itu. Dibukanya kotak itu perlahan, ia menemukan jilbab berwarna merah muda.Sifa terharu mendapatkan perlakuan yang demikian.
Sifa terdiam sesaat.
“Terimakasih, Via, Kamu telah menyadarkanku. Kamu benar, Hidupku ini bukan hanya tentang kekecewaan dan kemarahan yang dipendam dan harus terbalaskan karena semua itu hanya akan menyita waktuku. Aku seharusnya lebih mendekatkan diri kepada-Nya dan harus bisa menerima dengan ikhlas apa yang telah Allah berikan untukku. Aku pun harus lebih bersyukur karena nasibku lebih baik dibandingkan dengan mereka. Maafkan aku jika selama ini meresahkan kalian karena telah menyakiti diriku sendiri maupun orang lain. Maafkan aku…. hiks” Selesai mengucapkan kalimat itu Sifa mengenakan jilbab pemberian Via.
“Aku akan kembali menjadi diriku yang dulu dan berjilbab lagi, Vi.” Via berhambur memeluk Sifa yang mulai menitikkan air mata.
“Loh kalian kenapa, kok malah nangis?” Bian bertanya dengan tampang bingungnya.
“Mau tau aja,” jawab Siva dan Via hampir bersamaan. Mereka lantas saling berpandangan dan tertawa.
“Ya sudah aku tidak jadi tanya deh. Tapi ngomong-ngomong sebentar lagi tiba waktu shalat dzuhur nih. Makan siangnya mendingan nanti aja setelah shalat, gimana?”
“Setuju.”
Allahuakbar…. Allahuakbar….
Suara adzan dzuhur menghentikan percakapan mereka. Ketiganya segera mengajak anak-anak yang sedang asyik bermain untuk menuju masjid terdekat. Sifa berjalan dengan langkah ringan dan sebuah lengkungan bernama senyum telah terukir menghiasi wajah tirusnya. Ia ingin segera mengungkapkan sisa-sisa keresahan yang masih tertinggal di hatinya kepada Sang Pencipta. Kini ia sepenuhnya tersadar bahwa tiada tempat paling menenteramkan jiwa saat banyak masalah selain bersimpuh di atas sajadah dan mengungkapkan segalanya kepada Allah. “Layaknya pelangi yang tidak akan muncul tanpa didahului hujan. Aku yakin setelah mampu melewati semua cobaan ini Engkau akan memberiku kebahagiaan lain yang jauh lebih indah dari sebelumnya,” gumamnya dalam hati ketika kakinya menginjak halaman masjid.


END

No comments:

Post a Comment