Ada Cinta Di Balik Tradisi Pahingan
Karya: D.Asteuu
“Apakah ini
benar-benar tradisi Pahingan terakhir kita?”
“… Aku tidak tau”
Suasana
di depan Masjid Jami’ Kauman Magelang lebih ramai dari biasanya. Banyak orang
bersliweran kesana-kemari. Para penjual masih berteriak mengulangi kalimat yang
selalu sama untuk menawarkan barang dagangan mereka yang hanya bisa diam
mematung meskipun sebenarnya merasa lelah berada di tempat itu. Keduanya tidak
bergeming dengan hiruk piruknya tempat dimana mereka berada sekarang. Bagi
mereka suara gaduh khas pasar bak alunan melodi yang mengalun merdu. Mengalir
sampai ke lubuk hati yang paling dalam.
“Kau diam?”
“Apalagi yang harus aku tanyakan? Aku sudah tau
jawabanmu” Suaranya bergetar. Pandangannnya mulai kabur terhalang oleh mendung
yang siap menjatuhkan jutaan tetes air mata kapanpun. Dia berusaha mati-matian
untuk tidak menangis dihadapan Raka.
Raka
tertohok mendengar jawaban itu. Hatinya terasa nyeri melihat mata wanita
dihadapannya yang sudah berkaca-kaca. Pikirannya saat ini benar-benar kacau. Ia
tak bisa melihat wanita itu menangis.
“Bisakah keberangkatanmu ditunda? Mungkin
setelah tradisi pahingan bulan depan…” Dia bertanya dengan suara parau.
“Maaf. Aku..”
“Aku tau….” Potongnya cepat, secepat buliran
kristal yang jatuh dari kedua matanya. Mengalir deras hingga mengenai jilbab hijau
tosca yang ia kenakan. Pertahanannya runtuh. Ada sesak yang teramat sangat
disana.
“Pergilah. “Dia melanjutkan dengan suara yang
lirih. Namun Raka masih dapat mendengarnya dengan jelas.
“Maafkan aku.”
“Bisakah kau mengucakapkan selain kata itu?”.Dia
bertanya lagi sembari menghapus air matanya. Ada semburat senyum
diwajahnya,senyum kepedihan.
Raka
diam. Memutar otaknya untuk menemukan kalimat yang pas dan tidak membuatnya
menangis lagi.
“Aku akan merindukan tempat ini, tradisi ini
dan wanita yang barusan menangis dihadapanku”
“Aku tidak menangisimu”
“Benarkah?”
Pipinya
memanas. Ia sadar saat ini wajahnya tengah memerah. Dengan cepat disembunyikan
wajah yang semerah tomat tadi pada kedua tangan dengan jari-jari lentik itu.
“Ehem, bolehkah aku menjawab pertanyaan
pertamamu?”
Dia
mendongakkan kepalanya. Menatap Raka lurus dengan mata yang masih sembab. Wajah
memelasnya masih terlihat dengan jelas. Sedang yang ditatap hanya memasang
tampang watados (wajah tanpa dosa) sembari menahan tawa melihat penampilan
wanita itu saat ini.
“Aku sudah tau jawabanmu.”
“Jawabanku kali ini berbeda.”
“Em.. Katakan yang ingin kau katakan sebelum
kau benar-benar pergi”
“Dengarkan aku. Sama halnya dengan tradisi
pahingan di sini yang tidak akan berhenti dilakukan selama masyarakat mau
melestarikannya. Begitu juga denganku dalam menggapai mimpi. Aku pergi dari Magelang
tercinta ini untuk menggali ilmu di tanah orang”. Dan untuk melupakan perasaanku padamu,batinnya.
“Mungkin tradisi disana akan berbeda,tapi aku
akan tetap mengenang apapun yang pernah aku lalui di kota ini. Terutama tradisi
pahingan. Karena tradisi ini aku mendapat banyak pelajaran tentang arti hidup.
Di sini aku bisa melihat bagaimana semangatnya seseorang berusaha mendekatkan
diri kepada-Nya. Mereka berbondong-bondong untuk mengikuti acara pengajian di
masjid, rela duduk berjam-jam demi mendapatkan siraman rohani dari Ustadz/Ustadzah.
Selain supaya masyarakat Kota Magelang dan sekitarnya bisa melakukan pengajian
bersama juga merupakan ajang silaturahim warga Kota Magelang. Aku juga mendapat
pelajaran berharga saat berada di tengah pasar pahingan seperti ini. Aku bisa
melihat bagaimana orang lain berjalan,berlari,berbicara,tertawa ataupun
menangis sama sepertimu tadi. Melihat seseorang yang kecil dan nantinya akan
tumbuh sama seperti kita. Bagaimana mereka berjuang untuk bahagia. Penjual rela
berteriak mengulangi kalimat yang sama tanpa mengenal lelah demi mengais rupiah.
Suasana seperti ini sungguh akan terpatri kuat dalam memori ingatanku..”
Raka
menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan penuturannya. Sesekali ia melirik
wanita berjilbab tosca yang masih menunggu kalimat berikutnya.
“Kau sendiri bagaimana?”
“Aku?,”tanyanya kebingungan sambil menunjuk
wajahnya sendiri.
“Iya kamu. Apa yang ada dipikirkan kamu tentang
tradisi pahingan setelah banyak waktu yang telah kita lalui”
“Kok jadi membahas tradisi pahingan sih,Kak?”
“Ya apa salahnya? Toh kita bertemu karena
tradisi ini kan? Eh tunggu ’KAK’ ?”
“Iya lah ‘KAK’, karena biar bagaimanapun kamu
kakak angkatku. Tak bisa dipungkiri tradisi ini sungguh begitu
mengesankan,terutama untukku. Mungkin jika
dulu orang tua Kakak tidak mengadopsiku,aku saat ini masih berada di
panti. Aku bersyukur waktu itu diajak bu Santi ke masjid ini sehingga bertemu
keluarga kakak.”
Raka
bisa melihat senyum tulus dari wajah manis itu. Namun dadanya kian sesak jika
harus menatapnya lebih lama. Dia harus menerima kenyataan bahwa wanita pemilik
nama Lysa itu adalah adik angkatnya sejak beberapa tahun lalu. Tak seharusnya
dia memiliki perasaan yang lebih dari rasa sayang seorang kakak terhadap
adiknya.Itulah alasannya memilih untuk pergi dari Magelang dan melanjutkan kuliah
di Bandung.
“Kalau menurutku tradisi yang dilakukan
35 hari sekali pada hari Pahing ini sangat menarik dan bermanfaat untuk banyak
orang. Mempererat tali silaturahim itu sudah pasti. Dimana kita bisa mengajak
keluarga,saudara, tetangga atau teman-teman untuk mengikuti kegiatan siraman
rohani dari pukul 08.00-12.00 WIB. Selain
kita bisa berwisata kuliner di Pasar Tiban
Pahingan yang digelar di kawasan alun-alun Magelang. Hal ini tentu menarik
perhatian pengunjung dari Kota Magelang dan sekitarnya kan?. Pengunjung dapat
menikmati udara di alun-alun Magelang pada pagi hari sembari menikmati kajian
yang ada di Masjid Agung Magelang dan mengisi perut dengan jajanan tradisional.
Sungguh destinasi wisata rohani, kuliner dan panorama yang berbaur menjadi satu
aset yang begitu berharga. Begitu banyak pihak yang peduli dalam menyelamatkan
akar budaya kota Magelang ini. Hebatnya pasar tiban ini sudah ada sejak tahun
1958. Umur yang cukup tua sekali dan pastinya sudah sangat melegenda di kalangan
masyarakat Kota Magelang serta sangat mengesankan bagi mereka.
Tapi bagiku
yang paling mengesankan dari adanya tradisi ini yaitu bisa bertemu dengan seorang pria yang begitu
berpengaruh dalam hidupku. Sayangnya aku telah mengacaukan hidupnya,dan aku terlambat
menyadari sesuatu sehingga dalam waktu dekat ini harus membuatnya berpisah dari
orang tuanya sendiri hanya untuk menghindari perasaan yang seharusnya tak boleh
ada diantara kami.”
“Sedetail itukah? Kamu memang jenius,
mirip kakaknya ya. Hahaha.. ”Jawab Raka sambil mencoba untuk tertawa renyah
meskipun terdengar hambar.
Lysa
juga merasakan apa yang Raka rasakan saat ini. Dadanya sangat sesak. Tanpa
sadar air matanya telah membanjiri pipi tirusnya.
“Maafkan Lysa,Kak. Gara-gara Lysa kakak memilih
untuk pergi…”
“Stt.. kamu tidak salah kok. Mungkin ini ujian
dari Allah untuk kita, Dia ingin menguji apakah kita bisa melewati ini semua
atau tidak”
“Kakak benar.
Allah ingin menguji keimanan kita lewat perasaan ini”
Hening. Tak ada yang membuka suaranya. Hanya ada suara orang-orang
yang masih bersliweran dipadukan suara bising kendaraan yang berlalu lalang di
hadapan dua insan ini.
“Lysa….”
“Ya”
“Meskipun aku tidak di Magelang lagi, aku harap
kamu masih mau menemani ibu untuk datang ke masjid ini..”
“Itu pasti, Kak. Aku akan selalu mengunjungi
tempat ini untuk mengikuti kegiatan pahingan. “Dan akan tetap datang untuk mengenang apapun tentangmu,lanjutnya
dalam hati.
Allahuakbar.. Allahuakbar..
Lantunan adzan menghentikan percakapan mereka. Sebenarnya masih banyak
yang ingin disampaikan oleh masing-masing dari mereka. Namun biarlah apa yang
ada dalam pikiran dan apa yang mereka rasakan saat ini diungkapkan kepada-Nya.
Karena tiada tempat paling menenteramkan jiwa saat banyak masalah selain
bersimpuh di atas sajadah dan mengungkapkan segalanya kepada Dia. Hanya Dia
yang mampu membantu kita menyelesaikan masalah dan hanya Dia pula yang mampu
menciptakan alur kehidupan yang sempurna bagi seseorang dengan scenario terbaik-Nya.
Magelang,
Minggu,25 Desember 2016
(10:20) @ApriliaKost
No comments:
Post a Comment