Sunday, 27 May 2018

MAKALAH PENDIDIKAN KARAKTER SISWA MELALUI PEMBELAJARAN SASTRA


PEMBELAJARAN SASTRA YANG KREATIF DAN INTEGRATIF SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN KARAKTER BAGI SISWA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Kemampuan Menulis 2
Dosen Pengampu Dr. Yulia Esti Katrini, MS.









Oleh:
Dwi Astuti Asih
1610301071
3B






PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TIDAR
2017
Abstract
Character of a person can be formed through education in the scope of family, school, or community environment. In school, character education can be gained through knowledge learning and the planting of life values ​​that can be implemented in everyday life. Literary material can be used as one of the sources and means of forming the character of the students because basically the literary work is a reflection of the life of society that contains values ​​about all aspects of human life. Character education through literary learning can be successful if teachers can choose teaching materials that contain positive values ​​and policies and tailored to creative and integrative learning methods to create a pleasant atmosphere. In addition, literary learning as a character building medium in schools should also involve the support of school principals and parents. The principal acts as a provider of facilities in support of learning. Parents have a role to balance between the values ​​gained in school and society and their application in social interaction. The expected outcome of character education through creative and integrative literary learning is to produce students of character and skill in listening, speaking, reading, writing, and appreciating literary works.

Keywords: Education, Character, Literature, Creative and Integrative Literary Learning

Abstrak
Karakter seseorang dapat terbentuk melalui pendidikan di lingkup keluarga, sekolah, atau lingkungan masyarakat. Di sekolah, pendidikan karakter dapat diperoleh melalui pembelajaran pengetahuan dan penanaman nilai-nilai kehidupan yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Materi sastra dapat dijadikan sebagai salah satu sumber dan sarana pembentukan karakter siswa karena pada dasarnya karya sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat yang mengandung nilai-nilai tentang segala aspek kehidupan manusia. Pendidikan karakter melalui pembelajaran sastra bisa berhasil jika guru dapat memilih bahan ajar yang mengandung nilai-nilai dan kebijakan yang positif serta disesuaikan dengan metode pembelajaran yang kreatif dan integratif untuk menciptakan suasana yang menyenangkan. Selain itu, pembelajaran sastra sebagai media pembentukan karakter di sekolah juga harus melibatkan dukungan kepala sekolah dan orang tua siswa. Kepala sekolah berperan sebagai penyedia fasilitas dalam mendukung pembelajaran. Orangtua memiliki peran untuk menyeimbangkan antara nilai-nilai yang diperoleh di sekolah dan masyarakat serta penerapannya dalam interaksi sosial. Hasil yang diharapkan dari pendidikan karakter melalui pembelajaran sastra yang kreatif dan integratif ini adalah menghasilkan siswa yang berkarakter dan terampil dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis, serta mengapresiasi karya sastra.

Kata Kunci: Pendidikan, Karakter, Sastra, Pembelajaran Sastra yang Kreatif dan Integratif





PENDAHULUAN

Karakter merupakan penggambaran sifat-sifat kejiwaan dan tingkah laku seseorang dengan menonjolkan nilai tertentu sehingga berbeda dengan orang lain yang diperoleh melalui proses pembelajaran. Karakter seseorang bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir. Pada dasarnya karakter tersebut terbentuk melalui proses pembelajaran yang cukup panjang di beberapa tempat, seperti di rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat sekitar.  Pembentukan karakter di sekolah dapat dilakukan melalui pembelajaran pengetahuan (kognisi) dan penanaman nilai-nilai karakter yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran di sekolah menyuguhkan pendidikan karakter yang abstrak dan ideal. Namun ada juga materi pelajaran yang menyuguhkan pendidikan karakter yang nyata (konkret) bagi siswa, yakni materi sastra.
Sastra dapat dijadikan sebagai salah satu sumber dan sarana pembentukan karakter siswa karena pada dasarnya karya sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat yang mengandung nilai-nilai tentang segala aspek kehidupan manusia, berupa nilai moral, ahlak, dan budi pekerti. Pendidikan karakter melalui pembelajaran sastra bisa berhasil jika guru dapat memilih bahan ajar yang tepat dan disesuaikan dengan metode pembelajaran yang menarik. Pembelajaran sastra akan mendapatkan dukungan secara luas oleh lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, dan masyarakat jika bahan ajar sastra disesuaikan dengan nilai-nilai karakter yang digali dari budaya masyarakat setempat.
Berdasarkan observasi, selama ini proses pembelajaran sastra dalam Bahasa Indonesia belum sepenuhnya mencapai target yang diinginkan karena belum bermuara pada empat keterampilan berbahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Model pembelajarannya juga kurang menarik dan terkesan membosankan sehingga siswa menjadi kurang menyukai pelajaran sastra dan tidak mampu mengimplementasikan nilai-nilai karakter dalam sastra tersebut. Untuk itu, dalam tulisan ini akan membahas mengenai bagaimana mengemas pembelajaran sastra yang kreatif dan integratif sebagai media pendidikan karakter bagi siswa.
Tujuan yang diharapkan dari penulisan tulisan ini adalah untuk mengetahui tentang pembelajaran sastra yang kreatif dan integratif untuk menghasilkan siswa yang berkarakter dan terampil menyimak, berbicara, membaca, menulis, serta mengapresiasi karya sastra.














PEMBAHASAN

Pendidikan Karakter

Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan upaya menumbuhkan budi pekerti (karakter), daya pikiran (intellect) dan tubuh anak. Ketiganya tidak boleh dipisahkan agar pendidikan dapat menumbuhkembangkan anak dengan sempurna. Pendidikan juga diartikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. (Umar Tirtaahardja, 2008)
Karakter merupakan penggambaran sifat-sifat kejiwaan dan tingkah laku seseorang dengan menonjolkan nilai tertentu sehingga berbeda dengan orang lain yang diperoleh melalui proses pembelajaran. Menurut Kamisa, karakter merupakan sifat kejiwaan, akhlak serta budi pekerti yang dimiliki seseorang yang membuatnya berbeda dibandingkan dengan orang lainnya. Berkarakater juga dapat diartikan sebagai memiliki sebuah watak serta kepribadian. Lichona (2012:82) membagi karakter menjadi tiga bagian yang saling berhubungan, yaitu pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral.
Pendidikan Karakter adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana serta proses pemberdayaan potensi dan pembudayaan peserta didik guna membangun karakter pribadi atau kelompok yang unik baik sebagai warga negara. Menurut kamus psikologi, pendidikan karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan berkaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap. (Dali Gulo, 1982).
Presiden pertama Indonesia, Soekarno, pernah mencanangkan tentang pembangunan karakter (character building) dalam berbangsa. Di Amerika Serika, pada tahun 1990-an muncul gagasan tentang perlunya pendidikan karakter melalui tulisan Thomas Lickona (1993) yang berjudul Education for Character. Begitu pula di Kanada, (Berkowitz, 2008) mengemukakan 3 prinsip pendidikan karakter, yaitu membangun dunia yang bermoral dengan menciptakan manusia yang bermoral, prilaku anak adalah satu-satunya bahan pertanggungjawaban yang dapat diminta kepada orang tua, sekolah memiliki peranan dan pengaruh yang kuat dan intensif terhadap anak karena mereka menghabiskan sebagian besar waktunya bertahun-tahun di sekolah. Selain itu, beberapa negara seperti Inggris, Spanyol, Jepang, Cina,  Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, dan Singapura juga mempraktikkan pendidikan karakter. (Samani, 2012:16-17)
Pendidikan karakter kini menjadi salah satu wacana utama dalam kebijakan nasional di bidang pendidikan. Seluruh kegiatan belajar mengajar yang ada dalam negara Indonesia harus merujuk pada pelaksanaan pendidikan Karakter. Hal ini termuat di dalam Naskah Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan pada tahun 2010, dinyatakan bahwa pendidikan karakter menjadi unsur utama dalam pencapaian visi dan misi pembangunan nasional yang termasuk pada RPJP 2005-2025. Selain itu juga terdapat dalam UU RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan Nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU SIKDIKNAS menyebutkan: “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan membantu watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi, peserta didik agar menjadi manusia yang beriman yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Sejalan dengan implementasi pendidikan karakter, UNESCO menetapkan empat pilar pendidikan yang diharapkan dapat diterapkan di dunia, yaitu learning to know, learning to do, learning to be dan learning to live together. Pendidikan karakter penting untuk dilakukan untuk menghadapi berbagai persoalan yang menghampiri bangsa dan negara, yakni semakin berkembangnya nilai-nilai buruk di tengah derasnya arus globalisasi, seperti gaya hidup yang konsumtif, hedonisme, pergaulan bebas, penggunaan narkotika, kekerasan, dan perilaku yang tidak lagi mengenal batas-batas kemanusiaan.  Sementara itu, kepekaan sosial masyarakat semakin menipis, individualisme semakin tumbuh dan berkembang, bahkan ketedalanan semakin sulit ditemukan sehingga harmonisasi kehidupan bermasyarat semakin terancam.
Pada dasarnya pendidikan memiliki dua tujuan, yaitu menjadikan anak didik cerdas dan berprilaku baik. (Lickona, 2012: 7). Pendidikan karakter merupakan pendidikan nilai, budi pekerti, moral, dan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan siswa membuat keputusan baik dan memeliharanya kemudian mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan sadar dan ikhlas.

Pembelajaran Sastra

Sastra merupakan sebuah karya tentang cerminan kehidupan masyarakat yang mengandung nilai-nilai tentang segala aspek kehidupan manusia, berupa nilai moral, ahlak, dan budi pekerti. Menurut Luxemburg dkk, sastra merupakan teks yang mengandung unsur fisionalitas, diolah secara istimewa, dapat dibaca menurut tahap arti yang berbeda-beda, dan termasuk teks-teks yang tidak melulu disusun untuk tujuan komunikatif. Sastra juga diartikan sebagai segala sesuatu yang tertulis, dibatasi pada maha karya (great books), dan termasuk karya imajinatif. (Renne Wellek dan Austin Warren)
 Pembelajaran sastra di sekolah tidak hanya ditujukan pada pengetahuan tentang sastra yang berupa teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra tetapi juga bertujuan untuk mengantarkan siswa supaya mencintai, menghayati dan menikmati karya sastra. Dengan demikian, pembelajaran sastra bagi siswa tidak diarahkan untuk menghafal istilah-istilah sastra, aspek-aspek teoritis pembentuk sastra, periodisasi sastra, dan menilai sebuah karya sastra bernilai atau tidak, tetapi pembelajaran sastra diharapkan dapat membangun kecintaan siswa terhadap karya sastra sehingga dapat menikmati dan mengambil pelajaran tentang nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam karya sastra. Praktik pembelajaran sastra saat ini bukan memanfatkan karya sastra sebagai karya yang indah dan bermanfaat, tetapi kebanyakan berorientasi pada pengetahuan untuk tujuan memperoleh nilai ujian karena materi sastra masih digabungkan dengan materi bahasa. Pembelajaran sastra menjadi kering dari nilai-nilai tentang kehidupan dan kemanusiaan karena karya sastra dipelajari untuk diketahui bukan untuk dinikmati dan dihayati kemudian nilai karakter di dalamnya diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Guru cenderung memanfaatkan buku-buku mata pelajaran yang sudah tersedia, tanpa mencari alternatif lain dengan memanfaatkan karya siswa atau guru sebagai bahan ajar. Selain itu, model yang digunakan dalam pembelajaran sastra juga kurang menarik dan terkesan membosankan sehingga siswa menjadi kurang menyukai pelajaran sastra.
 Permasalahan dalam pengajaran sastra di sekolah bukan semata-mata mengacu pada pranata yang sudah ada (kurikulum, guru, peserta didik, dan sarana), melainkan terletak pada pemahaman tentang hakikat pengajaran sastra (Rohman, 2012:15). Pernyataan tersebut bukan berarti pengetahuan tentang ilmu sastra dan konsep-konsep teori tentang pemahaman bentuk-bentuk sastra tidak perlu diajarkan tetapi bukanlah tujuan utama. Apalah artinya siswa menghafal unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik yang membangun karya sastra tetapi siswa tidak pernah menyelami isi dari sebuah karya sastra yang sudah terbangun. Begitu pula tentang pengetahuan sejarah yang bertujuan hanya untuk menghafal periodesasi sastra tetapi tidak memperkenalkan kepada isi kekayaan budaya bangsa yang terkandung di dalam setiap periode dalam penciptaan karya sastra. Pembelajaran sastra di sekolah perlu diorientasikan kepada tujuan mengetahui, menikmati dan mengahayati karya sastra sebagai produk moral bernilai tinggi yang bersumber dari budaya masyarakat. Sastra yang baik selalu mengajak pembaca menjunjung tinggi norma-norma moral, bahkan sastra dipandang sebagai sarana pendidikan moral (Darma, 1985:105). Oleh karena itu, pembelajaran sastra semestinya dijadikan sebagai sarana pembentukan karakter siswa.

Pembelajaran Sastra Yang Kreatif dan Integratif

Menurut KBBI, kreatif artinya memiliki daya cipta dan memiliki kemampuan untuk menciptakan. Guilford (1957) berpandangan bahwa kreatif yaitu kumpulan sistem dari beberapa kemampuan nalar yang sederhana. Kemampuan yang dimaksud Guilford adalah kelancaran berbicara, kecepatan berpikir, keluwesan spontanitas, dan orisinalitas. Dengan demikian, pendidikan yang kreatif dalam pengajaran sastra harus memiliki daya cipta sehingga terbentuk sebuah sistem, misalnya dengan menciptakan model pembelajaran yang kreatif dan integratif sehingga terbentuk sebuah system pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi siswa.
Salah satu metode pembelajaran sastra yang kreatif dan menyenangkan yaitu re-kreasi. Rekreasi artinya sesuatu yang menggembirakan hati dan menyegarkan seperti hiburan, (Moeliono, 2002:942 dan 943). Wardani (1981) mengemukakan bahwa re-kreasi bermakna mengkreasikan kembali. Metode rekreasi berorientasi pada kesenangan siswa. Supaya pembelajaran bahasa dan sastra tidak monoton, Wardani menganjurkan pendidik untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan. Pendidik dianjurkan untuk berkreasi dan berinovasi, artinya karya sastra tidak disajikan biasa-biasa saja, tetapi dengan cara yang tidak biasa. Sehubungan dengan pemilihan bahan, Wardhani (1981) menyarankan guru supaya memperhatikan: lukisan peristiwa, lukisan perasaan, pilihan kata, susunan kalimat, urutan peristiwa, dan jalan cerita. Di samping itu, karya sastra yang dipilih disesuaikan dengan usia, kegemaran, jenjang pendidikan, dan lingkungan. Jika situasi belajar terasa menarik dan menyenangkan, kemungkinan pembelajaran sastra akan mencapai berhasil dan bermuara pada empat aspek kebahasaan, yaitu keterampilan menyimak, berbicara (bercerita, mengungkapkan perasaan, dan keterampilan berlisan lainnya), membaca, dan menulis.
Pendekatan integratif atau terpadu adalah ancangan (kebijakan) pembelajaran bahasa dan sastra dengan menyajikan bahan ajar secara terpadu, yaitu dengan menyatukan, menghubungkan, atau mengaitkan bahan ajar sehingga tidak ada yang berdiri sendiri atau terpisah-pisah. Pendekatan integratif terdiri atas dua macam, yaitu integratif internal (terpadu intrabidang studi bahasa dan sastra) dan integratif eksternal (terpadu antarbidang studi).
Kegiatan pembelajaran yang menggunakan pendekatan integratif internal adalah sebagai berikut:
Pembelajaran membaca sebagai fokus dapat dilakukan terpadu yakni mengaitkannya dengan pembelajaran kosakata, struktur, menulis, dan berbicara.
Skenario pembelajarannya adalah sebagai berikut:
1.      Siswa membaca dalam hati sebuah karya sastra berupa cerpen.
2.      Siswa menjawab pertanyaan isi cerpen.
3.      Sambil membaca, siswa ditugaskan untuk mencatat kosakata (kata-kata sulit, ungkapan, gaya bahasa, sinonim, antonim, dan sebagainya).
4.      Setelah mencatat kosakata, siswa ditugaskan untuk mencatat atau mencari jenis kata dan bentuk kata yang berhubungan dengan pembelajaran struktur yang dibahas pada waktu bersamaan.
5.      Siswa berdikusi untuk menentukan pikiran pokok setiap paragraf.
6.      Selanjutnya siswa menulis ikhtisar dari pikiran pokok-pikiran pokok yang ada di setiap paragraf.
7.      Siswa membacakan ikhtisar wacana di depan kelas secara bergiliran.
8.      Guru memberikan komentar tentang penulisan ikhtisar dan memberi penilaian terhadap hasil kerja siswa.
Pembelajaran menyimak sebagai fokus dapat dilakukan secara terpadu yakni mengaitkannya dengan pembelajaran apresiasi sastra, berbicara, dan menulis.
Skenario sebagai pembelajaran adalah sebagai berikut:
1.      Guru menyediakan salah satu karya sastra, misalnya sebuah cerpen lalu membacanya, sedangkan siswa menyimaknya dengan baik.
2.      Guru menjelaskan isi cerpen, sedangkan siswa menyimak dan menanggap.
3.      Setelah menyimak, siswa mengungkapkan ciri-ciri intrinsik atau ekstrinsik dari cerpen tersebut.
4.      Guru melakukan tanya jawab dengan siswa mengenai unsur intrinsik dan ekstrinsik dari cerpen tersebut.
5.      Siswa menuliskan kembali isi cerita cerpen dengan menggunakan bahasa sendiri.
6.      Siswa menyamaikan cerita cerpen yang dibuatnya dengan menggunakan bahasa sendiri di depan kelas.
7.      Guru menanggapi dan menilai pekerjaan siswa.
Pembelajaran menulis sebagai fokus dapat dilakukan secara terpadu yakni mengaitkannya dengan pembelajaran membaca, menyimak, dan berbicara.
Skenario pembelajarannya adalah sebagai berikut:
1.      Guru menyediakan karya sastra sebagai contoh materi dan siswa membacanya dalam hati.
2.      Setelah membaca, siswa disuruh untuk menceritakan kembali di depan kelas dengan bahasanya sendiri secara bergiliran dan siswa yang lain menyimak.
3.      Guru menanggapi dan menilai hasil kerja siswa.
Pembelajaran berbicara sebagai fokus dapat dilakukan secara terpadu yakni mengaitkannya dengan pembelajaran membaca, menyimak, menulis, kosakata, dan apresiasi karya sastra.
Skenario pembelajarannya adalah sebagai berikut:
1.      Guru menyediakan naskah drama dan siswa membaca drama secara bergiliran. Sementara itu siswa yang lain menyimak.
2.      Setelah membaca naskah drama, siswa mengungkapkan unsur-unsur drama, sedangkan guru memberikan penjelasan.
3.      Siswa mencoba membawakan dialog naskah drama di depan kelas.
4.      Siswa lain mengamati cara berdialog dengan intonasi dan gerak mimik sesuai dengan watak pelaku dalam drama tersebut.
5.      Siswa mencoba menulis dialog naskah drama.
6.      Guru menanggapi dan menilai siswa dalam membawakan dialog naskah drama.
Kegiatan belajar-mengajar yang menggunakan pendekatan integratif eksternal adalah sebagai berikut:
Di dalam pembelajaran sastra sebagai fokus dapat dilakukan secara terpadu yakni mengaitkannya dengan bidang studi yang lain. Misalnya materi cerpen yang bertema kesehatan judulnya, “Mbah Danu Dukun Kampung”.
Skenario pembelajaran berlangsung sebagai berikut:
1.      Siswa membaca cerpen yang bertema kesehatan dengan judul, “Mbah Danu Dukun Kampung”.
2.      Setelah membaca cerpen, siswa mengungkap unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu tema, alur, latar, pelaku, dan amanat.
3.      Guru menjelaskan unsur-unsur cerpen dan alaur yang terkandung didalamnya. Pada saat menerangkan alur (konflik) atau pelaku(perwatakan), guru membahas bidang studi lain yang relevan dengan isi cerpen, misalnya bidang pendidikan agama atau PPKN.
4.      Ketika menjelaskan unsur tema dan amanat, guru dapat menghubungkannya dengan bidang studi lain yang relevan, yaitu penjas atau IPA.
Ellis dan Jean Brewster (1991) mengemukakan bahwa melalui  bercerita, maka: (1) dapat mengembangkan keterampilan berbahasa, (2) melalui imajinasinya, siswa dapat mengembangkan kreativitas, (3) berguna sebagai alat penghubung kehidupan imajinasi dengan dunia nyata, (4) berbagi pengalaman sosial, (5) siswa menikmati cerita lagi dan lagi, (6) siswa dapat merevisi dan memperkaya kosakata, dan (7) dapat menjadi dasar pengembangan bahasa pada tingkat lanjut.  Moody (dalam Wardhani, 1981) juga mengatakan bahwa sastra dapat membantu meningkatkan keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa: indera, penalaran, perasaan, kesadaran sosial dan religius, serta menunjang pembentukan watak. Keempat keterampilan itu secara praktis dilakukan bersama-sama, terintegrasi, dan tidak terpisah-pisah.
Humor merupakan unsur rekreatif yang dapat membuat siswa menjadi senang dan secara empiris akan menarik minat siswa untuk memperhatikan pelajaran.  Humor dapat diselipkan disela-sela kegiatan pembelajaran supaya pembelajaran tidak akan terasa lambat dan monoton. Humor yang berasal dari bahasa Latin yang diartikan sebagai segala bentuk rangsangan secara spontan menimbulkan senyum dan tawa para pendengar atau pembacanya (Congrave dalam Pradopo dkk., 1987:2). Ada beberapa hal yang dapat dilakukan guru dalam upaya menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, antara lain (1) membuat teka-teki bernuansa kebahasaan, (2) permainan melatih konsentrasi, (3) membuat kalimat yang menarik, dan 4) menciptakan pantun bersahut. 
1)      Membuat Teki-teki Bernuansa Kebahasaan
Muslim (2008) menyatakan bahwa pembelajaran yang monoton dan membosankan karena kadang-kadang gurunya yang tak pandai menghidupkan kelas. Salah satunya adalah adalah dengan menciptakan teka-teki kebahasaan. Teka-teki dalam konteks ini hanyalah sebatas selingan yang berfungsi mencairkan kepenatan peserta didik dalam berpikir serius meskipun sebenarnya dengan teka-teki pun mereka masih dituntut berpikir juga. Namun, selingan yang menghilangkan kelelahan siswa dari keseriusan itu akan muncul ketika si pemberi teka-teki memberikan jawabannya, sedangkan peserta didik tidak bisa menerkanya. Teka-teki itu bisa diciptakan guru atau beberapa siswa.
Misalnya dengan teka-teki sebagai berikut.
Pernahkah kalian melihat orang memandikan jenazah? Kena apa jenazah dimandikan?
Jawaban yang diberikan peserta didik tentu beragam. Bahkan ada yang menggunakan dalil agama. Ketika disebutkan jawabannya adalah “kena air” perhatian siswa semakin serius karena mereka merasa jawaban itu tidak mengena. Namun, mereka akhirnya dapat tertawa setelah dijelaskan bahwa pertanyaannya adalah kena apa bukan kenapa.
2)      Permainan Melatih Konsentrasi
Beberapa permainan melatih konsentrasi yang dapat diterapkan di kelas, antara lain:
·         Permainan Memegang Anggota Badan
Semua siswa disuruh berdiri. Mereka merentangkan tangan di depan mengikuti guru. Mereka harus memperhatikan gerakan guru sambil telinganya dibuka lebar-lebar untuk memperhatikan instruksi. Tangan mereka disuruh mundur pelan-pelan sambil guru mengucapkan, “mundur...mundur...mundur ... (dengan tempo yang kian cepat)... Lalu mengatakan “pegang... hidung!” Guru harus mengatakan hal berbeda dari yang dipegangnya. Misalnya, ia mengatakan pegang “hidung“ tapi yang dipegang adalah jidat. Jika siswa memegang jidat, maka akan mendapat hukuman kebahasaan. Misalnya, siswa harus mengucapkan keras-keras kalimat “Aku suka membaca karya sastra supaya aku memiliki kekayaan kosakata“. Tiap-tiap orang yang dihukum harus mengganti vokal pada kalimat itu dengan vokal yang seragam. Jika mereka mendapat undian harus mengganti dengan “O“ semua, kalimatnya menjadi “Oko soko momboco koryo sostro sopoyooko momoloko kokoyoon kosokoto“.
·         Permainan Besar Kecil
Semua siswa disuruh berdiri. Mereka merentangkan tangan ke depan. Mereka harus memperhatikan instruksi guru. Jika yang disebut gajah, tangan mereka harus membuat lingkaran kecil sambil mengatakan ”besar“ dengan keras. Sebaliknya, jika guru mengatakan “semut“, tangan mereka harus membuat lingkaran besar sambil mengatakan “kecil“. Jika tangan mereka membuat lingkaran yang salah, mereka akan dihukum. Hukuman yang diberikan pun seperti hukuman di atas, tetapi dengan kalimat yang beragam. Sudah dapat dipastikan suasana kelas menjadi bergairah. Dengan demikian, pembelajaran yang menyenangkan pun dapat tercipta. 
·         Menciptakan Pantun
Salah satu cara mengusir kepenatan di kelas, guru dapat memberikan selingan untuk menciptakan pantun. Di samping memupuk kecintaan terhadap karya sastra, pantun juga menjadi sarana memperkaya kosakata. Berbagai pantun dapat dibuat dengan memberikan kunci 1) mempersiapkan isi pantun, 2) membuat sampiran, dan 3) memenuhi syarat pantun.

Pendidikan Karakter Melalui Sastra
Pendidikan bukan hanya sekadar transfer pengetahuan (transfer of knowledge), tapi juga wahana pembentukan kepribadian (character building), mulai dari pola pikir, kejiwaan, dan pola tingkah laku (attitude). Oleh sebab itu, perlunya dikembangkan pendidikan karakter melalui pembelajaran di sekolah. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menanamkan pendidikan karakter adalah melalui pembelajaran sastra. Pembelajaran sastra dapat dijadikan media penanaman nilai kehidupan, seperti nilai moral, akhlak, dan budi pekerti. Hal ini tentu dapat dikaitkan dengan fungsi utama sastra yaitu memperhalus budi, peningkatan rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial, penumbuhan apresiasi budaya, penyaluran gagasan, penumbuhan imajinasi, serta peningkatan ekspresi secara kreatif dan konstruktif.
Melalui membaca karya sastra, siswa akan bertemu dengan bermacam-macam masalah dan karakter manusia. Sastra dalam banyak hal memberi peluang kepada siswa untuk mengalami posisi orang lain, yang menjadikannya berempati kepada nasib dan situasi orang tersebut. Melalui kegiatan apresiasi sastra, kecerdasan siswa dipupuk hampir dalam semua aspek. Apresiasi sastra dapat melatih kecerdasan intelektual, yaitu dengan menggali nilai-nilai intrinsik dalam karya sastra, seperti tema, amanat, latar, tokoh, dan alur cerita. Apresiasi sastra dapat juga mengembangkan kecerdasan emosional siswa, seperti sikap tangguh, berinisiatif serta optimis menghadapi persoalan hidup, dan sebagainya. Hal ini dapat terjadi karena sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat dengan segala problem kehidupannya. Sastra dapat juga mengembangkan kecerdasan spiritual, yaitu dengan membaca karya sastra yang bertema religius. Karya sastra dengan tema religius akan menuntun siswa memahami hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Pembelajaran sastra yang relevan untuk pengembangan karakter peserta didik adalah pembelajaran yang memungkinkan peserta didik tumbuh kesadarannya untuk membaca dan menulis karya sastra yang akhirnya mampu meningkatkan pemahaman dan pengertian tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai, mendapatkan ide-ide baru, meningkatkan pengetahuan sosial budaya, berkembangnya rasa dan karsa, serta terbinanya watak dan kepribadian
Penerapan nilai-nilai karakter yang bersumber dari sastra tidak cukup hanya dilaksanakan oleh guru saja tetapi perlu melibatkan orang tua dan sekolah. Guru sebagai pelaksana pembelajaran di sekolah memiliki peran yang sangat besar dalam menanamkan nilai-nilai karakter kepada siswa. Ada dua hal pokok yang harus diperhatikan oleh guru dalam pembelajaran, yaitu pemilihan bahan ajar dan pengelolaan pembelajaran. Pemilihan bahan ajar dalam pengajaran sastra harus memperhatikan kesesuaian antara bahan ajar dengan tingkat perkembangan siswa secara psikologis dengan mempertimbangkan nilai-nilai karakter yang dapat dipahami dan dilaksanakan oleh siswa dalam berprilaku. Karya sastra yang baik adalah sastra yang mengandung nilai etis dan estetis, yaitu sastra mengandung struktur sastra yang baik dan mengandung nilai-nilai karakter yang dapat mengantarkan siswa menjadi manusia yang sempurna.   Berkaitan dengan pemilihan bahan ajar, Saryono (2009:52) mengemukakan bahwa genre sastra yang dapat dijadikan sarana untuk membentuk karakter bangsa, antara lain, genre sastra yang mengandung nilai atau aspek (1) literer-estetis, (2) humanistis, (3) etis dan moral, dan (4) religius- sufistis-profetis. Keempat nilai sastra tersebut dipandang mampu mengoptimalkan peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa. Pemilihan bahan ajar sastra yang cocok untuk siswa sangat ditentukan oleh kemampuan guru memilih karya sastra yang baik. Guru Bahasa Indonesia harus memiliki minat baca karya sastra yang tinggi agar lebih mampu untuk memilih bahan ajar yang tepat bagi siswa. Selain itu, model pembelajaran yang digunakan harus kreatif dan integratif sehingga siswa tertarik dan menyukai pelajaran sastra. dan tidak mampu mengimplementasikan nilai-nilai karakter dalam sastra tersebut.
Peran guru sebagai kunci keberhasilan pembelajaran sastra diharapkan dapat membentuk siswa yang berkarakter dan terampil dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis, serta mengapresiasi karya sastra. Sedangkan dalam pengelolaan pembelajaran, guru dapat mengarahkan siswa membaca dan membantu siswa menemukan nilai-nilai positif yang terkandung dalam karya sastra yang dibaca. Kemudian, siswa dibimbing mengaplikasikan nilai-nilai positif yang telah diperoleh dari karya sastra dalam kehidupan sehari-hari. Manfaat ekspresif karya sastra sebagai media pendidikan karakter dapat ditempuh melalui cara mengelola emosi, perasaan, semangat, pemikiran, ide, gagasan dan pandangan siswa ke dalam bentuk kreativitas menulis karya sastra dan bermain drama. Siswa dibimbing mengelola emosi, perasaan, pendapat, ide, gagasan, dan pandangan untuk diinternalisasi dalam diri kemudian dituangkan ke dalam karya sastra. Perasaan emosi, ketidakpuasan terhadap suatu sistem yang berlaku, rasa marah terhadap sesuatu hal dapat diaktualisasikan dalam karya sastra melalui puisi, drama, maupun prosa dengan memilih media yang sesuai dan tepat untuk mengaktualisasikan gejolak jiwa dalam bentuk karya sastra. Pementasan drama oleh siswa dapat menjadi penyaluran emosi dan pengendalian diri.
Pembelajaran sastra juga memerlukan peran dari orang tua siswa. Orang tua perlu memberi ruang kepada anak untuk mempraktikkan nilai budaya luhur yang telah diperoleh melalui pembelajaran di sekolah. Menurut Lichona (2012:48), keluarga merupakan sumber pendidikan moral paling utama bagi anak-anak. Orang tua juga memberikan pengaruh paling lama terhadap perkembangan moral anak.  Nilai moral dan etika suatu bangsa akan tercermin dalam karya-karya sastra yang diciptakan oleh sastrawan berdasarkan pada realitas budaya masyarakatnya. Jadi, ketika sastra yang dipelajari di sekolah dipilih dari karya sastra yang menampilkan nilai-nilai karakter yang baik dan orang tua di rumah menjadi modelnya maka anak akan memiliki kesan bahwa ternyata kebaikan-kebaikan dan keindahan-keindahan yang dinikmati dalam karya sastra dapat dijumpai wujudnya di dalam rumah melalui perilaku orang tua dan keluarga. Lickona (2012:50) menyebutkan bahwa keluarga sangatlah berpengaruh sebagai sosialisasi terbaik dalam pendidikan moral bagi anak-anak.  Keterlibatan orang tua sebagai model dan teladan akan menumbuhkan karakter yang kuat bagi anak. Dengan demikian, anak akan memasuki pengalaman bersosialisasi yang dapat mengantarkannya memperoleh inspirasi sehingga dapat mengembangkannya menjadi sebuah karya imajinatif ekspresif sebagai wujud pengalaman penghayatan dan penghargaan terhadap nilai-nilai yang baik yang dapat dituangkan dalam bentuk tulisan, baik melalui puisi, cerpen, novel atau drama.    Lickona (2012:55) mengatakan bahwa ketika orang tua tidak mengetahui kebutuhan dasar anak, baik yang bersifat fisik maupun emosional maka sebenarnya anak-anak belum siap untuk menjalankan perannya, baik secara mental maupun secara moral di sekolah. Jadi, selain sekolah yang memberikan stimulus berupa materi-materi sastra yang dapat merangsang imajinasi dan kreativitas anak, orang tua pun perlu mempersiapkan kerangka dasar penanaman nilai karakter yang baik sebagai tempat persemaian.
Sekolah juga memiliki peran dalam pembelajaran sastra, yakni di dalam menata lingkungan yang mendukung penerapan nilai-nilai karakter dalam berinteraksi sehari-hari dengan cara membangun hubugan harmonis antar warga sekolah. Menyediakan sarana dan prasarana pendukung seperti bahan bacaan sastra berkualitas yang mengandung nilai-nilai moral yang tinggi, adanya sanggar atau ruang khusus bagi siswa dalam berekspresi, mementaskan drama. Dan segala bentuk apresiasi sastra lainnya. Meskipun guru sudah berusaha menanamkan nilai-nilai baik melalui pembelajaran sasatra yang diwujudakn dalam prilaku nyata, namun jika tidak didukung oleh lingkungan, seperti penyediaan sarana bersosialisasi, bahan-bahan bacaan sastra yang memadai, maka nilai-nilai baik yang dimiliki oleh siswa akan perlahan-lahan hilang. Oleh karena itu, dengan adanya kerjasama antara guru, pihak sekolah dan orang tua, maka akan melahirkan arus kekuatan yang besar untuk membangung karakter anak menuju terbentuknya karakter bangsa yang lebih baik.










PENUTUP

Karakter seseorang dapat terbentuk melalui pendidikan di lingkup keluarga, sekolah, atau lingkungan masyarakat. Di sekolah, pendidikan karakter dapat diperoleh melalui pembelajaran pengetahuan dan penanaman nilai-nilai kehidupan yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Materi sastra dapat dijadikan sebagai salah satu sumber dan sarana pembentukan karakter siswa karena pada dasarnya karya sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat yang mengandung nilai-nilai tentang segala aspek kehidupan manusia.
Pendidikan karakter melalui pembelajaran sastra bisa berhasil jika guru dapat memilih bahan ajar yang mengandung nilai-nilai dan kebijakan yang positif serta disesuaikan dengan metode pembelajaran yang kreatif dan integratif untuk menciptakan suasana yang menyenangkan. Selain itu, pembelajaran sastra sebagai media pembentukan karakter di sekolah juga harus melibatkan dukungan kepala sekolah dan orang tua siswa. Kepala sekolah berperan sebagai penyedia fasilitas dalam mendukung pembelajaran. Orangtua memiliki peran untuk menyeimbangkan antara nilai-nilai yang diperoleh di sekolah dan masyarakat serta penerapannya dalam interaksi sosial. Hasil yang diharapkan dari pendidikan karakter melalui pembelajaran sastra yang kreatif dan integratif ini adalah menghasilkan siswa yang berkarakter dan terampil dalam menyimak, berbicara, membaca, menulis, serta mengapresiasi karya sastra.


























DAFTAR PUSTAKA

Umar Tirtaahardja, S. L. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.
Aminudin. 2015. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sainul Hermawan, Fatchul Mu'in. 2013. Literature and Nation Building. Banjarmasin: Lambung Mangkurat Univercity.
Rohman, Saifur. 2012. Pengantar Metodologi Pengajaran Sastra.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
 Saman, Muchlas dan Hariyanto. 2012. Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. 
Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

  


No comments:

Post a Comment