PEMBELAJARAN
SASTRA YANG KREATIF DAN INTEGRATIF SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN KARAKTER BAGI SISWA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Kemampuan
Menulis 2
Dosen Pengampu Dr. Yulia Esti Katrini, MS.
Oleh:
Dwi Astuti Asih
1610301071
3B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TIDAR
2017
Abstract
Character of a person can
be formed through education in the scope of family, school, or community
environment. In school, character education can be gained through knowledge
learning and the planting of life values that can be implemented in everyday
life. Literary material can be used as one of the sources and means of forming
the character of the students because basically the literary work is a
reflection of the life of society that contains values about all aspects of
human life. Character education through literary learning can be successful if
teachers can choose teaching materials that contain positive values and
policies and tailored to creative and integrative learning methods to create a
pleasant atmosphere. In addition, literary learning as a character building
medium in schools should also involve the support of school principals and
parents. The principal acts as a provider of facilities in support of learning.
Parents have a role to balance between the values gained in school and
society and their application in social interaction. The expected outcome of
character education through creative and integrative literary learning is to
produce students of character and skill in listening, speaking, reading,
writing, and appreciating literary works.
Keywords:
Education, Character, Literature, Creative and Integrative Literary Learning
Abstrak
Karakter
seseorang dapat terbentuk melalui pendidikan di lingkup keluarga, sekolah, atau
lingkungan masyarakat. Di sekolah, pendidikan karakter dapat
diperoleh melalui pembelajaran pengetahuan dan penanaman nilai-nilai kehidupan yang
dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Materi sastra dapat
dijadikan sebagai salah satu sumber dan sarana pembentukan karakter siswa
karena pada dasarnya karya sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat yang
mengandung nilai-nilai tentang segala aspek kehidupan manusia. Pendidikan
karakter melalui pembelajaran sastra bisa berhasil jika guru dapat memilih
bahan ajar yang mengandung nilai-nilai dan kebijakan yang positif serta
disesuaikan dengan metode pembelajaran yang kreatif dan integratif untuk
menciptakan suasana yang menyenangkan. Selain itu, pembelajaran sastra sebagai
media pembentukan karakter di sekolah juga harus melibatkan dukungan kepala
sekolah dan orang tua siswa. Kepala sekolah berperan sebagai penyedia fasilitas
dalam mendukung pembelajaran. Orangtua memiliki peran untuk menyeimbangkan
antara nilai-nilai yang diperoleh di sekolah dan masyarakat serta penerapannya
dalam interaksi sosial. Hasil yang diharapkan dari pendidikan karakter melalui
pembelajaran sastra yang kreatif dan integratif ini adalah menghasilkan siswa
yang berkarakter dan terampil dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis,
serta mengapresiasi karya sastra.
Kata Kunci: Pendidikan, Karakter, Sastra, Pembelajaran Sastra
yang Kreatif dan Integratif
PENDAHULUAN
Karakter merupakan penggambaran
sifat-sifat kejiwaan dan tingkah laku seseorang dengan menonjolkan nilai
tertentu sehingga berbeda dengan orang lain yang diperoleh melalui proses
pembelajaran. Karakter seseorang bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir. Pada
dasarnya karakter tersebut terbentuk melalui proses pembelajaran yang cukup
panjang di beberapa tempat, seperti di rumah, sekolah, dan lingkungan
masyarakat sekitar. Pembentukan
karakter di sekolah dapat dilakukan melalui pembelajaran pengetahuan (kognisi)
dan penanaman nilai-nilai karakter yang dapat diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Materi pelajaran di sekolah menyuguhkan pendidikan karakter yang
abstrak dan ideal. Namun ada juga materi pelajaran yang menyuguhkan pendidikan
karakter yang nyata (konkret) bagi siswa, yakni materi sastra.
Sastra dapat dijadikan sebagai salah satu sumber dan sarana
pembentukan karakter siswa karena pada dasarnya karya sastra merupakan cerminan
kehidupan masyarakat yang mengandung nilai-nilai tentang segala
aspek kehidupan manusia, berupa nilai moral, ahlak, dan budi pekerti.
Pendidikan karakter melalui pembelajaran sastra bisa berhasil jika guru dapat
memilih bahan ajar yang tepat dan disesuaikan dengan metode pembelajaran yang
menarik. Pembelajaran sastra akan mendapatkan dukungan secara luas oleh
lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, dan masyarakat jika bahan ajar sastra
disesuaikan dengan nilai-nilai karakter yang digali dari budaya masyarakat
setempat.
Berdasarkan observasi, selama ini proses
pembelajaran sastra dalam Bahasa Indonesia belum sepenuhnya mencapai target
yang diinginkan karena belum bermuara pada empat keterampilan berbahasa, yakni
menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Model pembelajarannya juga kurang
menarik dan terkesan membosankan sehingga siswa menjadi kurang menyukai
pelajaran sastra dan tidak mampu mengimplementasikan nilai-nilai karakter dalam
sastra tersebut. Untuk itu, dalam tulisan ini akan membahas mengenai bagaimana
mengemas pembelajaran sastra yang kreatif dan integratif sebagai media pendidikan
karakter bagi siswa.
Tujuan yang diharapkan dari penulisan tulisan
ini adalah untuk mengetahui tentang pembelajaran sastra yang kreatif dan
integratif untuk menghasilkan siswa yang berkarakter dan terampil menyimak,
berbicara, membaca, menulis, serta mengapresiasi karya sastra.
PEMBAHASAN
Pendidikan Karakter
Menurut
Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan upaya menumbuhkan budi pekerti
(karakter), daya pikiran (intellect) dan tubuh anak. Ketiganya tidak boleh
dipisahkan agar pendidikan dapat menumbuhkembangkan anak dengan sempurna. Pendidikan
juga diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah
kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. (Umar Tirtaahardja, 2008)
Karakter
merupakan penggambaran sifat-sifat kejiwaan dan tingkah laku seseorang dengan
menonjolkan nilai tertentu sehingga berbeda dengan orang lain yang diperoleh
melalui proses pembelajaran. Menurut Kamisa, karakter merupakan sifat kejiwaan,
akhlak serta budi pekerti yang dimiliki seseorang yang membuatnya berbeda
dibandingkan dengan orang lainnya. Berkarakater juga dapat diartikan sebagai
memiliki sebuah watak serta kepribadian. Lichona (2012:82) membagi karakter
menjadi tiga bagian yang saling berhubungan, yaitu pengetahuan moral, perasaan
moral, dan perilaku moral.
Pendidikan
Karakter adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana serta proses
pemberdayaan potensi dan pembudayaan peserta didik guna membangun karakter
pribadi atau kelompok yang unik baik sebagai warga negara. Menurut kamus
psikologi, pendidikan karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak
etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan berkaitan dengan sifat-sifat
yang relatif tetap. (Dali Gulo, 1982).
Presiden
pertama Indonesia, Soekarno, pernah mencanangkan tentang pembangunan karakter
(character building) dalam berbangsa. Di Amerika Serika, pada tahun 1990-an muncul
gagasan tentang perlunya pendidikan karakter melalui tulisan Thomas Lickona
(1993) yang berjudul Education for Character. Begitu pula di Kanada,
(Berkowitz, 2008) mengemukakan 3 prinsip pendidikan karakter, yaitu membangun
dunia yang bermoral dengan menciptakan manusia yang bermoral, prilaku anak
adalah satu-satunya bahan pertanggungjawaban yang dapat diminta kepada orang
tua, sekolah memiliki peranan dan pengaruh yang kuat dan intensif terhadap anak
karena mereka menghabiskan sebagian besar waktunya bertahun-tahun di sekolah.
Selain itu, beberapa negara seperti Inggris, Spanyol, Jepang, Cina, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, dan
Singapura juga mempraktikkan pendidikan karakter. (Samani, 2012:16-17)
Pendidikan
karakter kini menjadi salah satu wacana utama dalam kebijakan nasional di
bidang pendidikan. Seluruh kegiatan belajar mengajar yang ada dalam negara
Indonesia harus merujuk pada pelaksanaan pendidikan Karakter. Hal ini termuat
di dalam Naskah Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter yang diterbitkan oleh
Kementerian Pendidikan pada tahun 2010, dinyatakan bahwa pendidikan karakter
menjadi unsur utama dalam pencapaian visi dan misi pembangunan nasional yang
termasuk pada RPJP 2005-2025. Selain itu juga terdapat dalam UU RI No 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merumuskan fungsi dan tujuan
pendidikan Nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan
di Indonesia. Pasal 3 UU SIKDIKNAS menyebutkan: “Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan dan membantu watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi, peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Sejalan
dengan implementasi pendidikan karakter, UNESCO menetapkan empat pilar
pendidikan yang diharapkan dapat diterapkan di dunia, yaitu learning to know,
learning to do, learning to be dan learning to live together. Pendidikan
karakter penting untuk dilakukan untuk menghadapi berbagai persoalan yang
menghampiri bangsa dan negara, yakni semakin berkembangnya nilai-nilai buruk di
tengah derasnya arus globalisasi, seperti gaya hidup yang konsumtif, hedonisme,
pergaulan bebas, penggunaan narkotika, kekerasan, dan perilaku yang tidak lagi
mengenal batas-batas kemanusiaan.
Sementara itu, kepekaan sosial masyarakat semakin menipis,
individualisme semakin tumbuh dan berkembang, bahkan ketedalanan semakin sulit
ditemukan sehingga harmonisasi kehidupan bermasyarat semakin terancam.
Pada
dasarnya pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu menjadikan anak didik cerdas dan
berprilaku baik. (Lickona, 2012: 7). Pendidikan karakter merupakan pendidikan
nilai, budi pekerti, moral, dan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan
siswa membuat keputusan baik dan memeliharanya kemudian mewujudkannya dalam
kehidupan sehari-hari dengan sadar dan ikhlas.
Pembelajaran Sastra
Sastra
merupakan sebuah karya tentang cerminan kehidupan masyarakat yang
mengandung nilai-nilai tentang segala aspek kehidupan manusia, berupa
nilai moral, ahlak, dan budi pekerti. Menurut Luxemburg dkk,
sastra merupakan teks yang mengandung unsur fisionalitas, diolah secara
istimewa, dapat dibaca menurut tahap arti yang berbeda-beda, dan termasuk
teks-teks yang tidak melulu disusun untuk tujuan komunikatif. Sastra juga
diartikan sebagai segala sesuatu yang tertulis, dibatasi pada maha karya (great
books), dan termasuk karya imajinatif. (Renne Wellek dan Austin Warren)
Pembelajaran sastra di sekolah tidak hanya
ditujukan pada pengetahuan tentang sastra yang berupa teori sastra, sejarah
sastra, dan kritik sastra tetapi juga bertujuan untuk mengantarkan siswa supaya
mencintai, menghayati dan menikmati karya sastra. Dengan demikian, pembelajaran
sastra bagi siswa tidak diarahkan untuk menghafal istilah-istilah sastra,
aspek-aspek teoritis pembentuk sastra, periodisasi sastra, dan menilai sebuah
karya sastra bernilai atau tidak, tetapi pembelajaran sastra diharapkan dapat
membangun kecintaan siswa terhadap karya sastra sehingga dapat menikmati dan
mengambil pelajaran tentang nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam karya
sastra. Praktik pembelajaran sastra saat ini bukan memanfatkan karya sastra
sebagai karya yang indah dan bermanfaat, tetapi kebanyakan berorientasi pada
pengetahuan untuk tujuan memperoleh nilai ujian karena materi sastra masih
digabungkan dengan materi bahasa. Pembelajaran sastra menjadi kering dari nilai-nilai
tentang kehidupan dan kemanusiaan karena karya sastra dipelajari untuk
diketahui bukan untuk dinikmati dan dihayati kemudian nilai karakter di
dalamnya diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Guru cenderung memanfaatkan
buku-buku mata pelajaran yang sudah tersedia, tanpa mencari alternatif lain
dengan memanfaatkan karya siswa atau guru sebagai bahan ajar. Selain itu, model
yang digunakan dalam pembelajaran sastra juga kurang menarik dan terkesan
membosankan sehingga siswa menjadi kurang menyukai pelajaran sastra.
Permasalahan dalam pengajaran sastra di
sekolah bukan semata-mata mengacu pada pranata yang sudah ada (kurikulum, guru,
peserta didik, dan sarana), melainkan terletak pada pemahaman tentang hakikat
pengajaran sastra (Rohman, 2012:15). Pernyataan tersebut bukan berarti
pengetahuan tentang ilmu sastra dan konsep-konsep teori tentang pemahaman
bentuk-bentuk sastra tidak perlu diajarkan tetapi bukanlah tujuan utama. Apalah
artinya siswa menghafal unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang membangun
karya sastra tetapi siswa tidak pernah menyelami isi dari sebuah karya sastra
yang sudah terbangun. Begitu pula tentang pengetahuan sejarah yang bertujuan
hanya untuk menghafal periodesasi sastra tetapi tidak memperkenalkan kepada isi
kekayaan budaya bangsa yang terkandung di dalam setiap periode dalam penciptaan
karya sastra. Pembelajaran sastra di sekolah perlu diorientasikan kepada tujuan
mengetahui, menikmati dan mengahayati karya sastra sebagai produk moral
bernilai tinggi yang bersumber dari budaya masyarakat. Sastra yang baik selalu
mengajak pembaca menjunjung tinggi norma-norma moral, bahkan sastra dipandang
sebagai sarana pendidikan moral (Darma, 1985:105). Oleh karena itu,
pembelajaran sastra semestinya dijadikan sebagai sarana pembentukan karakter siswa.
Pembelajaran Sastra Yang Kreatif dan
Integratif
Menurut
KBBI, kreatif artinya memiliki daya cipta dan memiliki kemampuan untuk
menciptakan. Guilford (1957) berpandangan bahwa kreatif yaitu kumpulan sistem
dari beberapa kemampuan nalar yang sederhana. Kemampuan yang dimaksud Guilford
adalah kelancaran berbicara, kecepatan berpikir, keluwesan spontanitas, dan
orisinalitas. Dengan demikian, pendidikan yang kreatif dalam pengajaran sastra
harus memiliki daya cipta sehingga terbentuk sebuah sistem, misalnya dengan
menciptakan model pembelajaran yang kreatif dan integratif sehingga terbentuk
sebuah system pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi siswa.
Salah
satu metode pembelajaran sastra yang kreatif dan menyenangkan yaitu re-kreasi.
Rekreasi artinya sesuatu yang menggembirakan hati dan menyegarkan seperti
hiburan, (Moeliono, 2002:942 dan 943). Wardani (1981) mengemukakan bahwa
re-kreasi bermakna mengkreasikan kembali. Metode rekreasi berorientasi pada
kesenangan siswa. Supaya pembelajaran bahasa dan sastra tidak monoton, Wardani
menganjurkan pendidik untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan.
Pendidik dianjurkan untuk berkreasi dan berinovasi, artinya karya sastra tidak
disajikan biasa-biasa saja, tetapi dengan cara yang tidak biasa. Sehubungan
dengan pemilihan bahan, Wardhani (1981) menyarankan guru supaya memperhatikan:
lukisan peristiwa, lukisan perasaan, pilihan kata, susunan kalimat, urutan
peristiwa, dan jalan cerita. Di samping itu, karya sastra yang dipilih disesuaikan
dengan usia, kegemaran, jenjang pendidikan, dan lingkungan. Jika situasi
belajar terasa menarik dan menyenangkan, kemungkinan pembelajaran sastra akan
mencapai berhasil dan bermuara pada empat aspek kebahasaan, yaitu keterampilan menyimak,
berbicara (bercerita, mengungkapkan perasaan, dan keterampilan berlisan
lainnya), membaca, dan menulis.
Pendekatan
integratif atau terpadu adalah ancangan (kebijakan) pembelajaran bahasa dan
sastra dengan menyajikan bahan ajar secara terpadu, yaitu dengan menyatukan,
menghubungkan, atau mengaitkan bahan ajar sehingga tidak ada yang berdiri
sendiri atau terpisah-pisah. Pendekatan integratif terdiri atas dua macam,
yaitu integratif internal (terpadu intrabidang studi bahasa dan sastra) dan integratif
eksternal (terpadu antarbidang studi).
Kegiatan
pembelajaran yang menggunakan pendekatan integratif internal adalah sebagai
berikut:
Pembelajaran
membaca sebagai fokus dapat dilakukan terpadu yakni mengaitkannya dengan
pembelajaran kosakata, struktur, menulis, dan berbicara.
Skenario
pembelajarannya adalah sebagai berikut:
1. Siswa
membaca dalam hati sebuah karya sastra berupa cerpen.
2. Siswa
menjawab pertanyaan isi cerpen.
3. Sambil
membaca, siswa ditugaskan untuk mencatat kosakata (kata-kata sulit, ungkapan, gaya
bahasa, sinonim, antonim, dan sebagainya).
4. Setelah
mencatat kosakata, siswa ditugaskan untuk mencatat atau mencari jenis kata dan
bentuk kata yang berhubungan dengan pembelajaran struktur yang dibahas pada
waktu bersamaan.
5. Siswa
berdikusi untuk menentukan pikiran pokok setiap paragraf.
6. Selanjutnya
siswa menulis ikhtisar dari pikiran pokok-pikiran pokok yang ada di setiap
paragraf.
7. Siswa
membacakan ikhtisar wacana di depan kelas secara bergiliran.
8. Guru
memberikan komentar tentang penulisan ikhtisar dan memberi penilaian terhadap
hasil kerja siswa.
Pembelajaran
menyimak sebagai fokus dapat dilakukan secara terpadu yakni mengaitkannya
dengan pembelajaran apresiasi sastra, berbicara, dan menulis.
Skenario
sebagai pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Guru
menyediakan salah satu karya sastra, misalnya sebuah cerpen lalu membacanya,
sedangkan siswa menyimaknya dengan baik.
2. Guru
menjelaskan isi cerpen, sedangkan siswa menyimak dan menanggap.
3. Setelah
menyimak, siswa mengungkapkan ciri-ciri intrinsik atau ekstrinsik dari cerpen
tersebut.
4. Guru
melakukan tanya jawab dengan siswa mengenai unsur intrinsik dan ekstrinsik dari
cerpen tersebut.
5. Siswa
menuliskan kembali isi cerita cerpen dengan menggunakan bahasa sendiri.
6. Siswa
menyamaikan cerita cerpen yang dibuatnya dengan menggunakan bahasa sendiri di
depan kelas.
7. Guru
menanggapi dan menilai pekerjaan siswa.
Pembelajaran
menulis sebagai fokus dapat dilakukan secara terpadu yakni mengaitkannya dengan
pembelajaran membaca, menyimak, dan berbicara.
Skenario
pembelajarannya adalah sebagai berikut:
1. Guru
menyediakan karya sastra sebagai contoh materi dan siswa membacanya dalam hati.
2. Setelah
membaca, siswa disuruh untuk menceritakan kembali di depan kelas dengan
bahasanya sendiri secara bergiliran dan siswa yang lain menyimak.
3. Guru
menanggapi dan menilai hasil kerja siswa.
Pembelajaran
berbicara sebagai fokus dapat dilakukan secara terpadu yakni mengaitkannya
dengan pembelajaran membaca, menyimak, menulis, kosakata, dan apresiasi karya
sastra.
Skenario
pembelajarannya adalah sebagai berikut:
1. Guru
menyediakan naskah drama dan siswa membaca drama secara bergiliran. Sementara
itu siswa yang lain menyimak.
2. Setelah
membaca naskah drama, siswa mengungkapkan unsur-unsur drama, sedangkan guru
memberikan penjelasan.
3. Siswa
mencoba membawakan dialog naskah drama di depan kelas.
4. Siswa
lain mengamati cara berdialog dengan intonasi dan gerak mimik sesuai dengan
watak pelaku dalam drama tersebut.
5. Siswa
mencoba menulis dialog naskah drama.
6. Guru
menanggapi dan menilai siswa dalam membawakan dialog naskah drama.
Kegiatan
belajar-mengajar yang menggunakan pendekatan integratif eksternal adalah
sebagai berikut:
Di
dalam pembelajaran sastra sebagai fokus dapat dilakukan secara terpadu yakni mengaitkannya
dengan bidang studi yang lain. Misalnya materi cerpen yang bertema kesehatan
judulnya, “Mbah Danu Dukun Kampung”.
Skenario
pembelajaran berlangsung sebagai berikut:
1. Siswa
membaca cerpen yang bertema kesehatan dengan judul, “Mbah Danu Dukun Kampung”.
2. Setelah
membaca cerpen, siswa mengungkap unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu
tema, alur, latar, pelaku, dan amanat.
3. Guru
menjelaskan unsur-unsur cerpen dan alaur yang terkandung didalamnya. Pada saat
menerangkan alur (konflik) atau pelaku(perwatakan), guru membahas bidang studi
lain yang relevan dengan isi cerpen, misalnya bidang pendidikan agama atau
PPKN.
4. Ketika
menjelaskan unsur tema dan amanat, guru dapat menghubungkannya dengan bidang
studi lain yang relevan, yaitu penjas atau IPA.
Ellis
dan Jean Brewster (1991) mengemukakan bahwa melalui bercerita, maka: (1) dapat mengembangkan
keterampilan berbahasa, (2) melalui imajinasinya, siswa dapat mengembangkan
kreativitas, (3) berguna sebagai alat penghubung kehidupan imajinasi dengan
dunia nyata, (4) berbagi pengalaman sosial, (5) siswa menikmati cerita lagi dan
lagi, (6) siswa dapat merevisi dan memperkaya kosakata, dan (7) dapat menjadi
dasar pengembangan bahasa pada tingkat lanjut.
Moody (dalam Wardhani, 1981) juga mengatakan bahwa sastra dapat membantu
meningkatkan keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya,
mengembangkan cipta dan rasa: indera, penalaran, perasaan, kesadaran sosial dan
religius, serta menunjang pembentukan watak. Keempat keterampilan itu secara
praktis dilakukan bersama-sama, terintegrasi, dan tidak terpisah-pisah.
Humor
merupakan unsur rekreatif yang dapat membuat siswa menjadi senang dan secara
empiris akan menarik minat siswa untuk memperhatikan pelajaran. Humor dapat diselipkan disela-sela kegiatan
pembelajaran supaya pembelajaran tidak akan terasa lambat dan monoton. Humor
yang berasal dari bahasa Latin yang diartikan sebagai segala bentuk rangsangan
secara spontan menimbulkan senyum dan tawa para pendengar atau pembacanya
(Congrave dalam Pradopo dkk., 1987:2). Ada beberapa hal yang dapat dilakukan guru
dalam upaya menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, antara lain (1) membuat
teka-teki bernuansa kebahasaan, (2) permainan melatih konsentrasi, (3) membuat
kalimat yang menarik, dan 4) menciptakan pantun bersahut.
1) Membuat
Teki-teki Bernuansa Kebahasaan
Muslim
(2008) menyatakan bahwa pembelajaran yang monoton dan membosankan karena
kadang-kadang gurunya yang tak pandai menghidupkan kelas. Salah satunya adalah adalah
dengan menciptakan teka-teki kebahasaan. Teka-teki dalam konteks ini hanyalah
sebatas selingan yang berfungsi mencairkan kepenatan peserta didik dalam
berpikir serius meskipun sebenarnya dengan teka-teki pun mereka masih dituntut
berpikir juga. Namun, selingan yang menghilangkan kelelahan siswa dari
keseriusan itu akan muncul ketika si pemberi teka-teki memberikan jawabannya,
sedangkan peserta didik tidak bisa menerkanya. Teka-teki itu bisa diciptakan
guru atau beberapa siswa.
Misalnya
dengan teka-teki sebagai berikut.
Pernahkah kalian melihat orang memandikan
jenazah? Kena apa jenazah dimandikan?
Jawaban
yang diberikan peserta didik tentu beragam. Bahkan ada yang menggunakan dalil
agama. Ketika disebutkan jawabannya adalah “kena
air” perhatian siswa semakin serius karena mereka merasa jawaban itu tidak
mengena. Namun, mereka akhirnya dapat tertawa setelah dijelaskan bahwa
pertanyaannya adalah kena apa bukan kenapa.
2) Permainan
Melatih Konsentrasi
Beberapa
permainan melatih konsentrasi yang dapat diterapkan di kelas, antara lain:
·
Permainan Memegang Anggota Badan
Semua siswa disuruh
berdiri. Mereka merentangkan tangan di depan mengikuti guru. Mereka harus
memperhatikan gerakan guru sambil telinganya dibuka lebar-lebar untuk
memperhatikan instruksi. Tangan mereka disuruh mundur pelan-pelan sambil guru mengucapkan,
“mundur...mundur...mundur ... (dengan tempo yang kian cepat)... Lalu mengatakan
“pegang... hidung!” Guru harus mengatakan hal berbeda dari yang dipegangnya.
Misalnya, ia mengatakan pegang “hidung“ tapi yang dipegang adalah jidat. Jika siswa
memegang jidat, maka akan mendapat hukuman kebahasaan. Misalnya, siswa harus
mengucapkan keras-keras kalimat “Aku suka membaca karya sastra supaya aku
memiliki kekayaan kosakata“. Tiap-tiap orang yang dihukum harus mengganti vokal
pada kalimat itu dengan vokal yang seragam. Jika mereka mendapat undian harus
mengganti dengan “O“ semua, kalimatnya menjadi “Oko soko momboco koryo sostro
sopoyooko momoloko kokoyoon kosokoto“.
·
Permainan Besar Kecil
Semua siswa disuruh
berdiri. Mereka merentangkan tangan ke depan. Mereka harus memperhatikan
instruksi guru. Jika yang disebut gajah, tangan mereka harus membuat lingkaran kecil
sambil mengatakan ”besar“ dengan keras. Sebaliknya, jika guru mengatakan
“semut“, tangan mereka harus membuat lingkaran besar sambil mengatakan “kecil“.
Jika tangan mereka membuat lingkaran yang salah, mereka akan dihukum. Hukuman
yang diberikan pun seperti hukuman di atas, tetapi dengan kalimat yang beragam.
Sudah dapat dipastikan suasana kelas menjadi bergairah. Dengan demikian,
pembelajaran yang menyenangkan pun dapat tercipta.
·
Menciptakan Pantun
Salah satu cara mengusir
kepenatan di kelas, guru dapat memberikan selingan untuk menciptakan pantun. Di
samping memupuk kecintaan terhadap karya sastra, pantun juga menjadi sarana
memperkaya kosakata. Berbagai pantun dapat dibuat dengan memberikan kunci 1)
mempersiapkan isi pantun, 2) membuat sampiran, dan 3) memenuhi syarat pantun.
Pendidikan Karakter Melalui Sastra
Pendidikan bukan hanya sekadar
transfer pengetahuan (transfer of
knowledge), tapi juga wahana pembentukan kepribadian (character building), mulai dari pola pikir, kejiwaan, dan pola
tingkah laku (attitude). Oleh sebab
itu, perlunya dikembangkan pendidikan karakter melalui pembelajaran di sekolah.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menanamkan pendidikan karakter
adalah melalui pembelajaran sastra. Pembelajaran sastra dapat dijadikan media
penanaman nilai kehidupan, seperti nilai moral, akhlak, dan budi pekerti. Hal
ini tentu dapat dikaitkan dengan fungsi utama sastra yaitu memperhalus budi,
peningkatan rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial, penumbuhan apresiasi
budaya, penyaluran gagasan, penumbuhan imajinasi, serta peningkatan ekspresi
secara kreatif dan konstruktif.
Melalui membaca karya sastra, siswa
akan bertemu dengan bermacam-macam masalah dan karakter manusia. Sastra dalam
banyak hal memberi peluang kepada siswa untuk mengalami posisi orang lain, yang
menjadikannya berempati kepada nasib dan situasi orang tersebut. Melalui
kegiatan apresiasi sastra, kecerdasan siswa dipupuk hampir dalam semua aspek.
Apresiasi sastra dapat melatih kecerdasan intelektual, yaitu dengan menggali
nilai-nilai intrinsik dalam karya sastra, seperti tema, amanat, latar, tokoh,
dan alur cerita. Apresiasi sastra dapat juga mengembangkan kecerdasan emosional
siswa, seperti sikap tangguh, berinisiatif serta optimis menghadapi persoalan
hidup, dan sebagainya. Hal ini dapat terjadi karena sastra merupakan cerminan
kehidupan masyarakat dengan segala problem kehidupannya. Sastra dapat juga
mengembangkan kecerdasan spiritual, yaitu dengan membaca karya sastra yang
bertema religius. Karya sastra dengan tema religius akan menuntun siswa
memahami hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Pembelajaran sastra yang
relevan untuk pengembangan karakter peserta didik adalah pembelajaran yang
memungkinkan peserta didik tumbuh kesadarannya untuk membaca dan menulis karya
sastra yang akhirnya mampu meningkatkan pemahaman dan pengertian tentang
manusia dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai, mendapatkan ide-ide baru,
meningkatkan pengetahuan sosial budaya, berkembangnya rasa dan karsa, serta
terbinanya watak dan kepribadian
Penerapan nilai-nilai karakter yang
bersumber dari sastra tidak cukup hanya dilaksanakan oleh guru saja tetapi
perlu melibatkan orang tua dan sekolah. Guru sebagai pelaksana pembelajaran di
sekolah memiliki peran yang sangat besar dalam menanamkan nilai-nilai karakter
kepada siswa. Ada dua hal pokok yang harus diperhatikan oleh guru dalam
pembelajaran, yaitu pemilihan bahan ajar dan pengelolaan pembelajaran.
Pemilihan bahan ajar dalam pengajaran sastra harus memperhatikan kesesuaian
antara bahan ajar dengan tingkat perkembangan siswa secara psikologis dengan
mempertimbangkan nilai-nilai karakter yang dapat dipahami dan dilaksanakan oleh
siswa dalam berprilaku. Karya sastra yang baik adalah sastra yang mengandung
nilai etis dan estetis, yaitu sastra mengandung struktur sastra yang baik dan
mengandung nilai-nilai karakter yang dapat mengantarkan siswa menjadi manusia
yang sempurna. Berkaitan dengan
pemilihan bahan ajar, Saryono (2009:52) mengemukakan bahwa genre sastra yang
dapat dijadikan sarana untuk membentuk karakter bangsa, antara lain, genre
sastra yang mengandung nilai atau aspek (1) literer-estetis, (2) humanistis,
(3) etis dan moral, dan (4) religius- sufistis-profetis. Keempat nilai sastra
tersebut dipandang mampu mengoptimalkan peran sastra dalam pembentukan karakter
bangsa. Pemilihan bahan ajar sastra yang cocok untuk siswa sangat ditentukan
oleh kemampuan guru memilih karya sastra yang baik. Guru Bahasa Indonesia harus
memiliki minat baca karya sastra yang tinggi agar lebih mampu untuk memilih
bahan ajar yang tepat bagi siswa. Selain itu, model pembelajaran yang digunakan
harus kreatif dan integratif sehingga siswa tertarik dan menyukai pelajaran
sastra. dan tidak mampu mengimplementasikan nilai-nilai karakter dalam sastra
tersebut.
Peran guru sebagai kunci keberhasilan
pembelajaran sastra diharapkan dapat membentuk siswa yang berkarakter dan terampil
dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis, serta mengapresiasi karya sastra.
Sedangkan dalam pengelolaan pembelajaran, guru dapat mengarahkan siswa membaca
dan membantu siswa menemukan nilai-nilai positif yang terkandung dalam karya
sastra yang dibaca. Kemudian, siswa dibimbing mengaplikasikan nilai-nilai
positif yang telah diperoleh dari karya sastra dalam kehidupan sehari-hari.
Manfaat ekspresif karya sastra sebagai media pendidikan karakter dapat ditempuh
melalui cara mengelola emosi, perasaan, semangat, pemikiran, ide, gagasan dan
pandangan siswa ke dalam bentuk kreativitas menulis karya sastra dan bermain
drama. Siswa dibimbing mengelola emosi, perasaan, pendapat, ide, gagasan, dan
pandangan untuk diinternalisasi dalam diri kemudian dituangkan ke dalam karya
sastra. Perasaan emosi, ketidakpuasan terhadap suatu sistem yang berlaku, rasa marah
terhadap sesuatu hal dapat diaktualisasikan dalam karya sastra melalui puisi,
drama, maupun prosa dengan memilih media yang sesuai dan tepat untuk
mengaktualisasikan gejolak jiwa dalam bentuk karya sastra. Pementasan drama
oleh siswa dapat menjadi penyaluran emosi dan pengendalian diri.
Pembelajaran sastra juga memerlukan
peran dari orang tua siswa. Orang tua perlu memberi ruang kepada anak untuk
mempraktikkan nilai budaya luhur yang telah diperoleh melalui pembelajaran di
sekolah. Menurut Lichona (2012:48), keluarga merupakan sumber pendidikan moral
paling utama bagi anak-anak. Orang tua juga memberikan pengaruh paling lama
terhadap perkembangan moral anak. Nilai
moral dan etika suatu bangsa akan tercermin dalam karya-karya sastra yang
diciptakan oleh sastrawan berdasarkan pada realitas budaya masyarakatnya. Jadi,
ketika sastra yang dipelajari di sekolah dipilih dari karya sastra yang
menampilkan nilai-nilai karakter yang baik dan orang tua di rumah menjadi
modelnya maka anak akan memiliki kesan bahwa ternyata kebaikan-kebaikan dan
keindahan-keindahan yang dinikmati dalam karya sastra dapat dijumpai wujudnya
di dalam rumah melalui perilaku orang tua dan keluarga. Lickona (2012:50)
menyebutkan bahwa keluarga sangatlah berpengaruh sebagai sosialisasi terbaik
dalam pendidikan moral bagi anak-anak.
Keterlibatan orang tua sebagai model dan teladan akan menumbuhkan
karakter yang kuat bagi anak. Dengan demikian, anak akan memasuki pengalaman
bersosialisasi yang dapat mengantarkannya memperoleh inspirasi sehingga dapat
mengembangkannya menjadi sebuah karya imajinatif ekspresif sebagai wujud
pengalaman penghayatan dan penghargaan terhadap nilai-nilai yang baik yang
dapat dituangkan dalam bentuk tulisan, baik melalui puisi, cerpen, novel atau
drama. Lickona (2012:55) mengatakan
bahwa ketika orang tua tidak mengetahui kebutuhan dasar anak, baik yang
bersifat fisik maupun emosional maka sebenarnya anak-anak belum siap untuk
menjalankan perannya, baik secara mental maupun secara moral di sekolah. Jadi,
selain sekolah yang memberikan stimulus berupa materi-materi sastra yang dapat
merangsang imajinasi dan kreativitas anak, orang tua pun perlu mempersiapkan
kerangka dasar penanaman nilai karakter yang baik sebagai tempat persemaian.
Sekolah juga memiliki peran dalam
pembelajaran sastra, yakni di dalam menata lingkungan yang mendukung penerapan
nilai-nilai karakter dalam berinteraksi sehari-hari dengan cara membangun
hubugan harmonis antar warga sekolah. Menyediakan sarana dan prasarana
pendukung seperti bahan bacaan sastra berkualitas yang mengandung nilai-nilai
moral yang tinggi, adanya sanggar atau ruang khusus bagi siswa dalam berekspresi,
mementaskan drama. Dan segala bentuk apresiasi sastra lainnya. Meskipun guru
sudah berusaha menanamkan nilai-nilai baik melalui pembelajaran sasatra yang
diwujudakn dalam prilaku nyata, namun jika tidak didukung oleh lingkungan,
seperti penyediaan sarana bersosialisasi, bahan-bahan bacaan sastra yang
memadai, maka nilai-nilai baik yang dimiliki oleh siswa akan perlahan-lahan hilang.
Oleh karena itu, dengan adanya kerjasama antara guru, pihak sekolah dan orang
tua, maka akan melahirkan arus kekuatan yang besar untuk membangung karakter
anak menuju terbentuknya karakter bangsa yang lebih baik.
PENUTUP
Karakter seseorang dapat terbentuk melalui
pendidikan di lingkup keluarga, sekolah, atau lingkungan masyarakat. Di
sekolah, pendidikan karakter dapat diperoleh melalui pembelajaran
pengetahuan dan penanaman nilai-nilai kehidupan yang dapat diimplementasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Materi sastra dapat dijadikan sebagai salah satu sumber
dan sarana pembentukan karakter siswa karena pada dasarnya karya sastra
merupakan cerminan kehidupan masyarakat yang mengandung nilai-nilai tentang
segala aspek kehidupan manusia.
Pendidikan karakter melalui pembelajaran
sastra bisa berhasil jika guru dapat memilih bahan ajar yang mengandung
nilai-nilai dan kebijakan yang positif serta disesuaikan dengan metode
pembelajaran yang kreatif dan integratif untuk menciptakan suasana yang
menyenangkan. Selain itu, pembelajaran sastra sebagai media pembentukan
karakter di sekolah juga harus melibatkan dukungan kepala sekolah dan orang tua
siswa. Kepala sekolah berperan sebagai penyedia fasilitas dalam mendukung
pembelajaran. Orangtua memiliki peran untuk menyeimbangkan antara nilai-nilai
yang diperoleh di sekolah dan masyarakat serta penerapannya dalam interaksi
sosial. Hasil yang diharapkan dari pendidikan karakter melalui pembelajaran sastra
yang kreatif dan integratif ini adalah menghasilkan siswa yang berkarakter dan terampil
dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis, serta mengapresiasi karya sastra.
DAFTAR PUSTAKA
Umar Tirtaahardja, S. L. 2008. Pengantar Pendidikan.
Jakarta: PT Asdi Mahasatya.
Aminudin. 2015. Pengantar Apresiasi Karya Sastra.
Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sainul Hermawan, Fatchul Mu'in.
2013. Literature and Nation Building.
Banjarmasin: Lambung Mangkurat Univercity.
Rohman, Saifur. 2012. Pengantar Metodologi Pengajaran Sastra.Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Saman,
Muchlas dan Hariyanto. 2012. Pendidikan
Karakter. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing.
No comments:
Post a Comment