Sunday, 20 May 2018

Makalah Sejarah Sastra Tentang Lekra


BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Indonesia  pada  periode  1950-1965  tetap  menjadi  lahan  subur  bagi  berbagai  ideologi.  Modernisme,  komunisme,  dan nasionalisme saling bertubrukan dan seolah tampak sama kuat. Situasi bertambah pelik ketika Uni Soviet dan Amerika Serikat  muncul  sebagai  dua  negara  adikuasa  pemenang  Perang  Dunia  II.  Keduanya  melancarkan  perang  politik  adu kekuasaan  yang  dikenal  dengan  nama  Perang  Dingin. Indonesia menjadi tempat „bertempur‟ dua kekuatan itu yang saling berebut „negara satelit.‟ Padahal kondisi internal negara Indonesia sendiri masih dalam tahap pembangunan dan penstabilan.
Setelah sempat digoncang dua agresi militer pasca Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia mengalami berbagai perubahan. Hubungan  dengan  dunia  internasional  semakin  terbuka  dan  pengakuan  dunia  internasional  terhadap  Indonesia bertambah. Indonesia juga mengalami perubahan bentuk pemerintahan. Belum lagi bermunculan organisasi dan partai-partai  baru  yang  turut  menyemarakkan  dunia  politik  dan  budaya  Indonesia.
Di  tengah  kemelut  politik  dan  kebudayaan  Indonesia  inilah  lahir  Lembaga  Kebudayaan  Rakyat  (selanjutnya  disingkat Lekra).  Didirikan  atas  inisiatif  tokoh-tokoh  seperti  D.N.  Aidit,  M.S.  Ashar,  A.S.  Dharta,  dan  Njoto  pada  17  Agustus 1950.  Tidak  dapat  dipungkiri,  Aidit  dan  Njoto  adalah  pemimpin  Partai  Komunis  Indonesia  (PKI).  Namun  sampai sekarang  hubungan  antara  Lekra  dan  PKI  masih  menuai  perdebatan.  Di  satu  sisi  hubungan  keduanya  memperlihatkan sebuah daya tarik-menarik, tetapi di sisi lain tampak ada keinginan yang satu untuk menguasai yang lainnya. Menyebut PKI  lebih  mapan  dalam  kekuasaan  dan  kekuatan  daripada  Lekra  sehingga  PKI  mendominasi  Lekra,  tampak  kurang sesuai.  Walau  secara  usia  PKI  telah  berdiri  sejak  tahun  1920,  dalam  pertumbuhannya  ia  kerap  mengalami  hambatan.
Seperti  saat  masa  penjajahan,  PKI  masih  terus  bisa  menjalankan  aktivitasnya  tetapi  di  bawah  tanah,  hingga  jatuhnya kekuasaan fasis Jepang (Lecrec, 2011:29). Satu hal yang dapat diyakini adalah keduanya memiliki semangat kerakyatan yang sama-sama menggebu.

1.2   Rumusan Masalah
1.2.1   Lembaga Kebudayaan Rakyat
1.2.2   Keterkaitan Lembaga Kebudayaaan Rakyat dengan Sastra

1.3  Tujuan
1.3.1   Untuk mengetahui seluk beluk Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat)
1.3.2   Untuk mengetahui dan memahami hubungan antara Leka dengan sastra


BAB II PEMBAHASAN
2.1 Lembaga Kebudayaan Rakyat
Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) didirikan pada tanggal 17 Agustus 1950. Yang ditandai dengan diluncurkannya Mukadimah Lekra sebagai naskah proklamasi pendirian sebuah organisasi kebudayaan. Lekra bekerja khususnya di bidang kebudayaan, kesenian dan ilmu.  Lekra didirikan oleh sekitar 15 orang yang menyebut dirinya peminat dan pekerja kebudayaan di Jakarta. Pengurus awal yang kemudian menjadi anggota sekretariat Lekra adalah A.S.Dharta, M.S.Ashar, dan Herman Arjuna sebagai sekretaris I, II, III. Anggota adalah Henk Ngantung, Njoto, dan Joebar Ajoeb. Lekra bertujuan mengembangkan kebudayaan nasional yang bersifat kerakyatan dalam rangka perjuangan pembebasan nasional melawan imprealisme.
Lekra meyakini bahwa “Revolusi Agustus 1945” untuk mencapai kemerdekaan dari penjajahan secara politis, ekonomi dan kultural telah gagal. Perjuangan rakyat dalam mencapai tujuan kemerdekaan itu dihambat dengan perjuangan diplomasi yang dianggap meniadakan perjuangan dan pengorbanan rakyat selama revolusi 1945. Joebaar Ayoeb dalam Kongres Pertama Lakra di Solo menyatakan, “Lekra didirikan 5 tahun setelah Revolusi Agustus, di saat revolusi tertahan oleh rintangan hebat yang berujud persetujuan KMB, jadi, di saat garis rovolusi sedang menurun. Lekra didirikan untuk turut mencegah kemerosotan lebih lanjut garis revolusi, karena kita sadar, tugas ini bukan hanya tugas politisi, tetapi juga tugas pekerja-pekerja kebudayaan. Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung revolusi.
Dalam mempertahankan dan membangun kebudayaan rakyat, Lekra merumuskan “Konsepsi Kebudayaan Rakyat”:, sebagai landasan gerak organisasi:
a. Penjelasan tentang kebudayaan yaitu kesenian, ilmu dan induetri. Ketiganya harus dikembalikan kepada rakyat agar bisa meratadinikmati bersama.
b. Demokratisasi seni, ilmu, dan industri yang dicapai dengan revolusi demokrasi rakyat. Demokrasi itu membawa rakyat kepada kebebasan secara individual dan nasional untuk berkembang.
c. Penegasan bahwa rakyat adalah kelas buruh dan tani, sebagai kekuatan utama dari perjuangan rakyat dan golongan mayoritas rakyat Indonesia.
d. Faktor-faktor yang merugikan perkembangan kebudayaan rakyat, karena itu harus ditolak: tidak adanya kesadaran kesatuan antara perjuangan buruh tani dan perjuangan kebudayaan, pengaruh kebudayaan borjuis, sampai kurang terlibatnya golongan intelektual dan pemuda dalam gerakan buruh dan tani.
e. Sikap terhadap kebudayaan asing dan kebudayaan kuno yang harus tetap kritis, dan “tidak menjiplak secara membudak” mengambil unsur-unsur yang progresif dan meneruskan tradisi yang dapat meninggikan tingkat kebudayaan Indonesia.
f. Langkah-langkah strategis organisasi dalam mewujudkan cita-citanya.
Sebagai organisasi kebudayaan, Lekra berkembang pesat dan menjadi wadah pertemuan para intelektual dan seniman dengan latar belakang yang berbeda-beda. Di organisasi ini berkumpul seniman lukis, seniman tradisional, sastrawan dan sebagainya. Walaupun tidak ada pendataan anggota, ada yang meyakini bahwa anggota Lekra sampai puluhan bahkan ratusan ribu orang. Kalau ditelusuri ke belakang, yang sangat berpengaruh kepada konsep kebudayaan Lekra adalah pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pentingnya mengakarkan dirinya ke berbagai bentuk dan kekuatan kebudayaan rakyat (Jawa, Bali, Melayu, Dayak, dll.) Indonesia sendiri.
Usaha Lekra mengangkat kebudayaan daerah bukannya tak menghadapi tantangan dari dalam tubuh organisasi itu sendiri. Sejumlah seniman yang berlatar pendidikan modern beranggapan kesenian rakyat tak bisa begitu saja dianggap sebagai karya seni yang bermutu dan layak menjadi wakil kebudayaan Indonesia. Sementara, di sisi lain, mereka yang melihat potensi luar biasa kesenian rakyat sebagai alat pembebasan, tidak terlalu memperdulikan realis tidaknya suatu karya seni.
Seringkali Lekra disebut sebagai onderbouw PKI karena beberapa pendirinya adalah petinggi PKI. Namun tak ada pernyataan resmi soal ini, baik dari PKI maupun dari pihak Lekra.
Lekra termasuk anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional tapi Lekra sebagai organisasi lebih ketat daripada BMKN. Lembaga ini telah mendirikan 18 cabang di propinsi yang dikepalai oleh perwakilan-perwakilan yang merekrut para anggota lokal. Lembaga ini dalam perkembangannya menjadi sebuah badan yang homogen yang diikat dengan erat oleh ideologi Lekra.
Dalam menjalankan organisasinya, Lekra mempunyai pedoman yang disebut Mukadimah Lekra. Mukadimah Lekra dikeluarkan bersama saat pendiriannya dan disebut Mukadimah Lekra 1950. Kemudian Mukadimah ini direvisi pada tahun 1959 dan disebut Mukadimah 1959. Berdasar mukadimah ini, ada beberapa jargon yang dianggap lekat dengan Lekra seperti seni untuk rakyat, politik adalah panglima, realisme sosial serta ideologi di atas seni.
Seiring tumbangnya ideologi komunis di Indonesia pada akhir dekade 60, yang berarti terjadi pergantian penguasa politik di Indonesia, Lekra akhirnya dinyatakan terlarang sesuai TAP MPRS no. XXV/MPRS/ tahun 1966, tentang pelarangan komunisme, Leninisme, dan pembubaran organisasi PKI beserta organisasi massanya. Dengan ini Lekra benar-benar dianggap bagian dari PKI oleh rezim orde baru. Banyak anggota Lekra dipenjarakan setelah itu dan menjadi tahanan politik. Ada juga yang menyatakan sebagian sastrawan Lekra yang lain sudah terbunuh.
2.2 Keterkaitan Lembaga Kebudayaan Rakyat dengan Sastra
Pada waktu berdirinya Lekra tercatat 15 seniman yang berdiri dibelakannya, antara lain: Joebaar Ajoeb, A.S. Dharta, M.S.Ashar, Herman Arjuno, Nyoto dan lain-lain. Organisasi ini bergerak di segala segi kebudayaan dan mencakup seksi-seksi sastra seni rupa, seni suara, seni drama, film, filsafat, dan olahraga.
Dalam kesusastraan organisasi kebudayaan ini mengembangkan sastra Realisme Sosialis, Sastra aliran ini hanya merupakan alat belaka dari partai politiknya, dalam hal kepentingan politik PKI. Terdapat beberapa konsep dasar dalam sastra Lekra ini, antara lain:
1. Seni Untuk Rakyat
2. Politik adalah panglima
3. Meluas dan Meninggi
4. Gerakan Turun Kebawah
5. Organisasi
Pembentukan para sastrawan berdasarkan konsep yang demikian mengakibatkan mereka menjadi amat yakin terhadap kebenaran alirannya.
Meski Lekra didirikan tahun 1950 namun peranannya nbaru penting sekitar tahun 1957. Pada tahun itu mulailah Lekra berhasil menarik kaum sastrawan memasuki organisasinya. Dari beberapa sastrawan yang sudah terkenal dan kemudian terpikat oleh cara-cara Lekra adalah Pramoedya Ananta Toer, Boejoeng Saleh, Utuy Tatang Sontani, Rivai Apin, Sobron Aidit, dan lain lain.
Teror Lekra terhadap berbagai sastrawan mapan dilakukan dengan sasaran utama menjatuhkan tokoh H.B. Jassin. Majalah Jassin yang terkenal, yakni Sastra, diserang kaum Lekra antara lain dengan membujuk dan mengancam pada sastrawan pemenang Hadiah Sastra untuk menolak hadiah-hadiah tersebut.
Selain itu Lekra tidak henti-hentinya mempropagandakan konsep-konsep sastra Relaisme Sosialisnya sambil mengecam kaum sastrawan di luar Lekra. Para sastrawan yang berada di luar kelompok kelompok itu masih cukup banyak jumlahnya. Namun akhirnya mereka harus mengelompok juga meski bukan dalam bentuk organisasi formal. Mereka inilah yang kemudian memaklumkan Manifest Kebudayaan.

No comments:

Post a Comment