BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar
Belakang
Indonesia  pada 
periode  1950-1965  tetap 
menjadi  lahan  subur 
bagi  berbagai  ideologi. 
Modernisme,  komunisme,  dan nasionalisme saling bertubrukan dan seolah
tampak sama kuat. Situasi bertambah pelik ketika Uni Soviet dan Amerika
Serikat  muncul  sebagai 
dua  negara  adikuasa 
pemenang  Perang  Dunia 
II.  Keduanya  melancarkan 
perang  politik  adu kekuasaan 
yang  dikenal  dengan 
nama  Perang  Dingin. Indonesia menjadi tempat „bertempur‟
dua kekuatan itu yang saling berebut „negara satelit.‟ Padahal kondisi internal
negara Indonesia sendiri masih dalam tahap pembangunan dan penstabilan.
Setelah
sempat digoncang dua agresi militer pasca Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia
mengalami berbagai perubahan. Hubungan 
dengan  dunia  internasional 
semakin  terbuka  dan 
pengakuan  dunia  internasional 
terhadap  Indonesia bertambah.
Indonesia juga mengalami perubahan bentuk pemerintahan. Belum lagi bermunculan
organisasi dan partai-partai  baru  yang 
turut  menyemarakkan  dunia 
politik  dan  budaya 
Indonesia.
Di  tengah 
kemelut  politik  dan 
kebudayaan  Indonesia  inilah 
lahir  Lembaga  Kebudayaan 
Rakyat  (selanjutnya  disingkat Lekra).  Didirikan 
atas  inisiatif  tokoh-tokoh 
seperti  D.N.  Aidit, 
M.S.  Ashar,  A.S. 
Dharta,  dan  Njoto 
pada  17  Agustus 1950. 
Tidak  dapat  dipungkiri, 
Aidit  dan  Njoto 
adalah  pemimpin  Partai 
Komunis  Indonesia  (PKI). 
Namun  sampai sekarang  hubungan 
antara  Lekra  dan 
PKI  masih  menuai 
perdebatan.  Di  satu 
sisi  hubungan  keduanya 
memperlihatkan sebuah daya tarik-menarik, tetapi di sisi lain tampak ada
keinginan yang satu untuk menguasai yang lainnya. Menyebut PKI  lebih 
mapan  dalam  kekuasaan 
dan  kekuatan  daripada 
Lekra  sehingga  PKI 
mendominasi  Lekra,  tampak 
kurang sesuai.  Walau  secara 
usia  PKI  telah 
berdiri  sejak  tahun 
1920,  dalam  pertumbuhannya  ia 
kerap  mengalami  hambatan. 
Seperti  saat 
masa  penjajahan,  PKI 
masih  terus  bisa 
menjalankan  aktivitasnya  tetapi 
di  bawah  tanah, 
hingga  jatuhnya kekuasaan fasis
Jepang (Lecrec, 2011:29). Satu hal yang dapat diyakini adalah keduanya memiliki
semangat kerakyatan yang sama-sama menggebu.
1.2   Rumusan Masalah
1.2.1   Lembaga
Kebudayaan Rakyat
1.2.2   Keterkaitan
Lembaga Kebudayaaan Rakyat dengan Sastra
1.3  Tujuan
1.3.1   Untuk
mengetahui seluk beluk Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat)
1.3.2   Untuk
mengetahui dan memahami hubungan antara Leka dengan sastra
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Lembaga Kebudayaan
Rakyat
Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat) didirikan pada tanggal 17 Agustus 1950. Yang ditandai dengan
diluncurkannya Mukadimah Lekra sebagai naskah proklamasi pendirian sebuah
organisasi kebudayaan. Lekra bekerja khususnya di bidang
kebudayaan, kesenian dan ilmu.  Lekra didirikan oleh sekitar 15 orang yang menyebut
dirinya peminat dan pekerja kebudayaan di Jakarta. Pengurus awal yang kemudian
menjadi anggota sekretariat Lekra adalah A.S.Dharta, M.S.Ashar, dan Herman
Arjuna sebagai sekretaris I, II, III. Anggota adalah Henk Ngantung, Njoto, dan
Joebar Ajoeb. Lekra bertujuan mengembangkan kebudayaan nasional yang bersifat
kerakyatan dalam rangka perjuangan pembebasan nasional melawan imprealisme.
Lekra
meyakini bahwa “Revolusi Agustus 1945” untuk mencapai kemerdekaan dari penjajahan
secara politis, ekonomi dan kultural telah gagal. Perjuangan rakyat dalam
mencapai tujuan kemerdekaan itu dihambat dengan perjuangan diplomasi yang
dianggap meniadakan perjuangan dan pengorbanan rakyat selama revolusi 1945.
Joebaar Ayoeb dalam Kongres Pertama Lakra di Solo menyatakan, “Lekra didirikan
5 tahun setelah Revolusi Agustus, di saat revolusi tertahan oleh rintangan
hebat yang berujud persetujuan KMB, jadi, di saat garis rovolusi sedang
menurun. Lekra didirikan untuk turut mencegah kemerosotan lebih lanjut garis
revolusi, karena kita sadar, tugas ini bukan hanya tugas politisi, tetapi juga
tugas pekerja-pekerja kebudayaan. Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan
yang taat dan teguh mendukung revolusi.
Dalam
mempertahankan dan membangun kebudayaan rakyat, Lekra merumuskan “Konsepsi
Kebudayaan Rakyat”:, sebagai landasan gerak organisasi:
a. Penjelasan tentang kebudayaan yaitu kesenian, ilmu dan induetri. Ketiganya harus dikembalikan kepada rakyat agar bisa meratadinikmati bersama.
a. Penjelasan tentang kebudayaan yaitu kesenian, ilmu dan induetri. Ketiganya harus dikembalikan kepada rakyat agar bisa meratadinikmati bersama.
b. Demokratisasi
seni, ilmu, dan industri yang dicapai dengan revolusi demokrasi rakyat.
Demokrasi itu membawa rakyat kepada kebebasan secara individual dan nasional
untuk berkembang.
c. Penegasan bahwa
rakyat adalah kelas buruh dan tani, sebagai kekuatan utama dari perjuangan
rakyat dan golongan mayoritas rakyat Indonesia.
d. Faktor-faktor yang
merugikan perkembangan kebudayaan rakyat, karena itu harus ditolak: tidak
adanya kesadaran kesatuan antara perjuangan buruh tani dan perjuangan
kebudayaan, pengaruh kebudayaan borjuis, sampai kurang terlibatnya golongan
intelektual dan pemuda dalam gerakan buruh dan tani.
e. Sikap terhadap
kebudayaan asing dan kebudayaan kuno yang harus tetap kritis, dan “tidak
menjiplak secara membudak” mengambil unsur-unsur yang progresif dan meneruskan
tradisi yang dapat meninggikan tingkat kebudayaan Indonesia.
f. Langkah-langkah
strategis organisasi dalam mewujudkan cita-citanya.
Sebagai organisasi kebudayaan, Lekra berkembang pesat dan menjadi wadah pertemuan para intelektual dan seniman dengan latar belakang yang berbeda-beda. Di organisasi ini berkumpul seniman lukis, seniman tradisional, sastrawan dan sebagainya. Walaupun tidak ada pendataan anggota, ada yang meyakini bahwa anggota Lekra sampai puluhan bahkan ratusan ribu orang. Kalau ditelusuri ke belakang, yang sangat berpengaruh kepada konsep kebudayaan Lekra adalah pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pentingnya mengakarkan dirinya ke berbagai bentuk dan kekuatan kebudayaan rakyat (Jawa, Bali, Melayu, Dayak, dll.) Indonesia sendiri.
Sebagai organisasi kebudayaan, Lekra berkembang pesat dan menjadi wadah pertemuan para intelektual dan seniman dengan latar belakang yang berbeda-beda. Di organisasi ini berkumpul seniman lukis, seniman tradisional, sastrawan dan sebagainya. Walaupun tidak ada pendataan anggota, ada yang meyakini bahwa anggota Lekra sampai puluhan bahkan ratusan ribu orang. Kalau ditelusuri ke belakang, yang sangat berpengaruh kepada konsep kebudayaan Lekra adalah pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pentingnya mengakarkan dirinya ke berbagai bentuk dan kekuatan kebudayaan rakyat (Jawa, Bali, Melayu, Dayak, dll.) Indonesia sendiri.
Usaha
Lekra mengangkat kebudayaan daerah bukannya tak menghadapi tantangan dari dalam
tubuh organisasi itu sendiri. Sejumlah seniman yang berlatar pendidikan modern
beranggapan kesenian rakyat tak bisa begitu saja dianggap sebagai karya seni
yang bermutu dan layak menjadi wakil kebudayaan Indonesia. Sementara, di sisi
lain, mereka yang melihat potensi luar biasa kesenian rakyat sebagai alat
pembebasan, tidak terlalu memperdulikan realis tidaknya suatu karya seni.
Seringkali
Lekra disebut sebagai onderbouw PKI karena beberapa pendirinya adalah petinggi
PKI. Namun tak ada pernyataan resmi soal ini, baik dari PKI maupun dari pihak
Lekra.
Lekra
termasuk anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional tapi Lekra sebagai
organisasi lebih ketat daripada BMKN. Lembaga ini telah mendirikan 18 cabang di
propinsi yang dikepalai oleh perwakilan-perwakilan yang merekrut para anggota
lokal. Lembaga ini dalam perkembangannya menjadi sebuah badan yang homogen yang
diikat dengan erat oleh ideologi Lekra.
Dalam
menjalankan organisasinya, Lekra mempunyai pedoman yang disebut Mukadimah
Lekra. Mukadimah Lekra dikeluarkan bersama saat pendiriannya dan disebut Mukadimah Lekra 1950. Kemudian Mukadimah
ini direvisi pada tahun 1959 dan disebut Mukadimah 1959. Berdasar mukadimah
ini, ada beberapa jargon yang dianggap lekat dengan Lekra seperti seni untuk
rakyat, politik adalah panglima, realisme sosial serta ideologi di atas seni.
Seiring
tumbangnya ideologi komunis di Indonesia pada akhir dekade 60, yang berarti
terjadi pergantian penguasa politik di Indonesia, Lekra akhirnya dinyatakan
terlarang sesuai TAP MPRS no. XXV/MPRS/ tahun 1966, tentang pelarangan
komunisme, Leninisme, dan pembubaran organisasi PKI beserta organisasi
massanya. Dengan ini Lekra benar-benar dianggap bagian dari PKI oleh rezim orde
baru. Banyak anggota Lekra dipenjarakan setelah itu dan menjadi tahanan
politik. Ada juga yang menyatakan sebagian sastrawan Lekra yang lain sudah
terbunuh.
2.2
Keterkaitan Lembaga Kebudayaan Rakyat dengan Sastra 
Pada waktu berdirinya Lekra tercatat 15 seniman yang
berdiri dibelakannya, antara lain: Joebaar Ajoeb, A.S. Dharta, M.S.Ashar,
Herman Arjuno, Nyoto dan lain-lain. Organisasi ini bergerak di segala segi
kebudayaan dan mencakup seksi-seksi sastra seni rupa, seni suara, seni drama,
film, filsafat, dan olahraga.
Dalam kesusastraan organisasi kebudayaan ini
mengembangkan sastra Realisme Sosialis, Sastra aliran ini hanya merupakan alat
belaka dari partai politiknya, dalam hal kepentingan politik PKI. Terdapat
beberapa konsep dasar dalam sastra Lekra ini, antara lain:
1. Seni Untuk Rakyat
2. Politik adalah panglima
3. Meluas dan Meninggi
4. Gerakan Turun Kebawah
5. Organisasi
Pembentukan para sastrawan berdasarkan konsep yang
demikian mengakibatkan mereka menjadi amat yakin terhadap kebenaran alirannya.
Meski Lekra didirikan tahun 1950 namun peranannya
nbaru penting sekitar tahun 1957. Pada tahun itu mulailah Lekra berhasil
menarik kaum sastrawan memasuki organisasinya. Dari beberapa sastrawan yang
sudah terkenal dan kemudian terpikat oleh cara-cara Lekra adalah Pramoedya
Ananta Toer, Boejoeng Saleh, Utuy Tatang Sontani, Rivai Apin, Sobron Aidit, dan
lain lain.
Teror Lekra terhadap berbagai sastrawan mapan
dilakukan dengan sasaran utama menjatuhkan tokoh H.B. Jassin. Majalah Jassin
yang terkenal, yakni Sastra, diserang kaum Lekra antara lain dengan membujuk
dan mengancam pada sastrawan pemenang Hadiah Sastra untuk menolak hadiah-hadiah
tersebut.
Selain itu Lekra tidak henti-hentinya mempropagandakan
konsep-konsep sastra Relaisme Sosialisnya sambil mengecam kaum sastrawan di
luar Lekra. Para sastrawan yang berada di luar kelompok kelompok itu masih
cukup banyak jumlahnya. Namun akhirnya mereka harus mengelompok juga meski
bukan dalam bentuk organisasi formal. Mereka inilah yang kemudian memaklumkan
Manifest Kebudayaan.
No comments:
Post a Comment