PENGARUH
MANIFES KEBUDAYAAN TERHADAP SASTRA INDONESIA
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Sastra
Dosen
Pengampu : Dzikrina Dian Cahyani, M.A.
Disusun
oleh :
Nuniek Febriana (1610301007)
Wiwit Risqiani (1610301035)
Retno Asih (1610301037)
Dian Tyas Utami (1610301041)
Anisah (1610301047)
Sri Ustadah (1610301058)
Dwi Astuti Asih (1610301071)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
TIDAR
2017
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan
harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena
keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Magelang, 1 Mei 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
Judul...........................................................................................................i
Kata
Pengantar.........................................................................................................ii
Daftar
Isi.................................................................................................................iii
BAB
1 PENDAHULUAN
1.1 Tujuan
Penulisan................................................................................................1
1.2 Rumusan
Masalah..............................................................................................2
1.3 Manfaat
Penulisan..............................................................................................2
BAB
II PEMBAHASAN
2.1
Definisi Manifes Kebudayaan............................................................................3
2.2
Tokoh-tokoh Manifes Kebudayaan....................................................................3
2.3
Sejarah Manifes Kebudayaan.............................................................................4
2.4
Naskah Manifes Kebudayaan.........................................................................4-5
2.5
Pengaruh Manifes Kebudayaan terhadap Sastra Indonesia..........................5-11
BAB
III PENUTUP
3.1
Simpulan................................................................................................................12
3.2
Saran.................................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LatarBelakang
Sastra
merupakan teks yang mengandung intruksi, pedoman dan ajaran. Sastra Indonesia
ialah sastra berbahasa Indonesia. Sastra Indonesia pada hakikatnya merupakan
keseluruhan sastra yang berkembang di Indonesia yang berkembang selama ini,
sedangkan hasilnya berupa sekian banyak puisi, cerita pendek, novel, roman dan
naskah drama berbahasa Indonesia. (Yudiono K.S., 2010:110)
Sejarah
sastra Indonesia telah berlangsung relatif panjang dengan perkembangan yang
terbilang pesat dan dinamik sehingga dapat ditulis secara panjang lebar.
(Yudiono K.S.,2010:40)Banyak peristiwa penting muncul dalam perkembangan
sejarah sastra Indonesia yang menentukan dan berpengaruh bagi kesusastraan
berikutnya, di antaranya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Manifes Kebudayaan,
Sastra Akademik, Plagiarisme, Praha Sastra, Sastra Era Kemapanan, dan Sastra
Era Soeharto.
Pada
makalah ini penulis hanya akan menjelaskan peristiwa sastra Indonesia tentang
Manifes Kebudayaan. Manifes kebudayaan ini merupakan bentuk respon dari
teror-teror dalam ranah budaya yang dilancarkan oleh orang-orang yang tergabung
dalamLekra (LembagaKebudayaan Rakyat).
1.2
TujuanPenulisan
1.2.1
Untuk memenuhi tugas mata
kuliah sejarah sastra.
1.2.2
Untuk mengetahui definisi
manifes kebudayaan.
1.2.3
Untuk mengetahui
tokoh-tokoh yang terlibat dalam manifes kebudayaan.
1.2.4
Untuk mengetahui sejarah
manifes kebudayaan.
1.2.5
Untuk mengetahui pengaruh
manifes kebudayaan bagi sastra Indonesia.
1.3
RumusanMasalah
1.3.1
Apa yang di maksud
Manifes Kebudayaan?
1.3.2
Siapa tokoh-tokoh yang
terlibat dalam Manifes Kebudayaan?
1.3.3
Bagaimana sejarah manifes
kebudayaan di Indonesia?
1.3.4
Bagaiman pengaruh manifes
kebudayaan terhadap sastra Indonesia?
1.4
ManfaatPenulisan
1.4.1
Bagi penulis dapat
menambah pengetahuan tentang peristiwa penting dalam perkembangan sejarah
sastra Indonesia.
1.4.2
Bagi pembaca memberikan
wawasan tentang peristiwa manifes kebudayaan dalam perkembangan sejarah sastra
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Manifes
Kebudayaan
Definisi
Manifes Kebudayaan ialah sebuah istilah yang dikemukakan pada masa orde lama yang
merupakan singkatan dari Manifesto Kebudayaan. Manifes Kebudayaan adalah konsep
kebudayaan yang mengusung humanisme universal. Selain itu, Manifes Kebudayaan
adalah konsep kebudayaan nasional yang digagas oleh penyair dan pengarang pada
tanggal 17 Agustus 1963.
2.2 Tokoh-tokoh Manifes
Kebudayaan.
2.3 Sejarah Manifes Kebudayaan
Manifesto
Kebudayaan atau dikenal dengan Manikebu adalah konsep kebudayaan nasional yang
digagas oleh penyair dan pengarang pada tanggal 17 Agustus 1963. Manifestasi
ini lahir untuk mengimbangi dan meredam dominasi serta tekanan dari golongan
kiri yang beraliran realisme sosial. Aliran yang diperaktekkan oleh seniman
yang terhimpun dalam Lembaga kebudayaan Rakyat (Lekra).
Penggagas
manifestasi ini adalah Wiratmo Soekito. serta ikut juga dalam kegiataan ini
Taufik Ismail, Arif Budiman dan Goenawan Muhammad.
Diilhami
oleh semangat humanisme universal yang pertama kali dinyatakan lewat Surat
Kepercayaan Gelanggang, Manifesto ini menyerukan, antara lain, pentingnya
keterlibatan setiap sektor dalam perjuangan kebudayaan di Indonesia. Manifesto
itu sendiri tidak menjabarkan dengan terinci langkah-langkah apa yang perlu
diambil untuk memperjuangkan "martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia
di tengah masyarakat bangsa-bangsa". Sehingga bisa dikatakan butir-butir
yang disampaikan sebenarnya sama sekali tidak berlawanan dengan semangat yang
hidup pada zaman itu: keinginan "menyempurnakan kondisi hidup
manusia".
Mungkin
satu-satunya prinsip yang membedakan adalah penolakan mereka terhadap hubungan
antara kebudayaan dan kekuasaan - posisi Sutan Takdir Alisjahbana dalam
"Polemik Kebudayaan pada tahun 1930-an. Dengan demikian, posisi Lekra yang
mendahulukan pemajuan kebudayaan rakyat demi pembebasan kaum tertindas: buruh
dan tani, dilihat sebagai upaya politisasi gerak kebudayaan. Ini dianggap
mengancam supremasi prinsip-prinsip Estetika dan menjerumuskan karya seni pada
alat Propoganda Politik yang sarat dengan slogan-slogan verbal belaka.
2.4 Naskah Manifes
Kebudayaan
” Kami para seniman dan cendekiawan
Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan
pendirian, cita-cita dan politik Kebudayaan Nasional kami.
Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk
menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor
kebudayaan di atas sektor kebudayaa lain. Setiap sector berjuang bersama-sama
untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
Dalam melaksanakan Kebudayaan Nasional, kami berusaha
menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk
mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di
tengah masyarakat bangsa-bangsa.
Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Jakarta, 17 Agustus 1963
2.5 Pengaruh
Manifes Kebudayaan terhadap Sastra Indonesia
Setelah pelarangan terhadap Manifes
Kebudayaan diumumkan oleh Presiden Soekarnosecara resmi, serangan terhadap
pendukung Manifes Kebudayaan tidak lantas berhenti. Serangan terhadap Manifes
Kebudayaan terus-menerus dilancarkan walaupun para pendukung Manifes Kebudayaan
telah menyatakan tunduk dan patuh terhadap Presiden Soekarno. Berbagai artikel
yang berisi ajakan untuk menghancurkan Manifes Kebudayaan serta meritul para
penandatangannya mewarnai media massa di Indonesia,khususnya media massa yang
dikuasai Lekra dan kawan kawannya. Pelarangan Manifes Kebudayaan tersebut
tampaknya menjadi sebuah amunisi baru bagi Lekra untuk menghancurkan para
penanda tangan dan pendukung Manifes Kebudayaan.Berita mengenai Manifes
Kebudayaan mewarnai berbagai media massa, seperti di Bintang Timur, Harian
Rakyat, Warta Bhakti, dan Suluh Indonesia.Lekra dan para pendukungnya tampaknya
semakin gencar memuat artikel-artikel yang berisi ”pengganyangan” terhadap para
manifestan.
Tampaknya, propaganda yang dilakukan
Lekra dan kawan-kawannya lewat media massa tersebut berhasil. Masyarakat dan
berbagai organisasipun akhirnya terprovokasi untuk ikut melakukan serangan
terhadap Manifes Kebudayaan. Mereka menyerang para penanda tangan Manifes
Kebudayaan dan organisasi yang mendukungnya. Penyerangannya tidak hanya melalui
harian maupun majalah, tetapi juga melalui spanduk dan poster-poster besar yang
diletakkan di pinggiran jalan maupundiletakkan ketika ada sebuah acara.
Pelarangan Manifes Kebudayaan
ditambah dengan penciptaan suasana yang memojokkan Manifes Kebudayaan yang
dilakukan Lekra dan kawan-kawannya tentunya berpengaruh terhadap nasib pribadi
para manifestan. Cap manikebuis yang dilekatkan Lekra dan kaum-kaumnya kepada
mereka membuat seolah mereka merupakan penjahat revolusi. Oleh karena itu, para
manifestan dianggap membahayakan dan harus dihancurkan.Sebagai pihak yang
dianggap membahayakan revolusi, beberapa penanda tangan naskah Manifes
Kebudayaan pun digeser dari pekerjaannya. H. B. Jassin akhirnya harus
mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai dosen di Fakultas Sastra
Universitas Indonesia. Hal ini dilakukannya karena ia tidak ingin menempatkan
pimpinan Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan pimpinan Lembaga Bahasa dan
Kebudayaan dalam kesulitan akibat keberadaan dirinya.Boen S. Oemarjati yang
juga menjadi pengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia pun ikut
mengundurkan diri dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia.Beberapa dosen
yang dianggap manikebuis antara lain Akhadiati Ikram, Nugroho Notosusanto, J.
U. Nasution, M. Saleh Saad, B. Suhardi, Djoko Kentjono, Lukman Ali, Harimurti
Kridalaksana, dan Muhadjir.Cukup banyaknya dosen yang dianggap manikebuis ini
membuat Fakultas Sastra Universitas Indonesia mendapat predikat sebagai sarang
kaum Manifes Kebudayaan.
Lekra dan parapendukungnya juga melakukan
tekanan kepada para penerbit dan toko-toko buku agar tidak bersedia menerbitkan
dan mengedarkan buku-buku para sastrawan pendukung Manifes Kebudayaan.
Pelarangan Manifes Kebudayaan tersebut juga membuat beberapa media massa yang
dipakai sebagai sarana para manifestan ”bersuara” ditutup. Salah satu media
massa yang ditutup adalah majalah Sastrayang dipimpin oleh H. B. Jassin.
Pelarangan Manifes Kebudayaan tersebut membuat para manifestan tidak lagi dapat
mempublikasikan tulisannya. Berbagai media massa tampaknya merasa takut untuk
memuat tulisan para manifestan. Begitu sulitnya manifestan untuk memuat
karya-karyanya di media massa sehingga mereka menggunakan nama samaran ketika
mengirimkan karya-karyanya. Taufiq Ismail, misalnya, yang menggunakan nama Nur
Fajar sebagai nama samarannya. Bahkan Goenawan Mohamad harus meminjam nama
seorang wartawan yang bernama Ed Zoelverdi agar tulisannya dapat dimuat.
Pelarangan Manifes Kebudayaan
tersebut tentunya juga berpengaruh terhadap kehidupan kesusastraan Indonesia.
Pelarangan tersebut membuat Lekra dan kawan-kawannnya semakin berkuasa di
bidang kesusastraan. Situasi ini membuat sebuah iklim kesusastraan yang
kerontang. Kiblat sastra seakan hanya tertuju pada Lekra. Pada masa itu, karya-karya
sastra diwarnai oleh karya-karya sastra yang bertemakan rakyat. Rakyat yang
dimaksud dalam hal ini adalah buruh dan petani yang menjadi soko guru revolusi
bagi PKI/Lekra. Keindahan dalam mencipta suatu karya sastra pun tidak lagi
dipentingkan. Karya sastra yang muncul pada masa itu lebih mementingkan isi
daripada keindahan. Karya-karya sastra yang membicarakan Tuhan, alam maupun
cinta akan begitu sulit ditemukan pada masa itu.
Memang sejak awal tahun 1960-an,
dominasi sastrawan Lekra dalam bidang kesusastraan telah terlihat. Pada masa
itu, tekanan Lekra terhadap sastrawan begitu kuat. Karya sastra berkiblat ke
sastra Lekra, yaitu seni yang berpihak pada rakyat. Penilaian karya sastra
dilihat dari isinya,apakah karya tersebut membela kepentingan rakyat, yaitu
kepentingan petani dan buruh. Oleh karena itu, pada masa itu muncul karya-karya
sastra yang bertemakan rakyat.Goenawan Mohamad memberi kesaksian atas hal
tersebut. Ia mengungkapkan bahwa ada kecenderungan para penulis untuk membuat
karya-karya yang berkaitan dengan tanah air dan rakyat karena pengaruh iklim
kesusastraan Indonesia saat itu.Goenawan Mohamad juga mengakui bahwa ia juga
menulis sajak yang bertemakan rakyat.
Tidak hanya Goenawan Mohamad, Taufiq
Ismail pun pada saat itu pernah menulis puisi yang berpihak pada rakyat. Puisi
tersebut berjudul “Syair Orang Lapar” yang ditulis tahun 1964. Hal ini dapat
dilihat dari kutipan berikut
Lapar menyerang desaku
Kentang dipanggang kemarau
Surat orang kampungku
Kuguratkan kertas
Risau
Lapar lautan pidato
Ranah dipanggang kemarau
Ketika berduyung mengemis
Kesinikan hatimu
Kuiris
Lapar di Gunung Kidul
Mayat dipanggang kemarau
Berjajar masuk kubur
Kaulang jua
Kalau
Pada puisi yang berjudul “Sajak
Orang Lapar” tersebut dapat terlihat bahwa Taufiq Ismail juga menciptakan puisi
yang bertemakan rakyat kecil.Puisi di atas memperlihatkan bahwa Taufiq Ismail
sebagai seorang manifestan juga menulis puisi bertemakan rakyat. Begitu juga
yang terjadi pada penyair Hartojo Andangdjaja. Ia juga menuliskan puisi bertemakan
kerakyatan. Puisi tersebut berjudul “Rakyat” yangditulis tahun 1961.
Rakyat ialah kita
Jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
Di bumi tanah tercinta
Jutaan tangan mengayun bersama
Membuka hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
Mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
Menaikkan layar menebarjala
Meraba kelam ditambang dan batu bara
Rakyat ialah tangan yang bekerja
Dari kutipan puisi Hartojo
Andangdjaja di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa ia menulis puisi yang
berpihak pada rakyat. Rakyat yang dibelanya adalah petani dan buruh, yang
dianggap Lekra sebagai soko guru. Hal ini memperlihatkan adanya pengaruh yang besar
dari kehidupan kesusatraan yang sengaja diciptakan Lekra. Walaupun berbicara
tentang rakyat, tetapi terlihat adanya perbedaan antara cara penulisan Hartojo
Andangdjaja dengan penulis Lekra. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan
karya Hartojo tersebut dengan penulis Lekra, Sobron Aidit. Sobron Aidit juga
mengangkat tema rakyat dalam puisinya yang berjudul ”Kami Rakjat” (1959).Puisi
Sobron Aidit membicarakan rakyat. Namun, ada nada keberpihakan penulis terhadap
pihak tertentu, yang dalam hal ini adalah PKI. Hal ini membuktikan bahwa puisi
tersebut digunakan sebagai alat propaganda politik. Hal ini jelas berbeda
dengan karya Hartojo Andangdjaja yang dalam menulis puisinya tentang rakyat
tidak mempunyai pretensi apa-apa.
Pada masa pascapelarangan Manifes
kebudayaan, kehidupan kesusastraan Indonesia juga sempat dihebohkan dengan
peristiwa penolakan hadiah oleh beberapa pengarang terhadap hadiah Yayasan
Yamin. Peristiwa tersebut terjadi pada 23 Desember 1964. Pada waktu itu,
Yayasan Yamin yang diketuai oleh Ketua MPRS-WPM III Menteri Pembangunan,
Chairul Saleh, mengumumkan pemenang hadiah sastra Yamin. Yayasan Yasmin
memberikan hadiah terhadap karya-karya sastra terbaik. Pemenang pertama adalah
Toha Mohtar dengan novelnya Daerah Tak Bertuan. Pramoedya Ananta Toer dengan
novelnya Sekali Peristiwa di Banten Selatanmenerima hadiah kedua. Novel
Trisnojuwono berjudul Pagar Kawat Berdurimendapat juara ketiga. Sementara itu,
Bur Rasuanto dengan kumpulan cerpennya Mereka akan Bangkitmendapat hadiah
keempat. Namun, hadiah Sastra Yasmin ini akhirnya menimbulkan kehebohan karena
beberapa pengarang menolaknya, termasuk Pramoedya Ananta Toer yang alasan
penolakannya telah dikemukakan melalui harian Bintang Timurdan Antara. Ia
menolak hadiah tersebut karena Bur Rasuanto, yang merupakan penanda tangan
Manifes Kebudayaan mendapat juara keempat. Sementara itu, Toha Mohtar yang
novelnya Daerah Tak Bertuantelah dipilih untuk mendapat hadiah pertama mengirim
surat kepada Yayasan Yamin untuk minta penjelasan dasar politik penilaian
karya-karya tersebut sehingga tidak terdapat garis pemisah yang jelas antara
pengarang-pengarang manikebuis dan pengarang manipolis.Jika melihat
cerpen-cerpen Bur Rasuanto dalam kumpulannya Mereka akan Bangkit, tema yang
diambil juga seputar masalah kehidupanrakyat, seperti kehidupan buruh. Kumpulan
cerpen Bur Rasuanto tersebut memang tampaknya layak untuk diberikan
penghargaan. Pernyataan penolakan yang dikemukakan oleh Pramoedya Ananta Toer
dengan alasan karena Bur Rasuanto adalah penanda tangan Manifes Kebudayaan
tentunya kurang bertanggung jawab. Kehidupan kesusastraan Indonesia tampaknya
menjadi kurang sehat karena dasar penilaian suatu karya sastra bukan dilihat
dari bobot karya sastra itu sendiri, melainkan dari pengarangnya. Hal ini jelas
menjadi subjektif dan berdampak tidak baik terhadapkesusastraan Indonesia.
Manifes Kebudayaan sebagai sebuah perjuangan yang menuntut
kebebasan berkreasi dalam kesenian dan kesusastraan
memang mempunyai pengaruh cukup besar terhadap kehidupan kesusastraan Indonesia.
Pernyataan manifes kebudayaan mereka sebagai reaksi atas sikap Lekra melahirkan
suatu perdebatan ideologi di dunia kesusatraan. Perdebatan ini memang
melahirkan dua kubu dalam sastra Indonesia. Perdebatan antara dua kubu yang
berbeda ideologi ini memang bukan hal pertama dalam kesusastraan Indonesia.
Namun, tampaknya masalah tersebutlah yang berulang kali kembali disinggung
ketika terjadi perdebatan dalam kehidupan kesusastraan Indonesia.Salah satunya
dapat dilihat ketika terjadi perdebatan sastra kontekstual di dalam
kesusastraan Indonesia. Perdebatan sastra kontekstual ini terjadi pada tahun
1984 yang dipopulerkan oleh Ariel Heryanto. Sebenarnya konsep sastra
kontekstual pertama kali dikenalkan oleh Arief Budiman. Pembicaraan mengenai
sastra kontekstual ini membawa Manifes Kebudayan kembali untuk disinggung
karena sastra kontekstual dianggap sebagai sebuah perlawanan terhadap sastra
universil yang dianut oleh Manifes Kebudayaan.
Pembicaraan mengenai masalah Manifes
Kebudayaan ini juga kembali muncul ketika Dewan Kesenian Jakarta mengadakan
seminar 25 tahun Manifes Kebudayaan pada 15 dan 16 Oktober 1988 di Taman Ismail
Marzuki. Seminar tersebut membicarakan peristiwa-peristiwa politik di sekitar
kelahiran Manifes Kebudayaan serta gagasan tentang perlunya gerakan budaya
untuk mentransformasikan pernyataan Manifes Kebudayaan. Pada tahun 1995,
masalah Manifes Kebudayaan pun kembali diangkat berkaitan dengan munculnya buku
Prahara Budaya. Taufiq Ismail dan Moeljanto merupakan editor buku tersebut.
Buku ini menampilkan artikel-artikel yang berhubungan dengan Manifes Kebudayaan
dan penyerangan yang dilakukan oleh Lekra.
Tahun 2007, masalah Manifes
Kebudayaan kembali ramai. Perbincangan mengenai perdebatan antara Manifes
Kebudayaan dan Lekra terjadi kembali. Namun perbincangan mengenai Manifes
Kebudayaan tersebut terjadi di dunia maya. Perbincangan tersebut melibatkan
sastrawan besar, yaitu Goenawan Mohamad dan Saut Sitomorang. Perdebatan yang
paling mutakhir mengenai masalah Manifes Kebudayaan yaitu berlangsung di Teater
Utan Kayu pada 18 Februari 2009. Teater Utan Kayu 17“Seminar 25 Tahun Manifes
Kebudayaan: Menolak Kebudayaan Berada di Bawah Subordinasi Politik”, dalam
Kompas, 17 Oktober 1988, hlm. 15. Manifes kebudayaan mengadakan sebuah dialog
Manifes Kebudayaan dan Lekra. Taufiq Ismail dan J. J.Kusni menjadi pembicara
dalam dialog tersebut. Sementara itu, Ikranegara menjadi moderator. Dalam
dialog yang dihadiri beberapa manifestan dan anggota Lekra tersebut, Taufiq
Ismail menginginkan adanya sebuah perdamaian total dan rekonsiliasi kembali
masalah tersebut. Namun tampaknya dialog tersebut tidak menemui akhir
kesepakatan untuk melaksanakan perdamaian total. Bahkan dialog tersebut pada akhirnya
menambah jarak di antara keduanya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa keduanya
masih tidak dapat berdamai dengan masa lalunya. Padahal seharusnya masalah
tersebut dapat dilihat dengan cara menjadikan peristiwa tersebut sebagaisebuah
pelajaran agar tidak terjadi di kemudian hari.
BAB
III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Sastra
merupakan teks yang mengandung intruksi, pedoman dan ajaran. Sastra Indonesia
ialah sastra berbahasa Indonesia. Sastra Indonesia pada hakikatnya merupakan keseluruhan
sastra yang berkembang di Indonesia yang berkembang selama ini, sedangkan hasilnya
berupa sekian banyak puisi, cerita pendek, novel, roman dan naskah drama
berbahasa Indonesia. (Yudiono K.S., 2010:110)
Manifesto
Kebudayaan atau dikenal dengan Manikebu adalah konsep kebudayaan nasional yang
digagas oleh penyair dan pengarang pada tanggal 17 Agustus 1963. Manifestasi
ini lahir untuk mengimbangi dan meredam dominasi serta tekanan dari golongan
kiri yang beraliran realisme sosial. Aliran yang diperaktekkan oleh seniman
yang terhimpun dalam Lembaga kebudayaan Rakyat (Lekra).
Setelah pelarangan terhadap Manifes Kebudayaan
diumumkan oleh Presiden Soekarnosecara resmi, serangan terhadap pendukung
Manifes Kebudayaan tidak lantas berhenti. Serangan terhadap Manifes Kebudayaan
terus-menerus dilancarkan walaupun para pendukung Manifes Kebudayaan telah
menyatakan tunduk dan patuh terhadap Presiden Soekarno.
Pelarangan Manifes Kebudayaan ditambah dengan
penciptaan suasana yang memojokkan Manifes Kebudayaan yang dilakukan Lekra dan
kawan-kawannya tentunya berpengaruh terhadap nasib pribadi para manifestan. Cap
manikebuis yang dilekatkan Lekra dan kaum-kaumnya kepada mereka membuat seolah
mereka merupakan penjahat revolusi. Oleh karena itu, para manifestan dianggap
membahayakan dan harus dihancurkan.
3.2 SARAN
Pembaca mampu membedakan antara
manifes kebudayaan dengan lekra. Bahwa menifes kebudayaan bukanlah sebuah
organisasi kebudayaan, melainkan sebuah konsep atau pemikran di bidang
kebudayaan seperti Surat Kepercayaan Gelanggang. Kemunculannya tidak terkait
dengan partai politik atau ideologi tertentu, tetapi merupakan reaksi terhadap
teror budaya yang pada waktu itu di lancarkan oleh orang-orang Lekra.
DAFTAR
PUSTAKA
K.S
Yudiono.2010.Pengantar Sejarah Sastra
Indonesia.Jakarta: PT Grasindo
No comments:
Post a Comment