Sunday 20 May 2018

Makalah Pengaruh Manifes Kebudayaan Terhadap Sastra Indonesia



PENGARUH MANIFES  KEBUDAYAAN  TERHADAP SASTRA INDONESIA
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Sastra
Dosen Pengampu :  Dzikrina Dian Cahyani, M.A.
Disusun oleh :
Nuniek Febriana          (1610301007)
Wiwit Risqiani            (1610301035)
Retno Asih                  (1610301037)
Dian Tyas Utami         (1610301041)
Anisah                         (1610301047)
Sri Ustadah                 (1610301058)
Dwi Astuti Asih          (1610301071)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TIDAR
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Magelang, 1 Mei 2017

        Penyusun








DAFTAR ISI

Halaman Judul...........................................................................................................i
Kata Pengantar.........................................................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1  Tujuan Penulisan................................................................................................1
1.2  Rumusan Masalah..............................................................................................2
1.3  Manfaat Penulisan..............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Manifes Kebudayaan............................................................................3
2.2 Tokoh-tokoh Manifes Kebudayaan....................................................................3  
2.3 Sejarah Manifes Kebudayaan.............................................................................4
2.4 Naskah Manifes Kebudayaan.........................................................................4-5
2.5 Pengaruh Manifes Kebudayaan terhadap Sastra Indonesia..........................5-11
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan................................................................................................................12
3.2 Saran.................................................................................................................12




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  LatarBelakang

Sastra merupakan teks yang mengandung intruksi, pedoman dan ajaran. Sastra Indonesia ialah sastra berbahasa Indonesia. Sastra Indonesia pada hakikatnya merupakan keseluruhan sastra yang berkembang di Indonesia yang berkembang selama ini, sedangkan hasilnya berupa sekian banyak puisi, cerita pendek, novel, roman dan naskah drama berbahasa Indonesia. (Yudiono K.S., 2010:110)
                                      
Sejarah sastra Indonesia telah berlangsung relatif panjang dengan perkembangan yang terbilang pesat dan dinamik sehingga dapat ditulis secara panjang lebar. (Yudiono K.S.,2010:40)Banyak peristiwa penting muncul dalam perkembangan sejarah sastra Indonesia yang menentukan dan berpengaruh bagi kesusastraan berikutnya, di antaranya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Manifes Kebudayaan, Sastra Akademik, Plagiarisme, Praha Sastra, Sastra Era Kemapanan, dan Sastra Era Soeharto.

Pada makalah ini penulis hanya akan menjelaskan peristiwa sastra Indonesia tentang Manifes Kebudayaan. Manifes kebudayaan ini merupakan bentuk respon dari teror-teror dalam ranah budaya yang dilancarkan oleh orang-orang yang tergabung dalamLekra (LembagaKebudayaan Rakyat).

1.2  TujuanPenulisan
1.2.1        Untuk memenuhi tugas mata kuliah sejarah sastra.
1.2.2        Untuk mengetahui definisi manifes kebudayaan.
1.2.3        Untuk mengetahui tokoh-tokoh yang terlibat dalam manifes kebudayaan.
1.2.4        Untuk mengetahui sejarah manifes kebudayaan.
1.2.5        Untuk mengetahui pengaruh manifes kebudayaan bagi sastra Indonesia.
1.3  RumusanMasalah
1.3.1        Apa yang di maksud Manifes Kebudayaan?
1.3.2        Siapa tokoh-tokoh yang terlibat dalam Manifes Kebudayaan?
1.3.3        Bagaimana sejarah manifes kebudayaan di Indonesia?
1.3.4        Bagaiman pengaruh manifes kebudayaan terhadap sastra Indonesia?


1.4  ManfaatPenulisan
1.4.1        Bagi penulis dapat menambah pengetahuan tentang peristiwa penting dalam perkembangan sejarah sastra Indonesia.
1.4.2        Bagi pembaca memberikan wawasan tentang peristiwa manifes kebudayaan dalam perkembangan sejarah sastra Indonesia.










                                                       

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Manifes Kebudayaan
Definisi Manifes Kebudayaan ialah sebuah istilah yang dikemukakan pada masa orde lama yang merupakan singkatan dari Manifesto Kebudayaan. Manifes Kebudayaan adalah konsep kebudayaan yang mengusung humanisme universal. Selain itu, Manifes Kebudayaan adalah konsep kebudayaan nasional yang digagas oleh penyair dan pengarang pada tanggal 17 Agustus 1963.
2.2 Tokoh-tokoh Manifes Kebudayaan.
1.)    H.B Jassinn
2.)     Trisno Sumardjo,
3.)    Wiratmo Soekito,
4.)     Zaini, 
5.)    Bokor Hutasuhut,
6.)    Goenawan Mohamad, 
7.)    A. Bastari Asnin, 
8.)    Bur Rasuanto, 
9.)    Soe HokDjin, 
10.)    D.S Moeljanto, 
11.)    Ras Siregar, 
12.)    HartojoAndangdjaja, 
13.)    Sjahwil,
14.)     Djufri Tanissan, 
15.)    Binsar Sitompul, 
16.)    Gerson Poyk,
17.)    Taufiq A.G. Ismail, 
18.)    M. Saribi, 
19.)    PoernawanTjondronegoro, 
20.)    EkanaSiswojo, 
21.)    Nashar dan
22.)    Boen S. Oemarjati ( Teeuw, 1980:258 ).


2.3  Sejarah Manifes Kebudayaan
Manifesto Kebudayaan atau dikenal dengan Manikebu adalah konsep kebudayaan nasional yang digagas oleh penyair dan pengarang pada tanggal 17 Agustus 1963. Manifestasi ini lahir untuk mengimbangi dan meredam dominasi serta tekanan dari golongan kiri yang beraliran realisme sosial. Aliran yang diperaktekkan oleh seniman yang terhimpun dalam Lembaga kebudayaan Rakyat (Lekra).
Penggagas manifestasi ini adalah Wiratmo Soekito. serta ikut juga dalam kegiataan ini Taufik Ismail, Arif Budiman dan Goenawan Muhammad.
Diilhami oleh semangat humanisme universal yang pertama kali dinyatakan lewat Surat Kepercayaan Gelanggang, Manifesto ini menyerukan, antara lain, pentingnya keterlibatan setiap sektor dalam perjuangan kebudayaan di Indonesia. Manifesto itu sendiri tidak menjabarkan dengan terinci langkah-langkah apa yang perlu diambil untuk memperjuangkan "martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa". Sehingga bisa dikatakan butir-butir yang disampaikan sebenarnya sama sekali tidak berlawanan dengan semangat yang hidup pada zaman itu: keinginan "menyempurnakan kondisi hidup manusia".
Mungkin satu-satunya prinsip yang membedakan adalah penolakan mereka terhadap hubungan antara kebudayaan dan kekuasaan - posisi Sutan Takdir Alisjahbana dalam "Polemik Kebudayaan pada tahun 1930-an. Dengan demikian, posisi Lekra yang mendahulukan pemajuan kebudayaan rakyat demi pembebasan kaum tertindas: buruh dan tani, dilihat sebagai upaya politisasi gerak kebudayaan. Ini dianggap mengancam supremasi prinsip-prinsip Estetika dan menjerumuskan karya seni pada alat Propoganda Politik yang sarat dengan slogan-slogan verbal belaka.

2.4 Naskah Manifes Kebudayaan
Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaa lain. Setiap sector berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.
Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963

2.5 Pengaruh Manifes Kebudayaan terhadap Sastra Indonesia
Setelah pelarangan terhadap Manifes Kebudayaan diumumkan oleh Presiden Soekarnosecara resmi, serangan terhadap pendukung Manifes Kebudayaan tidak lantas berhenti. Serangan terhadap Manifes Kebudayaan terus-menerus dilancarkan walaupun para pendukung Manifes Kebudayaan telah menyatakan tunduk dan patuh terhadap Presiden Soekarno. Berbagai artikel yang berisi ajakan untuk menghancurkan Manifes Kebudayaan serta meritul para penandatangannya mewarnai media massa di Indonesia,khususnya media massa yang dikuasai Lekra dan kawan kawannya. Pelarangan Manifes Kebudayaan tersebut tampaknya menjadi sebuah amunisi baru bagi Lekra untuk menghancurkan para penanda tangan dan pendukung Manifes Kebudayaan.Berita mengenai Manifes Kebudayaan mewarnai berbagai media massa, seperti di Bintang Timur, Harian Rakyat, Warta Bhakti, dan Suluh Indonesia.Lekra dan para pendukungnya tampaknya semakin gencar memuat artikel-artikel yang berisi ”pengganyangan” terhadap para manifestan.
Tampaknya, propaganda yang dilakukan Lekra dan kawan-kawannya lewat media massa tersebut berhasil. Masyarakat dan berbagai organisasipun akhirnya terprovokasi untuk ikut melakukan serangan terhadap Manifes Kebudayaan. Mereka menyerang para penanda tangan Manifes Kebudayaan dan organisasi yang mendukungnya. Penyerangannya tidak hanya melalui harian maupun majalah, tetapi juga melalui spanduk dan poster-poster besar yang diletakkan di pinggiran jalan maupundiletakkan ketika ada sebuah acara.

Pelarangan Manifes Kebudayaan ditambah dengan penciptaan suasana yang memojokkan Manifes Kebudayaan yang dilakukan Lekra dan kawan-kawannya tentunya berpengaruh terhadap nasib pribadi para manifestan. Cap manikebuis yang dilekatkan Lekra dan kaum-kaumnya kepada mereka membuat seolah mereka merupakan penjahat revolusi. Oleh karena itu, para manifestan dianggap membahayakan dan harus dihancurkan.Sebagai pihak yang dianggap membahayakan revolusi, beberapa penanda tangan naskah Manifes Kebudayaan pun digeser dari pekerjaannya. H. B. Jassin akhirnya harus mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Hal ini dilakukannya karena ia tidak ingin menempatkan pimpinan Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan pimpinan Lembaga Bahasa dan Kebudayaan dalam kesulitan akibat keberadaan dirinya.Boen S. Oemarjati yang juga menjadi pengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia pun ikut mengundurkan diri dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia.Beberapa dosen yang dianggap manikebuis antara lain Akhadiati Ikram, Nugroho Notosusanto, J. U. Nasution, M. Saleh Saad, B. Suhardi, Djoko Kentjono, Lukman Ali, Harimurti Kridalaksana, dan Muhadjir.Cukup banyaknya dosen yang dianggap manikebuis ini membuat Fakultas Sastra Universitas Indonesia mendapat predikat sebagai sarang kaum Manifes Kebudayaan.
 Lekra dan parapendukungnya juga melakukan tekanan kepada para penerbit dan toko-toko buku agar tidak bersedia menerbitkan dan mengedarkan buku-buku para sastrawan pendukung Manifes Kebudayaan. Pelarangan Manifes Kebudayaan tersebut juga membuat beberapa media massa yang dipakai sebagai sarana para manifestan ”bersuara” ditutup. Salah satu media massa yang ditutup adalah majalah Sastrayang dipimpin oleh H. B. Jassin. Pelarangan Manifes Kebudayaan tersebut membuat para manifestan tidak lagi dapat mempublikasikan tulisannya. Berbagai media massa tampaknya merasa takut untuk memuat tulisan para manifestan. Begitu sulitnya manifestan untuk memuat karya-karyanya di media massa sehingga mereka menggunakan nama samaran ketika mengirimkan karya-karyanya. Taufiq Ismail, misalnya, yang menggunakan nama Nur Fajar sebagai nama samarannya. Bahkan Goenawan Mohamad harus meminjam nama seorang wartawan yang bernama Ed Zoelverdi agar tulisannya dapat dimuat.
Pelarangan Manifes Kebudayaan tersebut tentunya juga berpengaruh terhadap kehidupan kesusastraan Indonesia. Pelarangan tersebut membuat Lekra dan kawan-kawannnya semakin berkuasa di bidang kesusastraan. Situasi ini membuat sebuah iklim kesusastraan yang kerontang. Kiblat sastra seakan hanya tertuju pada Lekra. Pada masa itu, karya-karya sastra diwarnai oleh karya-karya sastra yang bertemakan rakyat. Rakyat yang dimaksud dalam hal ini adalah buruh dan petani yang menjadi soko guru revolusi bagi PKI/Lekra. Keindahan dalam mencipta suatu karya sastra pun tidak lagi dipentingkan. Karya sastra yang muncul pada masa itu lebih mementingkan isi daripada keindahan. Karya-karya sastra yang membicarakan Tuhan, alam maupun cinta akan begitu sulit ditemukan pada masa itu.
Memang sejak awal tahun 1960-an, dominasi sastrawan Lekra dalam bidang kesusastraan telah terlihat. Pada masa itu, tekanan Lekra terhadap sastrawan begitu kuat. Karya sastra berkiblat ke sastra Lekra, yaitu seni yang berpihak pada rakyat. Penilaian karya sastra dilihat dari isinya,apakah karya tersebut membela kepentingan rakyat, yaitu kepentingan petani dan buruh. Oleh karena itu, pada masa itu muncul karya-karya sastra yang bertemakan rakyat.Goenawan Mohamad memberi kesaksian atas hal tersebut. Ia mengungkapkan bahwa ada kecenderungan para penulis untuk membuat karya-karya yang berkaitan dengan tanah air dan rakyat karena pengaruh iklim kesusastraan Indonesia saat itu.Goenawan Mohamad juga mengakui bahwa ia juga menulis sajak yang bertemakan rakyat.
Tidak hanya Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail pun pada saat itu pernah menulis puisi yang berpihak pada rakyat. Puisi tersebut berjudul “Syair Orang Lapar” yang ditulis tahun 1964. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut
Lapar menyerang desaku
Kentang dipanggang kemarau
Surat orang kampungku
Kuguratkan kertas
Risau
Lapar lautan pidato
Ranah dipanggang kemarau
Ketika berduyung mengemis
Kesinikan hatimu
Kuiris
Lapar di Gunung Kidul
Mayat dipanggang kemarau
Berjajar masuk kubur
Kaulang jua
Kalau
Pada puisi yang berjudul “Sajak Orang Lapar” tersebut dapat terlihat bahwa Taufiq Ismail juga menciptakan puisi yang bertemakan rakyat kecil.Puisi di atas memperlihatkan bahwa Taufiq Ismail sebagai seorang manifestan juga menulis puisi bertemakan rakyat. Begitu juga yang terjadi pada penyair Hartojo Andangdjaja. Ia juga menuliskan puisi bertemakan kerakyatan. Puisi tersebut berjudul “Rakyat” yangditulis tahun 1961.
Rakyat ialah kita
Jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
Di bumi tanah tercinta
Jutaan tangan mengayun bersama
Membuka hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
Mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
Menaikkan layar menebarjala
Meraba kelam ditambang dan batu bara
Rakyat ialah tangan yang bekerja
Dari kutipan puisi Hartojo Andangdjaja di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa ia menulis puisi yang berpihak pada rakyat. Rakyat yang dibelanya adalah petani dan buruh, yang dianggap Lekra sebagai soko guru. Hal ini memperlihatkan adanya pengaruh yang besar dari kehidupan kesusatraan yang sengaja diciptakan Lekra. Walaupun berbicara tentang rakyat, tetapi terlihat adanya perbedaan antara cara penulisan Hartojo Andangdjaja dengan penulis Lekra. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan karya Hartojo tersebut dengan penulis Lekra, Sobron Aidit. Sobron Aidit juga mengangkat tema rakyat dalam puisinya yang berjudul ”Kami Rakjat” (1959).Puisi Sobron Aidit membicarakan rakyat. Namun, ada nada keberpihakan penulis terhadap pihak tertentu, yang dalam hal ini adalah PKI. Hal ini membuktikan bahwa puisi tersebut digunakan sebagai alat propaganda politik. Hal ini jelas berbeda dengan karya Hartojo Andangdjaja yang dalam menulis puisinya tentang rakyat tidak mempunyai pretensi apa-apa.
Pada masa pascapelarangan Manifes kebudayaan, kehidupan kesusastraan Indonesia juga sempat dihebohkan dengan peristiwa penolakan hadiah oleh beberapa pengarang terhadap hadiah Yayasan Yamin. Peristiwa tersebut terjadi pada 23 Desember 1964. Pada waktu itu, Yayasan Yamin yang diketuai oleh Ketua MPRS-WPM III Menteri Pembangunan, Chairul Saleh, mengumumkan pemenang hadiah sastra Yamin. Yayasan Yasmin memberikan hadiah terhadap karya-karya sastra terbaik. Pemenang pertama adalah Toha Mohtar dengan novelnya Daerah Tak Bertuan. Pramoedya Ananta Toer dengan novelnya Sekali Peristiwa di Banten Selatanmenerima hadiah kedua. Novel Trisnojuwono berjudul Pagar Kawat Berdurimendapat juara ketiga. Sementara itu, Bur Rasuanto dengan kumpulan cerpennya Mereka akan Bangkitmendapat hadiah keempat. Namun, hadiah Sastra Yasmin ini akhirnya menimbulkan kehebohan karena beberapa pengarang menolaknya, termasuk Pramoedya Ananta Toer yang alasan penolakannya telah dikemukakan melalui harian Bintang Timurdan Antara. Ia menolak hadiah tersebut karena Bur Rasuanto, yang merupakan penanda tangan Manifes Kebudayaan mendapat juara keempat. Sementara itu, Toha Mohtar yang novelnya Daerah Tak Bertuantelah dipilih untuk mendapat hadiah pertama mengirim surat kepada Yayasan Yamin untuk minta penjelasan dasar politik penilaian karya-karya tersebut sehingga tidak terdapat garis pemisah yang jelas antara pengarang-pengarang manikebuis dan pengarang manipolis.Jika melihat cerpen-cerpen Bur Rasuanto dalam kumpulannya Mereka akan Bangkit, tema yang diambil juga seputar masalah kehidupanrakyat, seperti kehidupan buruh. Kumpulan cerpen Bur Rasuanto tersebut memang tampaknya layak untuk diberikan penghargaan. Pernyataan penolakan yang dikemukakan oleh Pramoedya Ananta Toer dengan alasan karena Bur Rasuanto adalah penanda tangan Manifes Kebudayaan tentunya kurang bertanggung jawab. Kehidupan kesusastraan Indonesia tampaknya menjadi kurang sehat karena dasar penilaian suatu karya sastra bukan dilihat dari bobot karya sastra itu sendiri, melainkan dari pengarangnya. Hal ini jelas menjadi subjektif dan berdampak tidak baik terhadapkesusastraan Indonesia. Manifes Kebudayaan sebagai sebuah perjuangan yang menuntut
kebebasan berkreasi dalam kesenian dan kesusastraan memang mempunyai pengaruh cukup besar terhadap kehidupan kesusastraan Indonesia. Pernyataan manifes kebudayaan mereka sebagai reaksi atas sikap Lekra melahirkan suatu perdebatan ideologi di dunia kesusatraan. Perdebatan ini memang melahirkan dua kubu dalam sastra Indonesia. Perdebatan antara dua kubu yang berbeda ideologi ini memang bukan hal pertama dalam kesusastraan Indonesia. Namun, tampaknya masalah tersebutlah yang berulang kali kembali disinggung ketika terjadi perdebatan dalam kehidupan kesusastraan Indonesia.Salah satunya dapat dilihat ketika terjadi perdebatan sastra kontekstual di dalam kesusastraan Indonesia. Perdebatan sastra kontekstual ini terjadi pada tahun 1984 yang dipopulerkan oleh Ariel Heryanto. Sebenarnya konsep sastra kontekstual pertama kali dikenalkan oleh Arief Budiman. Pembicaraan mengenai sastra kontekstual ini membawa Manifes Kebudayan kembali untuk disinggung karena sastra kontekstual dianggap sebagai sebuah perlawanan terhadap sastra universil yang dianut oleh Manifes Kebudayaan.
Pembicaraan mengenai masalah Manifes Kebudayaan ini juga kembali muncul ketika Dewan Kesenian Jakarta mengadakan seminar 25 tahun Manifes Kebudayaan pada 15 dan 16 Oktober 1988 di Taman Ismail Marzuki. Seminar tersebut membicarakan peristiwa-peristiwa politik di sekitar kelahiran Manifes Kebudayaan serta gagasan tentang perlunya gerakan budaya untuk mentransformasikan pernyataan Manifes Kebudayaan. Pada tahun 1995, masalah Manifes Kebudayaan pun kembali diangkat berkaitan dengan munculnya buku Prahara Budaya. Taufiq Ismail dan Moeljanto merupakan editor buku tersebut. Buku ini menampilkan artikel-artikel yang berhubungan dengan Manifes Kebudayaan dan penyerangan yang dilakukan oleh Lekra.
Tahun 2007, masalah Manifes Kebudayaan kembali ramai. Perbincangan mengenai perdebatan antara Manifes Kebudayaan dan Lekra terjadi kembali. Namun perbincangan mengenai Manifes Kebudayaan tersebut terjadi di dunia maya. Perbincangan tersebut melibatkan sastrawan besar, yaitu Goenawan Mohamad dan Saut Sitomorang. Perdebatan yang paling mutakhir mengenai masalah Manifes Kebudayaan yaitu berlangsung di Teater Utan Kayu pada 18 Februari 2009. Teater Utan Kayu 17“Seminar 25 Tahun Manifes Kebudayaan: Menolak Kebudayaan Berada di Bawah Subordinasi Politik”, dalam Kompas, 17 Oktober 1988, hlm. 15. Manifes kebudayaan mengadakan sebuah dialog Manifes Kebudayaan dan Lekra. Taufiq Ismail dan J. J.Kusni menjadi pembicara dalam dialog tersebut. Sementara itu, Ikranegara menjadi moderator. Dalam dialog yang dihadiri beberapa manifestan dan anggota Lekra tersebut, Taufiq Ismail menginginkan adanya sebuah perdamaian total dan rekonsiliasi kembali masalah tersebut. Namun tampaknya dialog tersebut tidak menemui akhir kesepakatan untuk melaksanakan perdamaian total. Bahkan dialog tersebut pada akhirnya menambah jarak di antara keduanya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa keduanya masih tidak dapat berdamai dengan masa lalunya. Padahal seharusnya masalah tersebut dapat dilihat dengan cara menjadikan peristiwa tersebut sebagaisebuah pelajaran agar tidak terjadi di kemudian hari.







BAB III
PENUTUP

3.1 SIMPULAN
Sastra merupakan teks yang mengandung intruksi, pedoman dan ajaran. Sastra Indonesia ialah sastra berbahasa Indonesia. Sastra Indonesia pada hakikatnya merupakan keseluruhan sastra yang berkembang di Indonesia yang berkembang selama ini, sedangkan hasilnya berupa sekian banyak puisi, cerita pendek, novel, roman dan naskah drama berbahasa Indonesia. (Yudiono K.S., 2010:110)
Manifesto Kebudayaan atau dikenal dengan Manikebu adalah konsep kebudayaan nasional yang digagas oleh penyair dan pengarang pada tanggal 17 Agustus 1963. Manifestasi ini lahir untuk mengimbangi dan meredam dominasi serta tekanan dari golongan kiri yang beraliran realisme sosial. Aliran yang diperaktekkan oleh seniman yang terhimpun dalam Lembaga kebudayaan Rakyat (Lekra).
Setelah pelarangan terhadap Manifes Kebudayaan diumumkan oleh Presiden Soekarnosecara resmi, serangan terhadap pendukung Manifes Kebudayaan tidak lantas berhenti. Serangan terhadap Manifes Kebudayaan terus-menerus dilancarkan walaupun para pendukung Manifes Kebudayaan telah menyatakan tunduk dan patuh terhadap Presiden Soekarno.
Pelarangan Manifes Kebudayaan ditambah dengan penciptaan suasana yang memojokkan Manifes Kebudayaan yang dilakukan Lekra dan kawan-kawannya tentunya berpengaruh terhadap nasib pribadi para manifestan. Cap manikebuis yang dilekatkan Lekra dan kaum-kaumnya kepada mereka membuat seolah mereka merupakan penjahat revolusi. Oleh karena itu, para manifestan dianggap membahayakan dan harus dihancurkan.

3.2 SARAN
            Pembaca mampu membedakan antara manifes kebudayaan dengan lekra. Bahwa menifes kebudayaan bukanlah sebuah organisasi kebudayaan, melainkan sebuah konsep atau pemikran di bidang kebudayaan seperti Surat Kepercayaan Gelanggang. Kemunculannya tidak terkait dengan partai politik atau ideologi tertentu, tetapi merupakan reaksi terhadap teror budaya yang pada waktu itu di lancarkan oleh orang-orang Lekra.
DAFTAR PUSTAKA
K.S Yudiono.2010.Pengantar Sejarah Sastra Indonesia.Jakarta: PT Grasindo



No comments:

Post a Comment