BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita.
Semenjak masih balita, kita telah mengenal yang namanya sastra yaitu berupa
dongeng-dongeng yang diceritakan oleh orang tua. Seiring berjalannya waktu
sastra pun semakin dikenal dan tidak hanya berupa dongeng, melainkan dalam
bentuk lainnya seperti puisi, cerpen, novel ataupun film.
Namun dalam membaca teks karya sastra, kita masih
berpandangan satu arah dengan mengikuti pendapat atau simpulan yang telah
dikonvensionalkan serta cepat menyimpulkan pemaknaan cerita dengan hanya
membaca dan mentelaah teks secara umum saja. Pada masa postmodernisasi, pandangan
tersebut tidak diinginkan dalam sastra. Sebenarnya kita dituntut untuk lebih
kritis dalam membaca karya sastra, sehingga muncul metode-metode pembacaan teks
seperti dekontruksi.
Dekontruksi menolak pandangan bahwa bahasa memiliki
makna yang pasti, tertentu, dan konstan, sebagaimana halnya pandangan
strukturalisme klasik. Tidak ada ungakapan atau bentuk-bentuk kebahasaan yang
bermkana tertentu dan pasti. Hal ini yang menjadikan paham dekontruksi sebagai
poststrukturalisme. Dengan menggunakan metode dekontruksi dalam membaca teks
diharapkan kita bisa melihat fakta-fakta lain dalam teks karya sastra. Sehingga
tidak ada kemutlakan dalam memaknai karya sastra dan menghilangkan
anggapan-anggapan yang absolut serta menemukan hal-hal baru yang pada awalnya
terabaikan.
1.2 Rumusan Masalah
a.
Apa pengertian dekontruksi?
b.
Bagaimana sejarah dekontruksi?
c.
Siapa tokoh-tokoh dalam dekontruksi?
d.
Apa saja prinsip-prinsip dalam dekontruksi?
e.
Bagaimana metode penelitian dekontruksi?
f.
Contoh tulisan dengan metode dekontruksi
g.
Apa tujuan dari teori dekontruksi?
h.
Bagaimana penerapan dan sistematika dekontruksi?
i.
Apa pengaruh dekontruksi terhadapa kajian
budaya?
j.
Apa kelebihan dan kelemahan dari teori dekontruksi?
1.3 Tujuan Penulisan
a.
Untuk memenuhi tugas mata kuliah teori
sastra
b. Mendeskripsikan
pengertian dekontruksi, sejarah dekontruksi, tokoh-tokoh dalam dekontruksi,
prinsip-prinsip dalam dekontruksi, metode penelitian dalam dekontruksi, contoh
tulisan dengan metode dekontruksi, tujuan dari teori dekontruksi, penerapan dan
sistematika dekontruksi, pengaruh dekontruksi terhadap kajian budaya, serta
kelebihan dan kelemahan dari teori dekontruksi
BAB
11
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Dekontruksi
Kristeva (1980:36-37), menjelaskan bahwa dekontruksi
merupakan gabungan antara hakikat destruktif dan konstruktif. Dekontruksi
adalah cara membaca teks, sebagai strategi. Dekontruksi tidak semata-mata
ditunjukkan terhadap tulisan, tetapi semua pernyataan kultural sebab
keseluruhannya pernyataan tersebut adalah teks yang dengan sendirinya sudah
mengandung nilai-nilai, prasyarat, ideologi, kebenaran, dan tujuan-tujuan
tertentu. Dekontruksi dengan demikian tidak terbatas hanya melibatkan diri
dalam kajian wacana, baik lisan maupun tulisan, melainkan juga
kekuatan-kekuatan lain yang secara efektif mentransformasikan hakikat wacana.
Menurut Al-fayyadl (2011: 232) dekontruksi adalah testimoni
terbuka kepada mereka yang kalah, mereka yang terpinggirkan oleh stabilitas
rezim bernama pengarang. Maka, sebuah dekontruksi adalah gerak perjalanan
menuju hidup itu sendiri.
Umar Junus (1996:109-109) memandang dekontruksi sebagai
persepektif baru dalam penelitian sastra. Dekontruksi justru memberikan
dorongan untuk menemukan segala sesuatu yang selama ini tidak memperoleh
perhatian. Memungkinkan untuk melakukan penjelajahan intelektual dengan apa
saja, tanpa terikat dengan sutu aturan yang dianggap telah berlaku
universal.
Dekontruksi
secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang
bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat
pada diri ini ke hadapan kita.
2.2 Sejarah Dekontruksi
Konsep dekontruksi (Selden, 1986:84) mulai dikenal sejak
Derrida membawakan makalahnya yang berjudul “Structure, sign, and play in the
discourse of the human sciences “,di Universitas Johns Hopkins tahun 1966.
Aliran dekonsruksi ini lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an,
yang kemudian berpengaruh besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada
tahun 1980-an.
2.3 Tokoh-tokoh dalam Dekontruksi
Tokoh terpenting dekontruksi adalah Jacques Derrida, seorang
Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di
Perancis.
Derrida
dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1930 di El Biar, Aljazair dan meninggal di
Paris, Perancis tanggal 8 Oktober 2004. Derrida lebih dikenal sebagai filosof
Perancis daripada filosof Aljazair. Filsuf ini secara terang-terangan telah
mengkritik filsuf Barat, terutama kritik dan analisis mengenai bahasa “alam”, tulisan,
dan makna sebuah konsep. Tokoh selanjutnya adalah Nietzsche, Paul de Man,
J.Hillis Miller, Geoffery Hartman, Harold Bloom.
2.4 Prinsip-prinsip dalam Dekontruksi
Prinsip-
prinsip yang terdapat dalam teori dekontruksi adalah:
a. Melacak
unsur-unsur aporia (makna paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi).
b. Membalikkan
atau merubah makna-makna yang sudah dikonvensionalkan.
Pada dasarnya dekontruksi yang sudah dilakukan oleh Nietzsch
(Culler, 1983:86-87) dalam kaitannya dengan usaha-usaha untuk memberikan makna
baru terhadap prinsip sebab-akibat. Prinsip sebab-akibat selalu memberikan
perhatian terhadap sebab, sedangkan akibatnya sebagai gejala minor. Nietzsche
menjelaskan bahwa prinsip sebab akibat bukanlah hukum universal melainkan
merupakan retorika bahasa, sebagai gejala metonimi, gejala bahasa dengan cara
melekatkan nama orang atau benda-benda pada pusat objek yang lain.
Saussure menjelaskan bahwa makna yang diperoleh melalui pembagian
lambang-lambang menjadi penanda dan
petanda. Dekontruksi menolak keputusan tersebut dengan cara terus menerus
berusaha melepaskan diri, sekligus mencoba menemukan pusat-pusat yang baru.
Menurut Saussure (Eagleton, 1983:128), hubungan penanda dengan petanda bersifat
pasti.
Derrida (Spivak, 1976) menjelaskan peristiwa diatas dengan
istilah differEnce dan differAnce, dua kata yang ucapannya hampir sama tetapi
penulisannya berbeda, dibedakan melalui huruf ke-7. Kedua kata tersebut berasal
dari bahasa latin, differe, yang
sekaligus berarti to differ (membedakan) yang berkonotasi spasial, dan to defer
(menuda) yang berkonotasi temporal. Derrida (Norris, 1983:32) menghubungkan
kerangka ruang dan waktu dengan tanda dan bendanya, tanda sebagai wakil dari
bendanya. Tanda sekaligus menunjukkan kehadiran yang tertunda. Makna kata
difference berada dalam posisi yang mengambang antara to differ dan to defer,
keduanya berpengaruh terhadap kekuatan tekstual, tetapi tidak secara utuh
mewakili kata difference tersebut. Oleh karena tanda-tanda mengimplikasikan
makna, maka makna karya pun selalu berbeda dan tertunda, sesuai dengan ruang
dan waktu. Artinya, antara konsep dan kenyataan selalu mempunyai jarak
sekaligus perbedaan. Derrida menjdai terkenal karena konsep dekontruksi,
logosentrisme, fonosentrisme, differEnce / differAnce, trace, dan dencentering.
Differance (Derrida, 2002:45,61) adalah istilah yang
diciptakan oleh Derrida tahun 1968 dalam kaitannya dengan pemahamannya mengenai
ilmu bahasa Saussure dan antropologi Levi-Strauss. Menurut Derrida,
perbedaaan difference dan differance,
bahasa kamus baik bahasa Inggris maupun bahasa Perancis dan bahasa dekontruksi
Derrida, tidak dapat diketahui melalui ucapan, melainkan melalui tulisan.
Menurutnya, tulisan lebih utama dibandingkan dengan ucapan. Menurut Derrida
(Eagleton, 1983:127-128) makna tidak dengan sendirinya hadir dalam suatu
lambang. Lambang mempersoalkan sesuatu yang bukan dirinya, lambang mewakili
sesuatu yang lain. Makna hadir dalam rangkaian penanda.
Konsep Saussure yang juga didekontruksi oleh Derrida adalah
doktrin hierarki ucapan-tulisan, yang pada dasarnya memandang ucapan sebagai
pusat, sedangkan tulisan sebagai non pusat. Menurut Saussure, ucapan lebih
dekat dengan pikiran dan perasaan sebab ucapan mengimplikasikan subjek yang
berbicara, subjek yang hadir secara serta merta, sedangkan tulisan yang
bersifat sekunder, termediasi, grafis dan mewakili.
Menurut Derrida konsep ucapan-tulisan dapat saja dibalik
menjadi tulisan-ucapan. Ujaran pun adalah sejenis tulisan, ujaran selalu sudah
tertulis, dan dengan demikian bahasa pun sudah tertulis. Menurut Rousseau,
ucapan merupakan bentuk asal, tulisan merupakan pelengkap bahasa lisan. Di
pihak yang lain, Levi-Strauss melukiskan hubungan antara alam dan kebudayaan yang
dengan sendirinya sudah tertulis.
2.5 Metode Penelitian Dekontruksi
Hakikat dekontruksi adalah penerapan pola analisis teks yang
dikehendaki oleh peneliti dan menjaga teks agar tetap bermakna polisemi. Di
dalam penafsirannya selalu terjadi proses membedakan dan menangguhkan
(difference). Istilah difference ini diungkapkan pertama oleh Derrida untuk
menyatakan ciri tanda yang terpecah. Di sini dipilih unit wacana yang mampu
menimbulkan kebuntuan makna atau satu figur yang menimbulkan satu kesulitan
untuk dijabarkan. Bagian ini disebut titik aphoria (Norris, 1982:49).
Titik
aphoria selanjutnya akan menimbulkan alusi. Ketika ditemukan sebuah inti wacana
yang mengalami kebuntuan maka akan timbul asosiasi dengan teks lain atau
peristiwa yang senada dengan yang dihadapi. Hal ini bisa dilakukan dengan cara
mempertentangkan atau menyejajarkan dengan unit wacana yang dihadapi.
Penyejajaran atau pertentangan bisa dihubungkan dengan unit wacana lain di
dalam teks yang sama (retrospektif) atau bisa dengan melacaknya di luar obyek
(prospektif). Jadi cara ini seperti bermain bebas (free play).
Dekontruksi sangat percaya kepada teks. Teks mempunyai
otonomi yang luar biasa, segalanya hanya dimungkinkan oleh teks (Junus,
1985:98). Lebih lanjut Umar Junus mengatakan bahwa sebuah teks punya banyak
kemungkinan makna sehingga teks sangat berbeda. Seorang pembaca tak akan
mengkonkretkan satu makna saja, tetapi akan membiarkan segala kemungkinan makna
hidup, sehingga teks itu ambigu. Dekontruksi lebih menumpukan kepada unsur
bahasa. Bahkan dapat dikatakan dekontruksi bertolak dari unsur bahasa yang
kecil untuk kemudian bergerak maju kepada keseluruhan teks. (1985:99).
Metode dekontruksi yang dilakukan Derrida lebih dikenal
dengan istilah dekontruksi metaforik. Metafora di sini bukan dipahami sebagai
suatu aspek dari fungsi ekspresif bahasa tapi sebagai suatu kondisi yang
esensial tentang tuturan (Sarup, 2003:77-79). Metafora mewakili salah satu cara
dari penyusunan wacana dan secara kuat mempengaruhi pemahaman teks berbagai
hal. Dekontruksi dilakukan terhadap teks metaforis yang disusun oleh penulis. Dekontruksi
bisa terjadi pada teks itu sendiri atau sebaliknya kita yang mendekontruksi
sebuah teks.
Kata-kata yang dipakai dalam bahasa karya sastra bersifat
denotatif sekaligus konotatif. Pengalaman batin bisa muncul dari asosiasi
pikiran dengan arti kata-kata, tetapi sering juga lewat bunyi kata. Pertalian
pikiran yang timbul dari kata bisa melayang, meledak, suci, murni, hitam, legam
dan seterusnya. Hal ini bukan hanya terjadi dari katanya tetapi bisa juga dari
bunyi katanya. Kesadaran akan adanya asosiasi itu melahirkan kecenderungan
kepada simbolisme
Sebagai langkah dalam menyikapi karya sastra melalui dekontruksi
Derrida pun kemudian menggunakan istilah “trace” sebagai konsep dalam
menelusuri makna. Trace (jejak) bersifat misterius dan tidak terungkap, muncul
sebagai kekuatan dan pembentuk tulisan, menembus dan memberi energi pada
aktivitasnya yang menyeluruh. Hal ini berarti bahwa makna akan bergerak, harus
dilacak terus menerus dan meloncat-loncat.
Pengarang di dalam mengemukakan perasaannya sering tidak
secara langsung. Kadang-kadang lewat peristiwa-peristiwa maupun simbol-simbol.
Di sinilah letak pentingnya pengalaman dan pengetahuan pembaca untuk bisa
menangkap pesan tersebut. Bekal pengetahuan yang Jausz disebut sebagai horizon
harapan ini sangat penting dalam upaya mencari jejak (trace) sebagai metode
pemaknaan dekontruksi. Dengan bekal itu pembaca akan bisa mengisi tempat kosong
dalam teks, karena memang sifat karya sastra itu multiinterpretable (Pradopo,
1985:185). Inilah penggambaran dari metode penelitian dekontruksi tersebut.
2.6 Contoh Tulisan dengan Metode Dekontruksi
Cara pembacaan dengan dekontruksi dapat digunakan terhadap
novel-novel pada umumnya. Disini penyusun mengambil contoh cara pembacaan
dengan dekontruksi pada novel Siti Nurbaya.
Pada umumnya pembaca beranggapan bahwa Samsul Bahri merupakan
tokoh protagonis yang hero, tokoh putih, sedang Datuk Maringgih merupakan tokoh
antagonis yang serba jahat, tokoh hitam. Melalui cara dekontruksi, keadaan itu
justru akan terbalik.
Samsul Bahri bukanlah seorang pemuda hero, melainkan seorang
pemuda cengeng dan berperasaan nasionalisme sempit. Hanya karena kegagalan
cintanya terhadap seorang gadis (yang kemudian ternyata sudah janda), ia lupa
akan dirinya: putus asa dan bunuh diri. Hal itu menunjukkan secara mental, ia
bukanlah seorang pemuda yang kuat. Setelah ternyata usaha bunuh dirinya gagal juga, ia memutuska masuk
serdadu kompeni. Belakangan, ketika di daerah Sumatra Barat, yang merupakan
tanah kelahirannya terjadi pemberontakan karena masalah blasting, ia ditugaskan
untuk menumpas pemberontakan itu. Dengan bersemangat, ia berangkat ke medan
tempur karena sekaligus bermaksud membalas dendam terhadap Datuk Maringgih yang
menjadi biang keladi kegagalan cintanya. Apapun alasannya hal itu berarti ia
memerangi bangsanya sendiri dan justru berdiri di pihak membela kepentingan
penjajah.
Dilihat dari dekontruksi Jaus, yaitu yang mempertimbangkan
aspek historis yang berwujud “sejarah” tanggapan pembaca dari masa ke masa,
perbuatan Samsul Bahri dewasa ini, sesuai dengan konteks sosial yang ada,
justru dapat ditanggapai sebagai perbuatan menghianat bangsa. Terhadap bangsa
sendiri ia sampai hati untuk memeranginya, semata-mata didorong oleh motivasi
pribadi. Ia sama sekali bukan seorang pahlawan, bahkan bukan pahlawan cinta
sekalipun.
Datuk Maringgih, di pihak lain, walau dia diakui banyak orang
sebagai tokoh jahat, bandot tua yang doyan perempuan namun hal ini pun yang
menganggapnya baik, misalnya ia justru dipandang sebagai pahlawan cinta seperti
dalam nyanyian kelompok bimbo justru dapat dipandang sebagai tokoh yang kuat
dan berdimensi baik. Dialah yang menjadi salah seorang tokoh yang menggerakkan
pemberontakkan terhadap penjajah Belanda itu, walau hal itu dilakukan terutama
juga karena motivasi pribadi: dia yang paling banyak kena pajak. Apapun
motivasinya, ia menjadi tokoh pemberontak. Artinya, dia adalah tokoh pejuang
bangsa, yang seberapa pun kecil andilnya, bermaksud mengenyahkan penjajah dari
bumi Indonesia. Dengan demikian, justru dialah yang “berhak” disebut pahlawan
dan bukannya Samsul Bahri.
Ahmad Maulana dan Halimah, dalam novel Siti Nurbaya itu,
hanya merupakan tokoh pinggiran yang umumnya dianggap kurang penting. Namun,
jika dipahami betul pesan-pesan penting yang ingin disampaikan lewat novel itu,
akan terlihat kedua tokoh itu sebenarnya amat berperan. Dengan perbincangannya
dengan Nurbaya, Ahmad Maulana inilah yang mengungkapkan kejelekan-kejelekan
perkawinan poligami yang sebenarnya lebih baik menyengsarakan wanita dan
anak-anaknya. Sikap dan pandangan hidup Nurbaya, sebenarnya, banyak dipengaruhi
oleh sikap dan pandangan hidup kedua tokoh tersebut.
Inila contoh pembacaan sastra dengan dekontruksi. Pemahaman
dan keyakinan yang telah dikonvensional selama ini diruntuhkan dengan teori
ini, dimana posisi dan kondisi yang telah dikonvensionalkan itu berubah menjadi
bertolak belakang.
2.7 Tujuan Dekontruksi
Menurut Sarup (2003:51) dekontruksi bertujuan untuk
membongkar tradisi metafisika Barat seperti fenomenologi Husserlin,
strukturalisme saussurean, strukturalisme Perancis pada umumnya, psikoanalisi
Freudian, dan psikoanalisis Lacanian. Tugas dekontruksi, disattu pihak
mengungkap problematika wacana-wacana yang dipusatkan, di pihak lain membongkar
metafisika dengan mengubah batas-batasnya secara konseptual.
Sedangkan tujuan metode dekontruksi adalah menunjukkan
ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut, dan ingin menelanjangi
agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan ketimpamgan di balik
teks-teks.
2.8 Penerapan dan Sistematika Dekontruksi
Sistematika
penerapan dekontruksi dalam teks adalah sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi
hirarki oposisional dalam teks, dimana biasanya terlihat peristilahan mana yang
diistimewakan secara sistematis dan mana yang tidak.
b. Oposisi-oposisi
itu dibalik dengan menunjukkan adanya saling ketergantungan di antara yang
saling bertentangan atau privilesenya dibalik. Ketiga, memperkenalkan sebuah istilah
atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori
oposisional lama.
Dengan langkah-langkah semacam ini, pembaca dekontruksi
berbeda dari pembacaan biasa. Pembacaan dekontruksi berbeda dari pembacaan
biasa. Pembacaan biasa selalu mencari makna yang lebih benar, yang teks itu
sendiri barangkali tidak pernah memuatnya. Sedangkan pembacaan dekonstruktif
ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan setiap upaya teks menutup diri
dengan makna atau kebenaran tunggal.
2.9 Dekontruksi Terhadap Kajian Budaya
Dalam kajian budaya, dekontruksi Derrida memberi pengaruh
penting. Berkat dekontruksi Derrida, makna kini tidak lagi dipandang sebagai
sesuatu yang mutlak, tunggal, universal, dan stabil, tetapi makna selalu
berubah. Klaim-klaim kebenaran absolut, kebenaran tunggal, yang biasa mewarnai gaya
pemikiran filsafat sebelumnya, semakin digugat, dipertanyakan, dan tidak lagi
bisa diterima.
Dalam kesusastraan, misalnya, dekontruksi ditujukan sebagai
metode pemabacaan kritis yang bebas, guna mencari celah, kontradiksi dalam teks
yang berkonflik dengan maksud pengarang. Dalam hal ini, membaca teks bukan lagi
dimaksudkan untuk menangkap makna yang dimaksudkan pengarang, melainkan justru
untuk memproduksi makna-makna baru yang plural, tanpa klaim, absolut atau
universal.
Dalam proses itu, penafsir juga tidak bisa mengambil posisi
netral tatkala menganalisis suatu teks tanpa dirinya sendiri dipengaruhi atau
dibentuk oleh teks-teks yang pernah dibaca. Teks itu sendiri juga tidak bisa
diasalkan maknanya semata-mata pada gagasan si pengarang, karena pikiran
pengarang juga merujuk kepada gagasan-gagasan pengarang lain yang
mempengaruhinya.
Dekontruksi, seperti juga pendekatan posmodernisme lainnya,
dengan demikian cocok dengan konsep pluralitas budaya, pluralitas permainan
bahasa, banyaknya wacana, penghargaan terhadap perbedaan, dsan membuka diri
terhadap yang lain (the other).
Penghargaan terhadap perbedaan, pada “yang lain” ini membuka
jalan bagi penghargaan pada pendekatan lokal, regional, etnik, baik pada
masalah sejarah, seni, politik, masyarakat, dan kebudayaan pada umumnya.
Penelitian yang bersifat lokal, atau etnik, dan sebagainya
kini mendapat tempat, dan pada gilirannya akan memperkaya dan menghasilkan
deskripsi atau narasi-narasi khas masing-masing. Mungkin, inilah salah satu
sumbangan penting dekontruksi Derrida terhadap kajian budaya.
2.10
Kelebihan
dan Kelemahan dari Teori Dekontruksi
Dekontruksi membuka ruang kreatif seluas-luasnya dalam proses
pemaknaan dan penafsiran. Itulah kelebihan dekontruksi, yang membuat setiap
orang bebas memberi makna dan menafsiri suatu objek tanpa batas. Ruangan makna
terbuka luas, penafsiran bertumbuh biak. Ibarat pepatah, mati satu tumbuh
seribu. Penghancuran terhadap suatu makna oleh makna baru melahirkan
makna-makna lain.
Demikian bebas, banyaknya makna dan tafsiran, membuat era
dekonstruktivisme dianggap era matinya makna. Makna menjadi tak berarti lagi.
Inilah kelemahan dekontruksi. Kelemahan lainnya adalah:
a. Kebebasan
tanpa batas menjadikan makna kehilangan ‘roh’. Yang ada adalah massalisasi
makna, retailisme makna. Menjadikan makna sebuah produk massal yang dapat
mengurangi nilai obyek tidak lagi memiliki kemewahan ruang pemaknaan untuk
ditelaah.
b. Ketidakbernilaian
makna, ke-chaos-an atau asumsi ‘pesimis’ matinya makna dapat menimbulkan
apatisme dan ketidakberdayaan terhadap makna.
c. Dekontruksi
tidak menyediakan shelter-shelter untuk persinggahan khusus dalam proses
perjalanan pemaknaan. Titik-titik peristirahatan tertentu diperlukan untuk
revitalisasi makna sebelum membuka ruang makna baru bagi perjalanan penafsiran
yang lebih bugar. Dengan demikian, kejenuhan dan kebiasaan-kebiasaan pemaknaan
dapat dicegah.
d. Tidak
adanya upaya untuk menghargai puing-puing hasil pengahancuran makna karena
makna-makna baru dianggap lebih bernilai. Padahal, makna-makna lama bukan tidak
mungkin justru memberi nilai tambah abgi makna-makna baru.
BAB 111
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari pembahsan diatas penulis menyimpulkan bahwa dekontruksi
merupakan metode pembacaan teks. Dengan dekontruksi ditunjukkan bahwa dalam
setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal,
setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi
sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu
kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang
bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.
Aliran dekonsruksi lahir di Perancis sekitar tahun 1960-an,
yang kemudian berpengaruh besar di Amerika sekitar tahun 1970-an hingga pada
tahun 1980-an. Tokoh terpenting dekontruksi adalah Jacques Derrida, seorang
Yahudi Aljazair yang kemudian menjadi ahli filsafat dan kritik sastra di
Perancis. Tokoh lainnya yaitu Nietzsche, Paul de Man, J.Hillis Miller, Geoffery
Hartman, Harold Bloom.
Prinsip dekontruksi yaitu melacak unsur-unsur aporia (makna
paradoks, makna kontradiktif, dan makna ironi) dan Membalikkan atau merubah
makna-makna yang sudah dikonvensionalkan. Metode dekontruksi yang dilakukan
Derrida lebih dikenal dengan istilah dekontruksi metaforik. Metafora di sini
bukan dipahami sebagai suatu aspek dari fungsi ekspresif bahasa tapi sebagai
suatu kondisi yang esensial tentang tuturan. Dekontruksi mentut kita lebih
teliti dan kritis terhadap teks sastra.
Daftar Pustaka
<http://staff.undip.ac.id/sastra/fauzan/2009/07/22/dekontruksi-terhadap-figur-keturunan-darah-biru/>