Sunday, 20 May 2018

MAKALAH TENTANG AKADEMIS DAN SASTRAWAN

PENDAHULUAN
1.1   LATAR BELAKANG

Kritik sastra merupakan salah satu studi sastra.Kritik sastra adalah cabang ilmu sastra yang memfokuskan perhatiannya pada pengkajian sastra secara langsung untuk mengidentifikasi, menganalisis, mengklasifikasi serta memberikan penilaian tentang berhasil tidaknya suatu cipta sastra. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 761) menyebutkan bahwa kritik adalah kecaman, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb.
Kritik tidak hanya mencari kesalahan tetapi juga menyebutkan hal-hal yang baik maupun yang buruk, mempertimbangkan baiknya juga buruknya, dan kemudian memberi penilaian yang mantap. Ada juga pendapat lain mengenai kritik sastra seperti yang dikemukakan oleh Guntur Tarigan, kritik sastra adalah pengamatan yang teliti, perbandingan yang tepat serta pertimbangan yang adil terhadap baik buruknya kualitas, nilai, kebenaran suatu karya sastra. Secara singkat kritik sastra adalah pengamatan, serta pertimbangan baik buruknya nilai sastra (Tarigan dalam Darmanto 2007: 18).
Bila merujuk ke perkembangan kritik sastra, maka krtitik sastra dapat dibedakan menjadi kritik sastra akademik dan kritik sastra nonakademik. Ada perbedaan antara dua kritik sastra akademik dan kritik sastra non akademik. Kritik sastra nonakemik tidak terpaku pada format seperti yang terdapat pada petunjuk teknik penulisan ilmiah,teori dan metode sastra meskipun digunakan namun tidak diekspilitkan, dan menggunakan bahasa ilmiah populer. Jenis-jenis tulisannya berupa esai dan artikel yang dipublikasikan lewat koran, majalah, atau buku-buku yang merupakan kumpulan kritik sastra. Para penulisnya umumnya sastrawan, wartawan atau kalangan umum yang tertarik mendalam dunia sastra.
Sedangkan pengertian sastrawan sendiri adalah sebutan bagi penulis sastra, pujangga, ahli sastra, intelektual, sarjana, atau cendekiawan dan jauhari dalam diksi klasik.
1.2   RUMUSAN MASALAH
1.       Apa pengertian kritis sastra ?
2.       Apa pengertian akademis dan non akademis ?
3.       Apa hubungan antara kritik sastra akademis dan kritik sastrawan ?

1.3   TUJUAN
1.        



BAB II
PEMBAHASAN
A.      PENGERTIAN KRITIK SASTRA
Kata “kritik” berasal dari bahasa Yunani krites yang artinya seorang hakim, kritikos (dalam bahasa Indonesia kritikus) berarti “hakim kesusastraan” (Wellek dalam Pradopo, 2002:31). Berdasarkan istilah di atas, Wellek mengatakan bahwa kritik sastra itu berarti penghakiman karya sastra. Hal serupa juga dikemukakan H.B Jassin (1959:44,45) bahwa kritik sastra itu pertimbangan baik atau buruk karya sastra, penerangan, dan penghakiman karya sastra. Jadi, berdasarkan pendapat-pendapat di atas, kritik sastra itu merupakan bidang studi sastra untuk “menghakimi” karya sastra, untuk memberi penilaian dan keputusan mengenai bermutu atau tidaknya suatu karya sastra. Dalam kritik sastra, suatu karya sastra diuraikan (dianalisis) unsur-unsurnya atau norma-normanya, diselidiki, diperiksa satu per satu, kemudian ditentukan berdasarkan hukum-hukum penilaian karya sastra, bernilai ataukah kurang bernilaikah karya sastra itu.
B.      PENGERTIAN AKADEMIS DAN NON AKADEMIS
Kritik sastra akademik adalah kritik yang dilakukakn oleh calon sarjana sastra, misalnya makalah, skripsi, dan disertasi. Sebaliknya, kritik sastra nonakademik adalah kritik yang ditulis oleh sastrawan atau wartawan, misalnya esai di media. Dalam dunia kritik sastra Indonesia sering terjadi pertentangan antara kritik sastra yang ditulis kalangan akademik dan nonakademik.
Hal di atas misalnya terlihat pada polemik antara kritikus sastra yang mengusung apa yang dinamakan metode Ganzheit dengan tokoh antara lain Goenawan Mohamad dan Arif Budiman versus kritikus sastra yang kemudian diistilahkan dengan aliran Rawamangun dengan tokoh-tokohnya antaralain M.S. Hutagalung. Dapat dikatakan kritik aliran Rawamangun mewakili jenis kritik sasta kalangan akademik sedangkan kritik sasta aliran Ganzheti mewakili kalangan nonakdemik.
Secara jumlah, kritik sastra yang ditulis kalangan akademisi jauh lebih banyak. Sayang, kritik sastra yang akademik ini dianggap tidak banyak memberikan pencerahan terhadap pembaca sastra dan terhadap kesustraannya sendiri. Permasalahan makin kompleks ketika akademisi sastra yang semestinya menjadi pihak “ideal” dalam mengkritisi sastra karena dianggap kuat secara teori dan bebas keberpihakan justru tak pernah mengkritik dengan sungguh-sungguh.
Digambarkan oleh kritikus sastra Ribut Wijoto bahwa sampai saat ini, belum ada skripsi yang mampu mempresentasikan kritik sastra secara jernih dan argumentatif. “Mayoritas adalah sampah. Karena kesadaran mahasiswa sastra terhadap kritik sastra amat rendah. Mereka menyikapi skripsi sebagai tugas.” Hal lain adalah kemampuan dosen. Banyak dosen sastra Indonesia yang hanya sibuk sebagai pegawai negeri. Mereka enggan mendatangi forum-forum sastra. Keilmuan mereka juga tidak beranjak. Artinya, dosen tidak mampu membimbing mahasiswa untuk menciptakan karya kritik yang cemerlang.
Ketika dikatakan bahwa kritik sastra akademik ternyata perlu ditambahi juga oleh proses kreatif yang seringkali malah membuat sang sarjana sastra mencemplungkan diri dalam pembuatan karya sastr22a. Itu artinya batas antara kritik sastra akademik dan nonakademik menjadi kabur. Mungkin ini merupakan bagian dinamika dari kritik sastra di Indonesia. Sebagaimana dinamika di mana sebuah kritik lama-lama menjelma menjadi karya sastra itu sendiri.

C.      HUBUNGAN ANTARA KRITIK SASTRA AKADEMIK DAN KRITIK SASTRAWAN
Para penulis kritik sastra Indonesia modern sampai pertengahan tahun 1950-an sebagian besar adalah para sastrawan. Oleh karena itu, periode 1920-1955 itu merupakan periode kritik sastrawan. Corak kritiknya adalah impresionistik, bertipe ekspresif dan pragmatik, ditulis tidak menurut sistematika ilmiah, bersifat esaistis. Kritik sastra Pujangga Baru dapat dikatakan menjadi pendasar kritik sastra Indonesia modern. Meskipun sebelumnya sudah ada kritik sastra Balai Pustaka, tetapi secara nyata kritik sastra Balai Pustaka tidak dikenal umum karena hanya terbatas pada pertimbangan buku di kalangan Balai Pustaka saja. Berbeda dengan Pujangga Baru yang disiarkan dalam majalah Pujangga Baru sejak Juli 1933. Kritik sastra Pujangga Baru disebut pendasar kritik sastra Indonesia Modern karena pada kenyatannya gagasan-gagasan, praktik-praktik kritik sastra, dan corak kritik sastra Pujangga Baru diteruskan oleh sastrawan dan kritikus sesudahnya. Hal ini tampak pengertian kritik sastra yang merupakan pertimbangan baik buruk karya sastra, sebagai penerangan, untuk perkembangan kesusastraan dalam “Kritik Kesusastraan” (1932:838-839) yang kemudian diteruskan oleh H.B.Jassin seperti tampak dalam esainya “Kritik Sastra” (1959:44-47).
Pada zaman Pujangga Baru ada dua tipe kritik sastra yang diteruskan sampai sekarang, yaitu tipe kritik sastra pragmatik Sutan Takdir Alisjahbana dan tipe kritik sastra Sanusi Pane yang bersifat espresif. Tipe kritik sastra pragmatik Sutan Takdir Alisjahbana dan tipe kritik sastra Sanusi Pane saling bertentangan. STA menghendaki karya sastra itu berguna bagi pembangunan bangsa, sedangkan Sanusi Pane menghendaki karya sastra itu mengutamakan nilai estetikanya, karya sastra “seni untuk seni”. Kurang lebih pada pertengahan tahun 1950-an timbul jenis kritik sastra yang baru, yaitu kemudian terkenal dengan kritik akademik atau kritik ilmiah. Corak kritik akademik berbeda dengan kritik sastrawan sebelumnya. Kritik sastra akademik berupa penelitian ilmiah dengan metode ilmiah. Ciri-cirinya adalah pembicaraan sampai pada hal-hal yang kecil, analisisnya mendetail, disusun dalam susunan yang sistematik, ada pertanggungjawaban ilmiah dengan penyebutan data yang akurat, pernyataan disertai argumentasi, menggunakan metode ilmiah.
Munculnya kritik ilmiah ini menimbulkan reaksi para sastrawan. Misalnya saja Rustandi Kartakusuma dan Harijadi Hartowardjoyo yang menuduh kritik ilmiah itu sebagai kritik induktif interpretatif, tidak ada penilaian, sebagian besar hanya penafsiran saja. Meskipun ada reaksi dari sastrawan, kritik akademik terus berjalan, terutama dalam penulisan skripsi, penelitian sastra ilmiah, makalah dan disertasi. Semakin banyaknya kritik sastra yang diterbitkan dalam bentuk buku, timbulnya reaksi baru dari sastrawan. Diantaranya yang tampil adalah Arif Budiman. Mereka memberi ciri kritik akademik sebagai kritik analitik. Dikatakan demikian disebabkan kritik akademik terlalu mencincang-cincang karya sastra, menganalisi karya sastra terlalu analitik, karya sastra dianggap mayat di atas meja bedah.
Untuk menandingi kritik sastra akademik itu mereka (Arif Budiman, dkk) mengemukakan kritik sastra dengan metode Ganzheit, yaitu melihat karya sastra sebagai keseluruhan (tidak dicincang-cincang). Atas reaksi para sastrawan terhadap kritik akademik yang diberi ciri sebagai kritik analitik itu, terjadilah perdebatan dan polemik. M.S. Hutagalung (tokoh kritik sastra akademik) yang memproklamirkan kritiknya sebagai “Kritik Sastra Aliran Rawamangun”. Dalam polemik itu, pihak Ganzheit diwakili oleh Arif Budiman. Polemik itu baru berhenti pada pertengahan tahun 1970-an. M.S. Hutagalung mengemukakan pembelaannya terhadap kebaikan dan manfaat kritik ilmiah berjudul “Peranan Penelitian Ilmiah untuk Pengembangan Kesusastraan Indonesia” dalam bukunya Membina Kesusastraan Indonesia Modern (1987). Dikemukakannya manfaat penelitian sastra (kritik sastra) ilmiah, yaitu:  Penelitian ilmiah membuat orang lebih tepat memandang dan mendekati kesusastraan itu sendiri. Kritik sastra yang bersifat ilmiah akan lebih dapat dipertanggungjawabkan, subyektivitasnya dapat dihindari, pengertian akan nilai-nilai akan lebih jelas. Penelitian ilmiah akan membuat orang lebih bijaksana untuk meramalkan, mengharapkan serta membina kesusastraan masa akan datang.


No comments:

Post a Comment