1. Teknik PORPE
PORPE (Predict, Organize, Rehearse,
Practice, Evaluate) merupakan strategi belajar yang dikembangkan oleh Simpson
(1986) yang dirancang untuk membantu siswa dalam merencanakan secara aktif,
memonitor, dan mengevaluasi pembelajaran mereka mengenai isi bacaan,
mempelajari proses-proses yang berbelit-belit dalam persiapan ujian esai, dan
menggunakan proses menulis untuk mempelajari isi bacaan.
Langkah-Langkah
Teknik PORPE
a. Predict
(membuat prediksi berupa pertanyaan-pertanyaan esai)
Tahap
ini dirancang agar mahasiswa memprediksikan pertanyaan-pertanyaan esai yang
berpotensi muncul. Langkah ini akan memandu mahasiswa dalam belajar setelah
membaca bacaan dan diharapkan dapat memperjelas tujuan mereka dalam membaca,
mengidentifikasi aspek-aspek penting dalam teks bacaan, serta focus pada
gagasan utama.
b. Organize
(mengorganisasikan konsep dalam bentuk mind mapping)
Pada
tahap ini mahasiswa mengorganisasikan informasi-informasi kunci yang dapat
menjawab prediksi pertanyaan esai yang telah disusun pada tahap pertama.
c. Rehearse
(melatih kembali dengan cara mempresentasikan di depan)
Pada
tahap ini mahasiswa menempatkan ide-ide kunci, contoh-contoh, dan organisasi atas
gagasan umum ke dalam memori.Mahasiswa mulai melatih kembali (rehearse) dengan cara melakukan recite dengan suara
keras dari organisasi gagasan yang telah disusun pada tahap sebelumnya. Mereka
diharapkan dapat menguji diri sendiri atas struktur ide yang telah dibuat
dengan cara mengulang secara lisan atau menuliskan apa-apa yang diingat oleh
mahasiswa dari teks bacaan.
d. Practice
(praktik dengan menuliskan kembali)
Pada
tahap ini, mahasiswa menguji proses belajar mereka dengan menuliskan secara
detail apa yang telah mereka recite
pada rehearse.
e. Evaluate
(mengevaluasi dengan menjawab pertanyaan yang dibuat)
Tahap
terakhir dari PORPE adalah mewajibkan mahasiswa untuk mengevaluasi kualitas
jawaban esai mereka. Hasil evaluasi tersebut akan menentukan apakah mahasiswa
akan kembali mengulang melakukan proses organize atau rehearse atau bahkan telah siap untuk melakukan ujian yang
sebenarnya.
Manfaat Teknik PORPE:
Meningkatkan kemampuan memahami bacaan. Hal ini
terjadi karena teknik ini memuat proses monitoring terhadap hasil interpretasi.
Teknik PORPE mendorong mahasiswa untuk selalu
mendiskusikan strategi yang efektif untuk memperoleh pemahaman yang baik.
2.
Penerapan
Teknik PORPE pada Artikel “Pendidikan sebagai Keteladanan”
a. Predict
Tahap
ini dirancang agar mahasiswa memprediksikan pertanyaan-pertanyaan esai yang
berpotensi muncul dari artikel.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Apa
saja yang menjadi kunci keberhasilan pendidikan yang ditekankan pada sekolah
alternative yang didirikan oleh tokoh pendidikan di Indonesia?
2) Apa
yang menentukan besar kecilnya suatu bangsa menurut Bung Karno?
3) Mengapa
karakter memiliki peran yang penting?
4) Kapan
pelaksanaan peringatan hari pendidikan di Indonesia?
5) Kapan artikel tersebut dimuat?
6) Dimanakah
tempat yang dapat menumbuhkan karakter?
7) Siapakah
yang menjadi tokoh pendidikan di Indonesia?
8) Bagaimanakah
pendidikan sebagai benih
harapan?
9) Tuliskan ide pokok dari paragraf utama artikel tersebut!
10) Tuliskan ringkasan
artikel tersebut!
b. Organize
Mengorganisasikan
informasi-informasi kunci yang dapat menjawab prediksi pertanyaan esai yang telah
disusun.
c. Rehearse
Melakukan
recite dengan suara keras dari organisasi gagasan yang telah disusun dalam
bentuk mind mapping di atas.
d.
Practice
Yaitu menuliskan apa yang telah dihafalkan
dan disuarakan (recite). Dalam artikel ini yaitu jawaban dari
pertanyaan yang telah diprediksikan
1. Tekad,
tecintaan penggembalaan dan karakter kepemimpinan.
2. Yang menentukan besar kecilnya suatu bangsa
bukanlah seberapa luas wilayahnya dan seberapa banyak penduduknya, melainkan
kekuatan tekad sebagai pancaran karakternya
3. Karena karakter bukan hanya menentukan
eksistensi dan kemajuan seseorang, melainkan juga eksistensi dan kemajuan
sekelompok orang, dan sebuah bangsa.
4. Setiap tanggal 2 Mei.
5. Pada tanggal 8 Mei 2013
6.
Karakter
dapat ditumbuhkan di sekolah yang menerapkan system pendidikan karakter, yakni
sekolah yang menghindari mengutamakan aspek kognitif dan lahiriah namun
menekankan pembangunan aspek kejiwaan.
7. Ki Hadjar Dewantara (Raden Mas Soewardi
Soerjaningrat).
8. Pendidikan sebagai benih harapan dapat
dijadikan alat untuk mengatasi kekacauan, keterpurukan dan ketertindasan.
Sehingga pendidikan harus menjadikan karakter sebagai tumpuan dasar.
9. Pendidikan adalah benih harapan.
10. Pendidikan
merupakan benih harapan yang dapat dijadikan alat untuk mengatasi kekacauan,
keterpurukan dan ketertindasan sehingga harus menjadikan karakter
sebagai tumpuan dasar. Karakter
bukan hanya menentukan eksistensi dan kemajuan seseorang, melainkan juga
eksistensi dan kemajuan sekelompok orang, dan sebuah bangsa.
e. Evaluate
Pada tahap
ini, mahasiswa kemudian mengevaluasi jawaban yang sudah dihafal,dilisankan, dan
ditulis. Mahasiswa menganalisa jawaban yang telah ditulis, sudahkah sesuai
dengan pertanyaan dan artikel yang ada atau belum. Jika sudah sesuai dan banyak
jawaban yang benar, amka mahasiswa sudah siap mengikuti ujian esai. Namun,
apabila belum sesuai mahasiswa berarti harus mengulangi teknik Porpe kembali
karena, belum bisa dikatakan siap mengikuti ujian esai.
3.
Lampiran
Pendidikan
sebagai Keteladanan
Sumber: Kompas.com -
08/05/2013, 08:42 WIB
Oleh Yudi latif
Pendidikan itu benih
harapan. Jika masyarakat dilanda kekacauan, keterpurukan, ketertindasan, dan
tak tahu kunci jawaban membebaskannya, jurus pamungkasnya adalah pendidikan.
Setiap 2 Mei kita
peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional, berlandaskan hari lahir tokoh
pendidikan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara). Sosoknya
melambangkan pendidikan sebagai benih harapan untuk pembebasan, kepribadian,
dan kepemimpinan. Ketika diskriminasi sistem pendidikan kolonial menyumbat
kesempatan bersekolah bagi rakyat jelata, Ki Hadjar mendirikan sekolah
alternatif secara berdikari sebagai titian pembebasan.
Di sekolah yang dicibir
pemerintah kolonial sebagai”sekolah liar” itu ditanamkan keyakinan bawa kunci
keberhasilan pendidikan bukanlah fasilitas dan formalitas, melainkan tekad,
kecintaan penggembalaan, dan karakter kepemimpinan. ”Di depan memberi contoh,
di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan”.
Hanya sistem persekolahan
yang berkarakter yang dapat menumbuhkan anak didik berkarakter. Sekolah yang
hanya mengandalkan daya beli atau tumbuh dengan berbagai program dan materi
pembelajaran proyek kementerian melahirkan anak didik sebagai komoditas.
Nilainya tak lebih seperti emas sepuhan. Gemerlap dari luar, tetapi penuh
kepalsuan di bagian dalamnya.
Pendidikan sebagai proses
manipulatif, dengan menjadikan anak didik sebagai sarana eksploitasi proyek,
adalah modus pembudayaan paling efektif untuk mencetak mental korup. Berapa pun
angkatan terdidik yang dihasilkan tidak akan menjadi kekuatan pembebasan,
malahan jadi sumber penindasan. Di tangan orang-orang pintar dengan mental
korup, sebanyak apa pun kekayaan negeri ini tidak akan menjadi sumber
kemakmuran, tetapi sumber eksploitasi bangsa lain.
Karena itu, pendidikan
sebagai benih harapan harus menjadikan karakter sebagai tumpuan dasar. Apa pun
yang dimiliki seseorang, kepintaran, keturunan, keelokan, dan kekuasaan,
menjadi tak bernilai jika seseorang tak bisa lagi dipercaya dan tak punya
keteguhan sebagai ekspresi dari keburukan karakter.
Tentang hal ini, Bung
Karno mengisahkan pengalaman yang menggugah. Ketika diwisuda di Technische
Hogeschool, sambil menyerahkan ijazah, rektornya berbisik,”Ir Soekarno, ijazah
ini suatu saat dapat robek dan hancur menjadi abu. Dia tidak abadi. Ingatlah,
satu-satunya hal yang abadi adalah karakter dari seseorang.” Sedemikian
pentingnya karakter sehingga dalam peribahasa Inggris dikatakan,”When wealth is
lost, nothing is lost; when health is lost, something is lost; when character
is lost, everything is lost.”
Karakter bukan saja
menentukan eksistensi dan kemajuan seseorang, melainkan juga eksistensi dan
kemajuan sekelompok orang, sebuah bangsa. Ibarat individu, setiap bangsa
hakikatnya punya karakter tersendiri yang tumbuh dari pengalaman bersama.
Pengertian”bangsa” (nation) yang terkenal dari Otto Bauer menyatakan,”Bangsa
adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter
atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman.”
Perhatian, terutama
karakter, sebagai bagian yang menentukan bagi perkembangan ekonomi dan politik
masyarakat/bangsa pernah mengalami musim seminya pada tahun 1940-an dan
1950-an. Para pengkaji budaya periode ini, dengan sederet nama besar seperti
Margaret Mead, Ruth Benedict, David McClelland, Gabriel Almond, Seymour Martin
Lipset, memunculkan prasyarat nilai dan etos yang diperlukan untuk kemajuan bagi
negara yang terpuruk pasca-Perang Dunia II. Namun, seiring gemuruh laju
developmentalisme yang menekankan pembangunan material, pengkajian tentang
budaya mengalami musim kemarau pada 1960andan 1970-an.
Kegagalan pembangunan di
sejumlah negara, setelah melewati pelbagai perubahan ekonomi dan politik,
menghidupkan kembali minat dalam studi budaya sejak 1980-an. Pentingnya
variabel budaya dalam perkembangan ekonomi tampak dalam kasus negara
multibudaya. Sekalipun semua kelompok etnis dihadapkan pada hambatan
sosial-politik dan krisis ekonomi yang sama, sebagian kelompok lebih berhasil
daripada kelompok lain. Di bidang politik, beberapa ahli, seperti Robert Putnam
dan Ronald Inglehart, menunjukkan hubungan erat antara variabel karakter-budaya
dan keberhasilan/kegagalan demokrasi.
Tentang pentingnya
karakter bagi suatu bangsa, Bung Karno sering mengajukan pertanyaan yang ia
pinjam dari sejarawan Inggris, HG Wells,”Apa yang menentukan besar kecilnya
suatu bangsa?” Ia lantas jawab sendiri, yang menentukan bukanlah seberapa luas
wilayahnya dan seberapa banyak penduduknya, melainkan kekuatan tekad sebagai
pancaran karakternya.
Peringatan Hari
Pendidikan Nasional harus melahirkan fajar budi dalam politik pendidikan,
dengan menghidupkan dunia persekolahan sebagai wahana pembebasan, bukan sebagai
wahana eksploitasi proyek. Keberadaban suatu bangsa terlihat dalam
penghormatannya terhadap dunia pendidikan. Semasa perang dunia sekalipun,
lumbung ilmu, seperti Universitas Heidelberg dan Sorbonne, tak disentuh
serangan militer. Kebiadaban suatu bangsa terlihat dari usaha politisasi dan
eksploitasi dunia pendidikan untuk tujuan pragmatis.
Pendidikan sebagai wahana
pembebasan, pembudayaan, dan kepemimpinan harus menempatkan karakter sebagai
tumpuan dasar. Harus dihindari pengajaran yang terlalu mengutamakan aspek
kognitif dan lahiriah. Pertama-tama harus ditekankan pembangunan aspek
kejiwaan. ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!”
Pengalaman menjadi Indonesia
menunjukkan bahwa seberat apa pun kesulitan, kemelaratan, dan penderitaan
bangsa ini bisa diatasi oleh kekuatan karakter para pemimpinnya. Kehilangan
terbesar bangsa ini bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi ataupun kematian
pemimpin, melainkan kehilangan karakter.
No comments:
Post a Comment