Nasihat
Seorang Sahabat
Karya D.Asteuu
Gadis itu bernama
Sifa
Arfanisya. Sejak kecil ia
tinggal bersama sang nenek di Bandung karena kedua orang tuanya sibuk bekerja
di Ibu Kota. Ayah dan Bundanya selalu mengunjunginya setiap akhir bulan. Namun beberapa
bulan belakangan mereka tidak mengunjunginya maupun memberikan kabar,
mungkin terlalu sibuk. Sifa lantas
berinisiatif pergi ke Jakarta menemui
orang tuanya untuk melepaskan rindu. Alangkah terkejutnya ia saat tiba di sana…..
Prang!!!
Terdengar suara pecahan piring yang beradu dengan
lantai akibat dibanting dengan keras. Disusul teriakan adu mulut antara
sepasang suami isteri. Mengabaikan kenyataan ada seorang anak yang mengamati mereka di ambang pintu dengan
tubuh gemetar dan isak
tangis yang tertahan. Sifa berusaha menutupi kedua telinganya dengan tangan
mungilnya.
“Semua
akan segera berakhir, lusa akan
kukirimkan surat perceraian kita dan setelah itu aku akan pergi seperti yang Kamu mau.”
ujar Pak Faiq sembari membenarkan letak kaca matanya. Dilihatnya beliau terdiam
beberapa saat sambil menatap wanita paruh baya yang terduduk lemas di sebelah
pecahan piring dan beberapa makanan yang berserakan.
“Aku minta maaf.” lanjutnya sambil
bangkit dari kursinya. Pria berkacamata itu meraih dua buah koper berukuran besar yang sejak tadi
diletakkan di dekat kaki kursi. Pak Faiq berniat meninggalkan ruangan yang
sudah seperti kapal pecah, dengan
terseok-seok ia berjalan
menuju pintu tapi langkahnya tiba-tiba terhenti saat melihat Sifa berdiri
dihadapannya.
“Apa
yang dikatakan Ayah tadi bohong kan!?” suara Sifa terdengar parau.
“S….
Si…Sifa.... sejak kapan Kamu di situ, Sayang?” tanya Pak Faiq gugup.
“Jawab
Sifa, Ayah! Ayah hanya bercanda kan!?” teriak Sifa tanpa menghiraukan
pertanyaan dari ayahnya.
Pak
Faiq diam.
“Sudahlah, Sifa. Biarkan dia pergi!” sahut Bu
Sinta.
”Tidak, Bun. Ayah jangan pergi
dulu. Sebenarnya ada apa dengan
kalian? Kenapa harus seperti ini? Kalian sedang membuat lelucon kan? Tolong hentikan,
ini tidak lucu sama sekali.”
“Tanya kepada ayahmu kenapa dia lebih mementingkan wanita selingkuhannya
dibandingkan dengan
kita!” teriak Bu Sinta.
“Bunda bohong! Bunda pasti bohong! Ayah sama Bunda
bohong kan?”
Hening.
“Ayah, Bunda tolong jawab Sifa. Apa yang kalian
katakan tadi bohong kan? Ayah sama Bunda sedang bercanda kan? Kalian tidak
beneran cerai kan?”
“S...Sifa sayang, ayah minta maaf. Bundamu benar, ayah
harus pergi. Maafkan ayah.” ucapnya sambil memeluk Sifa.
“Sekali lagi ayah minta maaf, jaga dirimu baik-baik.
Ayah pasti akan meindukanmu.”
Setelah mengucapkan kalimat itu sang ayah mencium
keningnya lembut kemudian berlalu dari hadapannya. Sifa masih mematung, belum
bisa mempercayai apa yang baru saja dikatakan oleh orang tuanya. Tangisnya kini
tak terbendung lagi. Air matanya mengalir menganak sungai saat melihat
punggung ayahnya yang semakin menjauh hingga hilang ditelan pintu.
***
Sudah
terhitung tiga tahun sejak keluarganya hancur berantakan, Sifa mengalami
perubahan yang begitu drastis. Ia tak lagi menjadi gadis cantik nan anggun yang
selalu ceria dan ramah kepada siapapun. Sifa menjelma menjadi gadis yang susah
ditebak, terkadang pendiam tapi di waktu lain menjadi arogan dan pemarah. Bahkan
tabiat Sifa semakin hari semakin buruk dan sering bolos kuliah. Parahnya ia
kini rela tidak mengenakan jilbab lagi hanya untuk ikut menjadi anggota salah
satu geng yang suka nongkrong dan berbuat onar di kampus maupaun di jalanan.
Sang nenek sudah berkali-kali menasihatinya agar kembali menjadi Sifa yang dulu
lagi, yang taat beribadah dan selalu mematuhi nasihat orang tua. Namun dia
tidak pernah menghiraukan nasihat tersebut dan menganggapnya sebagai angin
lalu.
“Kamu
bolos kuliah lagi, Sif.” tanya sahabat karibnya, Via.
“Hem…”
“Kamu
sudah terlalu sering bolos loh, masa mau bolos lagi? Berangkat yuk.”
“Tidak
mau, males ah.”
“Terus
Kamu mau kemana?”
“Nongkrong
bareng temen-temen lah.”
“Kamu
jangan kayak gitu, ayo kuliah.”
“Apa
sih pentingnya kuliah? Kenapa sih Kamu begitu peduli denganku?” tanya Sifa sarkastis.
“Sif,
Kamu tidak boleh ngomong kayak gitu. Kuliah itu sudah jelas penting lah, ini
tuh sebagai salah satu jalan mewujudkan mimpi kita. Emm, dan kenapa aku peduli sama
Kamu, itu karena Kamu sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri. ”
“Makasih
ya, Vi. Kamu memang sahabat terbaikku. Bahkan di saat aku seperti ini Kamu masih
mau menganggapku sebagai saudaramu. Sayang ya, keluargaku sendiri justru tidak
ada yang mau peduli sepertimu.” Sifa mengucapkan kalimat itu dengan suara pelan
dan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Sifa,
siapa bilang keluargamu tidak ada yang sayang dan peduli denganmu? Lihatlah
nenek yang selalu ada untukmu. Lihat pula orang tuamu yang terkadang menyempatkan
diri menelponmu di tengah kesibukan mereka. Segala keperluanmu juga sudah
dipenuhinya. Semua hal itu menunjukkan bahwa mereka masih peduli sama Kamu loh.”
“Aku
tidak butuh itu semua. Aku ingin mati saja!”
“Istighfar,
Sifa. Kamu tidak boleh ngomong seperti itu.”
“Buat
apa aku hidup. Iya, ayah dan bunda memang bisa memenuhi segala keperluanku,
mereka juga masih menyempatkan waktu untuk menelponku. Tapi yang aku mau bukan
itu semua, Vi. Aku hanya ingin bisa menghabiskan waktu bersama meraka. Sejak
kecil aku sudah harus tinggal bersama nenek sedangkan mereka sibuk bekerja.
Untuk masalah yang ini mungkin aku masih bisa menerima karena setiap akhir
bulan mereka akan datang menemuiku….” Sifa diam, kemudian melanjutkan
kalimatnya setelah beberapa saat menghembuskan nafas berat.
“Hatiku
hancur, Vi, saat tahu mereka bercerai. Apalagi saat mendapatkan kabar ayahku
menikah lagi tepat sebulan setelah resmi bercerai dengan bunda. Bunda juga
melakukan hal yang sama setahun berikutnya. Hahaha, ironis sekali ya hidupku?”
Sifa mencoba tertawa, namun terdengar hambar dan miris.
Via mencoba memutar
otaknya untuk menemukan kalimat yang pas dan tidak membuat Sifa tersinggung dan
menangis. Tapi belum sempat ia membuka mulutnya, Sifa sudah berujar dengan
suara yang lirih.
“Sepertinya percuma aku kuliah, toh mimpiku takkan
pernah bisa kugapai, mimpi memiliki keluarga yang kembali utuh seperti dulu dan
aku bisa menghabiskan waktu bersama ayah, bunda, dan nenek seperti saat aku
masih kecil.” ucap Sifa dengan suara yang hampir tak terdengar seraya melempar
pandangannya jauh keluar jendela. Fokus pada tenaman mawar penuh duri, mungkin menusuk
relung hatinya yang paling dalam, menembus dinding masa lalu.
Via beranjak dari duduknya lalu berdiri tepat di
hadapan Sifa. Sejenak dipandangnya wajah sahabatnya yang sudah mulai dibanjiri
air mata. Sedetik kemudian direngkuhnya tubuh Sifa ke dalam pelukannya. “Menangislah,
Sifa. Menangislah kalau itu bisa membuatmu merasa lebih baik.” Sifa lantas menangis
sesenggukan di pelukan Via.
***
Di
hari yang cerah Via datang ke rumah Sifa. Dia mengenakan gamis berwarna biru
dengan jilbab yang senada. Tangannya baru sempat terangkat untuk mengetuk
pintu, tapi tiba-tiba pintu sudah terbuka dan seorang perempuan renta bermata
sayu melangkah keluar.
“Assalamu’alaikum,
Nek.
“Wa’alaikumsalam.
Eh, Nak Via.”
“Iya,
Nek. Sifa ada?”
“Dia
masih di kamarnya. Via, bantu nenek ya, agar dia bisa kembali menjadi cucu
kesayangan nenek yang dulu dan bisa istiqomah sepertimu.”
“InsyaAllah,
Nek. Kalau begitu Via ke kamar Sifa dulu.”
“Iya,
silakan”
“Aku
tidak mau berangkat kuliah.” celetuk Sifa yang tiba-tiba sudah berdiri tak jauh dari
tempat Via.
“Siapa
juga yang menyuruhmu berangkat kuliah di hari Minggu begini?” jawab Via santai.
“Terus
Kamu mau mengajakku kemana?”
“Ke
rumah lamaku.”
“Ya
sudah ayo, kebetulan aku lagi gabut banget nih soalnya temen-temen gengku lagi
sibuk dengan urusan masing-masing.”
Setelah
berpamitan dengan sang nenek mereka berdua segera pergi. Sepanjang perjalanan
mereka hanya diam. Sifa baru membuka suaranya saat mereka turun di sebuah
tempat yang dirasanya aneh.
“Kenapa
kita turun di sini?”
“Inilah
rumah lamaku, Sif.”
Sifa
mengernyitkan kening heran, “Maksudmu?”
”Dulu
aku pernah tinggal di sini seperti mereka.” ujar Via sambil memperhatikan
anak-anak jalanan yang sedang bermain dan sebagian lagi sedang belajar baca-tulis
dengan seseorang yang asing di mata Sifa.
“Bian….”
Via memanggil sesosok lelaki yang pernah bersama menghabiskan waktu setengah
umurnya di tempat ini.
Pria
jangkung itu menoleh dan tersenyum simpul. Beberapa detik kemudian dia tampak
berbicara sekilas dengan anak-anak jalanan yang sedang belajar bersamanya. Dia lantas
bergegas menghampiri Via dan Sifa.
“Dia….”
“Dia
Sifa, sahabatku di Bandung.”
“Aku
tahu namanya.”
“Jadi
kalian sudah saling kenal?”
Bian
menggelengkan kepalanya. “Anak-anak pernah bercerita tentang dia dan gengnya.”
“Itu
kakak yang kemarin mengganggu kita!” tiba-tiba seorang anak berbaju tosca
berteriak dan menunjuk Sifa.”
Pipi Sifa memanas. Ia sadar saat ini wajahnya tengah memerah.
Dengan cepat disembunyikan wajah yang semerah tomat itu dengan menangkupkan
kedua tangannya.
“Hahaha, jangan takut, mereka baik kok.” celetuk Bian.
“Dia bukan takut, Bian. Tapi malu karena ketahuan olehku
pernah menjadi biang kerok di sini. Lihat aja pipinya sudah semerah tomat.” goda
Via.
Sifa membuka tangan yang menutupi wajahnya. Dia meringis
mendengar perkataan Via yang memang benar adanya.
“Maafkan aku, aku tidak tahu kalau Kamu kenal dengan mereka,
Vi.”
“Sudahlah, ayo minta maaf dengan mereka.”
“Tapi, Via…”
“Ayo!” Via menarik lengan Sifa menuju ke hadapan anak-anak yang
mengawasi mereka sedari tadi.
“Adik-adik, kenalkan ini namanya Kak Sifa. Dia temennya Kak
Via dan Kak Bian, jadi kalian tidak boleh nakal sama Kak Sifa, ya.”
“Tapi Dia pernah menjahili kami, Kak.”
“Eh, adik-adikku yang manis, Kak Sifa minta maaf ya. Kemarin
itu kakak dan teman-teman khilaf.” ucap Sifa dengan senyum yang sedikit
dipaksakan.
“Huuuuuuu…..” teriak anak-anak dengan kompak, lalu mereka
kembali melanjutkan aktifitasnya masing-masing.
Via dan Bian terkekeh geli melihat kelakuan
Sifa dan anak-anak itu. Sifa lalu mengalihkan topik pembicaraan.
“Kamu
masih berhutang penjelasan kepadaku, Vi.”
“Penjelasan
apalagi, Sifa?”
“Bagaimana
ceritanya kalian bisa tinggal di tempat ini?” tanya Sifa sambil mengamati
sekelilingnya.
“Aku
akan pergi mencari makanan untuk makan siang dulu.” ujar Bian tanpa menjawab
pertanyaan Sifa, lalu menuju warung makan di seberang jalan raya.
Via
terdiam.
“Maaf,
Vi, kalau pertanyaanku menyinggungmu, Kamu tidak perlu menjawabnya.”
“Kamu
tidak salah kok, aku dan Bian memang pernah tinggal di sini sebelum pada
akhirnya sepuluh tahun yang lalu ada yang mau mengadopsi kami.”
“Pak
Udin dan Bu Hisa?
“Ya,
mereka hanya orang tua angkatku.”
“Orang
tua kandungmu?”
“Aku
tidak pernah tahu mereka ada di mana. Sejak bayi aku dirawat oleh Bu Ema yang
dulu mengurus panti asuhan, namun karena terjadi penggusuran panti kami hancur
dan kami harus tinggal ditempat seperti ini.”
“Jadi
Kamu belum pernah bertemu orang tuamu sama sekali?”
Via
mengangguk. “Dan semua anak-anak itu juga memiliki nasib yang sama sepertiku,”
lanjutnya.
Sifa
mengamati anak-anak jalanan yang sedang melakukan aktifitasnya.
“Sif,
Kamu beruntung loh.” Via berkata dengan nada lembut.
“Beruntung
bagaimana?”
“Ya,
setidaknya Kamu masih memiliki kedua orang tua. Kamu juga bisa tinggal di rumah
yang nyaman bersama nenek yang penyayang dan selalu ada untukmu.”
“Nasib
kita sama kok, Vi. Aku pun sudah serasa tidak punya siapapun.”
“Sifa,
kamu jangan berfikiran seperti ini terus. Coba Kamu amati mereka yang tak
pernah tau siapa orang tua kandungnya, hidup mereka bahkan sangat jauh dari
kata layak. Tapi mereka selalu berjuang untuk bahagia.” Via menghela nafas
panjang, kemudian, “Kamu seharusnya bersyukur atas apa yang telah diberikan Allah
untukmu, Sif. Percayalah, Allah Yang Maha Mengetahui sudah menyiapkan scenario
terbaik-Nya. Orang tuamu mungkin memang sudah tak bersama lagi, tapi bukankah
Kamu masih bisa menemui mereka? Nenekmu yang kini sudah semakin renta juga sangat
menyayangimu. Jadi tolong, Sifa, jika Kamu masih mau menganggapku sebagai
seorang sahabat, untuk kali ini kembalilah menjadi sahabatku yang dulu. Pakailah
jilbabmu lagi dan jangan pernah membuat keonaran dimana-mana. Jadilah Sifa yang
ramah kepada semua orang dan selalu ceria seperti dulu.”
Via
menyelesaikan kalimatnya dengan mata berkaca-kaca. Tangan kanan yang
mengulurkan sebuah kotak berwarna cokelat. Sifa menerima uluran dari sahabatnya
itu. Dibukanya kotak itu perlahan, ia menemukan jilbab berwarna merah muda.Sifa
terharu mendapatkan perlakuan yang demikian.
Sifa
terdiam sesaat.
“Terimakasih,
Via, Kamu telah menyadarkanku. Kamu benar, Hidupku ini bukan hanya tentang
kekecewaan dan kemarahan yang dipendam dan harus terbalaskan karena semua itu hanya
akan menyita waktuku. Aku seharusnya lebih mendekatkan diri kepada-Nya dan
harus bisa menerima dengan ikhlas apa yang telah Allah berikan untukku. Aku pun
harus lebih bersyukur karena nasibku lebih baik dibandingkan dengan mereka.
Maafkan aku jika selama ini meresahkan kalian karena telah menyakiti diriku
sendiri maupun orang lain. Maafkan aku…. hiks” Selesai mengucapkan kalimat itu
Sifa mengenakan jilbab pemberian Via.
“Aku
akan kembali menjadi diriku yang dulu dan berjilbab lagi, Vi.” Via berhambur
memeluk Sifa yang mulai menitikkan air mata.
“Loh
kalian kenapa, kok malah nangis?” Bian bertanya dengan tampang bingungnya.
“Mau
tau aja,” jawab Siva dan Via hampir bersamaan. Mereka lantas saling
berpandangan dan tertawa.
“Ya
sudah aku tidak jadi tanya deh. Tapi ngomong-ngomong sebentar lagi tiba waktu
shalat dzuhur nih. Makan siangnya mendingan nanti aja setelah shalat, gimana?”
“Setuju.”
Allahuakbar….
Allahuakbar….
Suara adzan dzuhur menghentikan percakapan mereka. Ketiganya
segera mengajak anak-anak yang sedang asyik bermain untuk menuju masjid
terdekat. Sifa berjalan dengan langkah ringan dan sebuah lengkungan bernama
senyum telah terukir menghiasi wajah tirusnya. Ia ingin
segera mengungkapkan sisa-sisa keresahan yang masih tertinggal di hatinya
kepada Sang Pencipta. Kini ia sepenuhnya tersadar bahwa tiada tempat paling
menenteramkan jiwa saat banyak masalah selain bersimpuh di atas sajadah dan
mengungkapkan segalanya kepada Allah. “Layaknya pelangi yang tidak akan
muncul tanpa didahului hujan. Aku yakin setelah mampu melewati semua cobaan ini
Engkau akan memberiku kebahagiaan lain yang jauh lebih indah dari sebelumnya,”
gumamnya dalam hati ketika kakinya menginjak halaman masjid.
END
No comments:
Post a Comment