PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Kritik sastra merupakan salah satu studi sastra.Kritik
sastra adalah cabang ilmu sastra yang memfokuskan perhatiannya pada pengkajian
sastra secara langsung untuk mengidentifikasi, menganalisis, mengklasifikasi
serta memberikan penilaian tentang berhasil tidaknya suatu cipta sastra. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 761) menyebutkan bahwa kritik adalah
kecaman, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap
suatu hasil karya, pendapat, dsb.
Kritik tidak hanya mencari kesalahan tetapi juga menyebutkan
hal-hal yang baik maupun yang buruk, mempertimbangkan baiknya juga buruknya,
dan kemudian memberi penilaian yang mantap. Ada juga pendapat lain mengenai
kritik sastra seperti yang dikemukakan oleh Guntur Tarigan, kritik sastra
adalah pengamatan yang teliti, perbandingan yang tepat serta pertimbangan yang
adil terhadap baik buruknya kualitas, nilai, kebenaran suatu karya sastra.
Secara singkat kritik sastra adalah pengamatan, serta pertimbangan baik
buruknya nilai sastra (Tarigan dalam Darmanto 2007: 18).
Bila merujuk ke perkembangan kritik sastra, maka krtitik
sastra dapat dibedakan menjadi kritik sastra akademik dan kritik sastra
nonakademik. Ada perbedaan antara dua kritik sastra akademik dan kritik sastra
non akademik. Kritik sastra nonakemik tidak terpaku pada format seperti yang
terdapat pada petunjuk teknik penulisan ilmiah,teori dan metode sastra meskipun
digunakan namun tidak diekspilitkan, dan menggunakan bahasa ilmiah populer.
Jenis-jenis tulisannya berupa esai dan artikel yang dipublikasikan lewat koran,
majalah, atau buku-buku yang merupakan kumpulan kritik sastra. Para penulisnya
umumnya sastrawan, wartawan atau kalangan umum yang tertarik mendalam dunia
sastra.
Sedangkan pengertian sastrawan sendiri adalah sebutan bagi
penulis sastra, pujangga, ahli sastra, intelektual, sarjana, atau cendekiawan
dan jauhari dalam diksi klasik.
1.2
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian kritis sastra ?
2.
Apa pengertian akademis dan non akademis ?
3.
Apa hubungan antara kritik sastra akademis dan
kritik sastrawan ?
1.3
TUJUAN
1.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
KRITIK SASTRA
Kata
“kritik” berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya seorang hakim, kritikos (dalam bahasa Indonesia kritikus) berarti
“hakim kesusastraan” (Wellek dalam Pradopo, 2002:31). Berdasarkan istilah di
atas, Wellek mengatakan bahwa kritik sastra itu berarti penghakiman karya
sastra. Hal serupa juga dikemukakan H.B Jassin (1959:44,45) bahwa kritik sastra
itu pertimbangan baik atau buruk karya sastra, penerangan, dan penghakiman
karya sastra. Jadi, berdasarkan pendapat-pendapat di atas, kritik sastra itu
merupakan bidang studi sastra untuk “menghakimi” karya sastra, untuk memberi
penilaian dan keputusan mengenai bermutu atau tidaknya suatu karya sastra.
Dalam kritik sastra, suatu karya sastra diuraikan (dianalisis) unsur-unsurnya
atau norma-normanya, diselidiki, diperiksa satu per satu, kemudian ditentukan
berdasarkan hukum-hukum penilaian karya sastra, bernilai ataukah kurang
bernilaikah karya sastra itu.
B.
PENGERTIAN AKADEMIS DAN NON AKADEMIS
Kritik sastra akademik adalah kritik yang dilakukakn oleh
calon sarjana sastra, misalnya makalah, skripsi, dan disertasi. Sebaliknya,
kritik sastra nonakademik adalah kritik yang ditulis oleh sastrawan atau
wartawan, misalnya esai di media. Dalam dunia kritik sastra Indonesia sering
terjadi pertentangan antara kritik sastra yang ditulis kalangan akademik dan
nonakademik.
Hal di atas misalnya terlihat pada polemik antara kritikus
sastra yang mengusung apa yang dinamakan metode Ganzheit dengan tokoh antara
lain Goenawan Mohamad dan Arif Budiman versus kritikus sastra yang kemudian
diistilahkan dengan aliran Rawamangun dengan tokoh-tokohnya antaralain M.S.
Hutagalung. Dapat dikatakan kritik aliran Rawamangun mewakili jenis kritik
sasta kalangan akademik sedangkan kritik sasta aliran Ganzheti mewakili
kalangan nonakdemik.
Secara jumlah, kritik sastra yang ditulis kalangan akademisi
jauh lebih banyak. Sayang, kritik sastra yang akademik ini dianggap tidak
banyak memberikan pencerahan terhadap pembaca sastra dan terhadap kesustraannya
sendiri. Permasalahan makin kompleks ketika akademisi sastra yang semestinya
menjadi pihak “ideal” dalam mengkritisi sastra karena dianggap kuat secara
teori dan bebas keberpihakan justru tak pernah mengkritik dengan
sungguh-sungguh.
Digambarkan oleh kritikus sastra Ribut Wijoto bahwa sampai
saat ini, belum ada skripsi yang mampu mempresentasikan kritik sastra secara
jernih dan argumentatif. “Mayoritas adalah sampah. Karena kesadaran mahasiswa
sastra terhadap kritik sastra amat rendah. Mereka menyikapi skripsi sebagai
tugas.” Hal lain adalah kemampuan dosen. Banyak dosen sastra Indonesia yang hanya
sibuk sebagai pegawai negeri. Mereka enggan mendatangi forum-forum sastra.
Keilmuan mereka juga tidak beranjak. Artinya, dosen tidak mampu membimbing
mahasiswa untuk menciptakan karya kritik yang cemerlang.
Ketika dikatakan bahwa kritik sastra akademik ternyata perlu
ditambahi juga oleh proses kreatif yang seringkali malah membuat sang sarjana
sastra mencemplungkan diri dalam pembuatan karya sastr22a. Itu artinya batas
antara kritik sastra akademik dan nonakademik menjadi kabur. Mungkin ini
merupakan bagian dinamika dari kritik sastra di Indonesia. Sebagaimana dinamika
di mana sebuah kritik lama-lama menjelma menjadi karya sastra itu sendiri.
C.
HUBUNGAN ANTARA KRITIK SASTRA AKADEMIK DAN
KRITIK SASTRAWAN
Para penulis kritik sastra Indonesia modern sampai pertengahan
tahun 1950-an sebagian besar adalah para sastrawan. Oleh karena itu, periode
1920-1955 itu merupakan periode kritik sastrawan. Corak kritiknya adalah impresionistik,
bertipe ekspresif dan pragmatik, ditulis tidak menurut sistematika ilmiah,
bersifat esaistis. Kritik sastra Pujangga Baru dapat dikatakan menjadi pendasar
kritik sastra Indonesia modern. Meskipun sebelumnya sudah ada kritik sastra
Balai Pustaka, tetapi secara nyata kritik sastra Balai Pustaka tidak dikenal
umum karena hanya terbatas pada pertimbangan buku di kalangan Balai Pustaka
saja. Berbeda dengan Pujangga Baru yang disiarkan dalam majalah Pujangga Baru sejak Juli 1933. Kritik
sastra Pujangga Baru disebut pendasar kritik sastra Indonesia Modern karena
pada kenyatannya gagasan-gagasan, praktik-praktik kritik sastra, dan corak
kritik sastra Pujangga Baru diteruskan oleh sastrawan dan kritikus sesudahnya.
Hal ini tampak pengertian kritik sastra yang merupakan pertimbangan baik buruk
karya sastra, sebagai penerangan, untuk perkembangan kesusastraan dalam “Kritik
Kesusastraan” (1932:838-839) yang kemudian diteruskan oleh H.B.Jassin seperti
tampak dalam esainya “Kritik Sastra” (1959:44-47).
Pada zaman Pujangga Baru ada dua tipe kritik sastra yang
diteruskan sampai sekarang, yaitu tipe kritik sastra pragmatik Sutan Takdir
Alisjahbana dan tipe kritik sastra Sanusi Pane yang bersifat espresif. Tipe
kritik sastra pragmatik Sutan Takdir Alisjahbana dan tipe kritik sastra Sanusi
Pane saling bertentangan. STA menghendaki karya sastra itu berguna bagi
pembangunan bangsa, sedangkan Sanusi Pane menghendaki karya sastra itu
mengutamakan nilai estetikanya, karya sastra “seni untuk seni”. Kurang lebih
pada pertengahan tahun 1950-an timbul jenis kritik sastra yang baru, yaitu
kemudian terkenal dengan kritik akademik atau kritik ilmiah. Corak kritik
akademik berbeda dengan kritik sastrawan sebelumnya. Kritik sastra akademik
berupa penelitian ilmiah dengan metode ilmiah. Ciri-cirinya adalah pembicaraan
sampai pada hal-hal yang kecil, analisisnya mendetail, disusun dalam susunan
yang sistematik, ada pertanggungjawaban ilmiah dengan penyebutan data yang
akurat, pernyataan disertai argumentasi, menggunakan metode ilmiah.
Munculnya kritik ilmiah ini menimbulkan reaksi para
sastrawan. Misalnya saja Rustandi Kartakusuma dan Harijadi Hartowardjoyo yang
menuduh kritik ilmiah itu sebagai kritik induktif interpretatif, tidak ada
penilaian, sebagian besar hanya penafsiran saja. Meskipun ada reaksi dari sastrawan,
kritik akademik terus berjalan, terutama dalam penulisan skripsi, penelitian
sastra ilmiah, makalah dan disertasi. Semakin banyaknya kritik sastra yang
diterbitkan dalam bentuk buku, timbulnya reaksi baru dari sastrawan.
Diantaranya yang tampil adalah Arif Budiman. Mereka memberi ciri kritik
akademik sebagai kritik analitik. Dikatakan demikian disebabkan kritik akademik
terlalu mencincang-cincang karya sastra, menganalisi karya sastra terlalu
analitik, karya sastra dianggap mayat di atas meja bedah.
Untuk menandingi kritik sastra akademik itu mereka (Arif
Budiman, dkk) mengemukakan kritik sastra dengan metode Ganzheit, yaitu melihat
karya sastra sebagai keseluruhan (tidak dicincang-cincang). Atas
reaksi para sastrawan terhadap kritik akademik yang diberi ciri sebagai kritik
analitik itu, terjadilah perdebatan dan polemik. M.S. Hutagalung (tokoh kritik
sastra akademik) yang memproklamirkan kritiknya sebagai “Kritik Sastra Aliran
Rawamangun”. Dalam polemik itu, pihak Ganzheit diwakili oleh Arif Budiman.
Polemik itu baru berhenti pada pertengahan tahun 1970-an. M.S. Hutagalung
mengemukakan pembelaannya terhadap kebaikan dan manfaat kritik ilmiah berjudul
“Peranan Penelitian Ilmiah untuk Pengembangan Kesusastraan Indonesia” dalam
bukunya Membina Kesusastraan Indonesia
Modern (1987). Dikemukakannya manfaat penelitian sastra (kritik sastra)
ilmiah, yaitu: Penelitian ilmiah membuat orang
lebih tepat memandang dan mendekati kesusastraan itu sendiri. Kritik sastra
yang bersifat ilmiah akan lebih dapat dipertanggungjawabkan, subyektivitasnya
dapat dihindari, pengertian akan nilai-nilai akan lebih jelas. Penelitian
ilmiah akan membuat orang lebih bijaksana untuk meramalkan, mengharapkan serta
membina kesusastraan masa akan datang.
No comments:
Post a Comment