Saturday 19 May 2018

Teknik PORPE


1.      Teknik PORPE

     PORPE (Predict, Organize, Rehearse, Practice, Evaluate) merupakan strategi belajar yang dikembangkan oleh Simpson (1986) yang dirancang untuk membantu siswa dalam merencanakan secara aktif, memonitor, dan mengevaluasi pembelajaran mereka mengenai isi bacaan, mempelajari proses-proses yang berbelit-belit dalam persiapan ujian esai, dan menggunakan proses menulis untuk mempelajari isi bacaan.

Langkah-Langkah Teknik PORPE
a.       Predict (membuat prediksi berupa pertanyaan-pertanyaan esai)
Tahap ini dirancang agar mahasiswa memprediksikan pertanyaan-pertanyaan esai yang berpotensi muncul. Langkah ini akan memandu mahasiswa dalam belajar setelah membaca bacaan dan diharapkan dapat memperjelas tujuan mereka dalam membaca, mengidentifikasi aspek-aspek penting dalam teks bacaan, serta focus pada gagasan utama.
b.      Organize (mengorganisasikan konsep dalam bentuk mind mapping)
Pada tahap ini mahasiswa mengorganisasikan informasi-informasi kunci yang dapat menjawab prediksi pertanyaan esai yang telah disusun pada tahap pertama.
c.       Rehearse (melatih kembali dengan cara mempresentasikan di depan)
Pada tahap ini mahasiswa menempatkan ide-ide kunci, contoh-contoh, dan organisasi atas gagasan umum ke dalam memori.Mahasiswa mulai melatih kembali (rehearse) dengan cara melakukan recite dengan suara keras dari organisasi gagasan yang telah disusun pada tahap sebelumnya. Mereka diharapkan dapat menguji diri sendiri atas struktur ide yang telah dibuat dengan cara mengulang secara lisan atau menuliskan apa-apa yang diingat oleh mahasiswa dari teks bacaan.
d.      Practice (praktik dengan menuliskan kembali)
Pada tahap ini, mahasiswa menguji proses belajar mereka dengan menuliskan secara detail apa yang telah mereka recite pada rehearse.
e.       Evaluate (mengevaluasi dengan menjawab pertanyaan yang dibuat)
Tahap terakhir dari PORPE adalah mewajibkan mahasiswa untuk mengevaluasi kualitas jawaban esai mereka. Hasil evaluasi tersebut akan menentukan apakah mahasiswa akan kembali mengulang melakukan proses organize atau rehearse atau bahkan telah siap untuk melakukan ujian yang sebenarnya.

Manfaat Teknik PORPE:
  Meningkatkan kemampuan memahami bacaan. Hal ini terjadi karena teknik ini memuat proses monitoring terhadap hasil interpretasi.
  Teknik PORPE mendorong mahasiswa untuk selalu mendiskusikan strategi yang efektif untuk memperoleh pemahaman yang baik.

2.      Penerapan Teknik PORPE pada Artikel “Pendidikan sebagai Keteladanan”

a.       Predict
Tahap ini dirancang agar mahasiswa memprediksikan pertanyaan-pertanyaan esai yang berpotensi muncul dari artikel. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Apa saja yang menjadi kunci keberhasilan pendidikan yang ditekankan pada sekolah alternative yang didirikan oleh tokoh pendidikan di Indonesia?
2)      Apa yang menentukan besar kecilnya suatu bangsa menurut Bung Karno?
3)      Mengapa karakter memiliki peran yang penting?
4)      Kapan pelaksanaan peringatan hari pendidikan di Indonesia?
5)      Kapan artikel tersebut dimuat?
6)      Dimanakah tempat yang dapat menumbuhkan karakter?
7)      Siapakah yang menjadi tokoh pendidikan di Indonesia?
8)      Bagaimanakah pendidikan sebagai benih harapan?
9)      Tuliskan ide pokok dari paragraf utama artikel tersebut!
10)   Tuliskan ringkasan artikel tersebut!

b.      Organize
Mengorganisasikan informasi-informasi kunci yang dapat menjawab prediksi pertanyaan esai yang telah disusun.

c.       Rehearse
Melakukan recite dengan suara keras dari organisasi gagasan yang telah disusun dalam bentuk mind mapping di atas.

d.      Practice
Yaitu menuliskan apa yang telah dihafalkan dan disuarakan (recite). Dalam artikel ini yaitu jawaban dari pertanyaan yang telah diprediksikan

1.       Tekad, tecintaan penggembalaan dan karakter kepemimpinan.
2.      Yang menentukan besar kecilnya suatu bangsa bukanlah seberapa luas wilayahnya dan seberapa banyak penduduknya, melainkan kekuatan tekad sebagai pancaran karakternya
3.      Karena karakter bukan hanya menentukan eksistensi dan kemajuan seseorang, melainkan juga eksistensi dan kemajuan sekelompok orang, dan sebuah bangsa.
4.      Setiap tanggal 2 Mei.
5.      Pada tanggal 8 Mei 2013
6.      Karakter dapat ditumbuhkan di sekolah yang menerapkan system pendidikan karakter, yakni sekolah yang menghindari mengutamakan aspek kognitif dan lahiriah namun menekankan pembangunan aspek kejiwaan.
7.       Ki Hadjar Dewantara (Raden Mas Soewardi Soerjaningrat).
8.      Pendidikan sebagai benih harapan dapat dijadikan alat untuk mengatasi kekacauan, keterpurukan dan ketertindasan. Sehingga pendidikan harus menjadikan karakter sebagai tumpuan dasar.
9.      Pendidikan adalah benih harapan.
10.   Pendidikan merupakan benih harapan yang dapat dijadikan alat untuk mengatasi kekacauan, keterpurukan dan ketertindasan sehingga harus menjadikan karakter sebagai tumpuan dasar. Karakter bukan hanya menentukan eksistensi dan kemajuan seseorang, melainkan juga eksistensi dan kemajuan sekelompok orang, dan sebuah bangsa.

e.       Evaluate
Pada tahap ini, mahasiswa kemudian mengevaluasi jawaban yang sudah dihafal,dilisankan, dan ditulis. Mahasiswa menganalisa jawaban yang telah ditulis, sudahkah sesuai dengan pertanyaan dan artikel yang ada atau belum. Jika sudah sesuai dan banyak jawaban yang benar, amka mahasiswa sudah siap mengikuti ujian esai. Namun, apabila belum sesuai mahasiswa berarti harus mengulangi teknik Porpe kembali karena, belum bisa dikatakan siap mengikuti ujian esai.









3.      Lampiran

Pendidikan sebagai Keteladanan
Sumber: Kompas.com - 08/05/2013, 08:42 WIB
Oleh Yudi latif

Pendidikan itu benih harapan. Jika masyarakat dilanda kekacauan, keterpurukan, ketertindasan, dan tak tahu kunci jawaban membebaskannya, jurus pamungkasnya adalah pendidikan.
Setiap 2 Mei kita peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional, berlandaskan hari lahir tokoh pendidikan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara). Sosoknya melambangkan pendidikan sebagai benih harapan untuk pembebasan, kepribadian, dan kepemimpinan. Ketika diskriminasi sistem pendidikan kolonial menyumbat kesempatan bersekolah bagi rakyat jelata, Ki Hadjar mendirikan sekolah alternatif secara berdikari sebagai titian pembebasan.
Di sekolah yang dicibir pemerintah kolonial sebagai”sekolah liar” itu ditanamkan keyakinan bawa kunci keberhasilan pendidikan bukanlah fasilitas dan formalitas, melainkan tekad, kecintaan penggembalaan, dan karakter kepemimpinan. ”Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan”.
Hanya sistem persekolahan yang berkarakter yang dapat menumbuhkan anak didik berkarakter. Sekolah yang hanya mengandalkan daya beli atau tumbuh dengan berbagai program dan materi pembelajaran proyek kementerian melahirkan anak didik sebagai komoditas. Nilainya tak lebih seperti emas sepuhan. Gemerlap dari luar, tetapi penuh kepalsuan di bagian dalamnya.
Pendidikan sebagai proses manipulatif, dengan menjadikan anak didik sebagai sarana eksploitasi proyek, adalah modus pembudayaan paling efektif untuk mencetak mental korup. Berapa pun angkatan terdidik yang dihasilkan tidak akan menjadi kekuatan pembebasan, malahan jadi sumber penindasan. Di tangan orang-orang pintar dengan mental korup, sebanyak apa pun kekayaan negeri ini tidak akan menjadi sumber kemakmuran, tetapi sumber eksploitasi bangsa lain.
Karena itu, pendidikan sebagai benih harapan harus menjadikan karakter sebagai tumpuan dasar. Apa pun yang dimiliki seseorang, kepintaran, keturunan, keelokan, dan kekuasaan, menjadi tak bernilai jika seseorang tak bisa lagi dipercaya dan tak punya keteguhan sebagai ekspresi dari keburukan karakter.
Tentang hal ini, Bung Karno mengisahkan pengalaman yang menggugah. Ketika diwisuda di Technische Hogeschool, sambil menyerahkan ijazah, rektornya berbisik,”Ir Soekarno, ijazah ini suatu saat dapat robek dan hancur menjadi abu. Dia tidak abadi. Ingatlah, satu-satunya hal yang abadi adalah karakter dari seseorang.” Sedemikian pentingnya karakter sehingga dalam peribahasa Inggris dikatakan,”When wealth is lost, nothing is lost; when health is lost, something is lost; when character is lost, everything is lost.”
Karakter bukan saja menentukan eksistensi dan kemajuan seseorang, melainkan juga eksistensi dan kemajuan sekelompok orang, sebuah bangsa. Ibarat individu, setiap bangsa hakikatnya punya karakter tersendiri yang tumbuh dari pengalaman bersama. Pengertian”bangsa” (nation) yang terkenal dari Otto Bauer menyatakan,”Bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman.”
Perhatian, terutama karakter, sebagai bagian yang menentukan bagi perkembangan ekonomi dan politik masyarakat/bangsa pernah mengalami musim seminya pada tahun 1940-an dan 1950-an. Para pengkaji budaya periode ini, dengan sederet nama besar seperti Margaret Mead, Ruth Benedict, David McClelland, Gabriel Almond, Seymour Martin Lipset, memunculkan prasyarat nilai dan etos yang diperlukan untuk kemajuan bagi negara yang terpuruk pasca-Perang Dunia II. Namun, seiring gemuruh laju developmentalisme yang menekankan pembangunan material, pengkajian tentang budaya mengalami musim kemarau pada 1960andan 1970-an.
Kegagalan pembangunan di sejumlah negara, setelah melewati pelbagai perubahan ekonomi dan politik, menghidupkan kembali minat dalam studi budaya sejak 1980-an. Pentingnya variabel budaya dalam perkembangan ekonomi tampak dalam kasus negara multibudaya. Sekalipun semua kelompok etnis dihadapkan pada hambatan sosial-politik dan krisis ekonomi yang sama, sebagian kelompok lebih berhasil daripada kelompok lain. Di bidang politik, beberapa ahli, seperti Robert Putnam dan Ronald Inglehart, menunjukkan hubungan erat antara variabel karakter-budaya dan keberhasilan/kegagalan demokrasi.
Tentang pentingnya karakter bagi suatu bangsa, Bung Karno sering mengajukan pertanyaan yang ia pinjam dari sejarawan Inggris, HG Wells,”Apa yang menentukan besar kecilnya suatu bangsa?” Ia lantas jawab sendiri, yang menentukan bukanlah seberapa luas wilayahnya dan seberapa banyak penduduknya, melainkan kekuatan tekad sebagai pancaran karakternya.
Peringatan Hari Pendidikan Nasional harus melahirkan fajar budi dalam politik pendidikan, dengan menghidupkan dunia persekolahan sebagai wahana pembebasan, bukan sebagai wahana eksploitasi proyek. Keberadaban suatu bangsa terlihat dalam penghormatannya terhadap dunia pendidikan. Semasa perang dunia sekalipun, lumbung ilmu, seperti Universitas Heidelberg dan Sorbonne, tak disentuh serangan militer. Kebiadaban suatu bangsa terlihat dari usaha politisasi dan eksploitasi dunia pendidikan untuk tujuan pragmatis.
Pendidikan sebagai wahana pembebasan, pembudayaan, dan kepemimpinan harus menempatkan karakter sebagai tumpuan dasar. Harus dihindari pengajaran yang terlalu mengutamakan aspek kognitif dan lahiriah. Pertama-tama harus ditekankan pembangunan aspek kejiwaan. ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!”
Pengalaman menjadi Indonesia menunjukkan bahwa seberat apa pun kesulitan, kemelaratan, dan penderitaan bangsa ini bisa diatasi oleh kekuatan karakter para pemimpinnya. Kehilangan terbesar bangsa ini bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi ataupun kematian pemimpin, melainkan kehilangan karakter.

No comments:

Post a Comment